Neonatologi Prof Dr dr Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) mengingatkan pentingnya bagi pemerintah berupaya meningkatkan awareness, pencegahan, diagnosis, dan treatment atas kasus Respiratory Syncytial Virus (RSV) di Indonesia untuk menekan kematian bayi

Untuk diketahui, dalam salah satu studi multicentre 2022 terkait epidemiologi community-acquired pneumonia (CAP) di Indonesia, RSV menjadi satu dari lima pathogen utama yang ditemukan.

Temuan ini menyebutkan kasus RSV di Indonesia mencapai 27,1 persen dan menempati urutan ke-2 penyebab CAP pada anak usia di bawah 5 tahun. Bahkan pada kasus mix infection dan single infection akibat virus, RSV merupakan pathogen yang sering ditemui di studi tersebut.
 
Prof Rina memaparkan bahwa banyak kejadian LRTI seperti pneumonia dan bronkiolitis yang dicurigai disebabkan oleh RSV. Namun terkadang ini tidak terdeteksi secara optimal karena terbatasnya akses tes diagnostik untuk memeriksa keberadaan virus RSV. 

"Maka sangat penting infeksi RSV menjadi perhatian pemerintah, terutama untuk mencegah beban penyakit kematian dini bayi dengan risiko tinggi yang diakibatkan pneumonia akibat infeksi RSV," tegasnya.

Dalam hal ini, Prof Rina juga menyebut kalau pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang bahaya penyakit yang disebabkan oleh RSV pun umumnya masih rendah, termasuk orang tua dengan anak yang berisiko tinggi terhadap RSV. 

Salah satu parameter yang mudah diukur adalah dengan melihat google trend di Indonesia dengan kata kunci “infeksi RSV” dan “Pneumonia” sebagai salah satu outcome dari RSV. 

"Bisa dilihat bahwa masih sedikit masyarakat yang mengaitkan RSV dengan Pneumonia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti terbatasnya informasi yang bisa diakses dan kurangnya kampanye edukasi publik terkait infeksi RSV," ungkap Prof Rina.


Prof Rina mengatakan bahwa sampai saat ini tidak ada pengobatan definitif untuk infeksi RSV (hanya terapi suportif). Maka itu, pencegahan merupakan upaya yang paling penting untuk dilakukan. 

Urgensi mengenai pencegahan infeksi RSV perlu dilakukan, terutama untuk pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami infeksi RSV yang berat. 
Menurut Prof Rina, Pemerintah harus berupaya meningkatkan awareness, khususnya untuk pasien dengan risiko tinggi dan juga dampak jangka panjang yang ditimbulkan.

"Hal ini bisa berupa kampanye disease awareness, dan juga edukasi berkelanjutkan dari segara lapisan pemangku kepentingan, baik tenaga medis (dokter), masyarakat, pemerintah, dan lainnya," menambahkan.

Selain itu, lanjut Prof Rina, pemerintah juga dapat berupaya untuk meningkatkan akses diagnostik untuk pemeriksaan virus, khususnya RSV. Sehingga kasus LRTI akibat RSV bisa diketahui dengan optimal, sehingga baik dokter maupun orang tua aware bahwa virus RSV ini berdampak. 

Selanjutnya, upaya dari segi treatment (suportif treatment). Memastikan bahwa pasien yang mengalami dampak parah akibat RSV dapat tertangani dengan baik.

Pada bayi prematur dan kelompok risiko tinggi lainnya, selain membatasi penularan dan penyebaran RSV dengan perilaku hidup bersih dan sehat, perlu dipertimbangkan pemberian imunoprofilaksis atau profilaksis/pencegahan menggunakan antibodi monoklonal spesifik RSV (Palivizumab). 

Untuk diketahui, RSV merupakan infeksi yang utamanya menyerang sistem pernafasan, menyebabkan berbagai gejala mulai dari gejala ringan seperti flu hingga gangguan pernafasan yang lebih parah, terutama pada populasi rentan seperti bayi, anak kecil, dan orang dewasa lanjut usia.

RSV sangat menular dan menyebar terutama melalui tetesan pernafasan. Ketika orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara, tetesan kecil yang mengandung virus dapat terlepas ke udara dan kemudian terhirup oleh orang lain. 

Virus ini juga dapat bertahan hidup di permukaan benda selama beberapa jam, sehingga penularan tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dengan permukaan benda yang terkontaminasi.

Pewarta: Antara

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024