Open Climate Change Financing in Indonesia (OCFI) menyatakan perlu segera dibentuk lembaga khusus pengelola dana iklim di daerah yang bertugas mengelola pendanaan perubahan iklim di daerah.

Pengelolaan ini mencakup seluruh sektor penurunan emisi gas rumah kaca meliputi energi, limbah, Industrial Processes And Production Use (IPPU), pertanian dan kehutanan.

"Program ini dalam operasionalnya membutuhkan pendanaan yang besar, dan itu butuh komitmen semua pihak," ujar Peneliti Senior OCFI, Rahmat Lahangi dalam keterangannya, Senin.

Rahmat menjelaskan bahwa sumber pendanaannya sendiri bersumber dari pendanaan publik dan non-publik.

Pendanaan publik terdiri berasal dari belanja APBN, BLU BPDLH, green Sukuk (global dan retail), BUMN (PT SMI), APBD, dan internasional seperti Green Climate Fund (GCF, Global Environment Facility (GEF), Adaptation Fund (AF), Regional And Bilateral Agency, dan Multilateral Development Banks (MDB).

"Sumber pendanaan ini belum termasuk pendanaan yang bersumber dari non-publik seperti pembiayaan sektor jasa keuangan (sustainable finance), domestic private investment, foreign direct investment, private green bonds, filantropi, dan corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan/BUMN," lanjut Rahmat.

Pemanasan global yang semakin meningkat telah berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan hidup yang dapat membahayakan kelangsungan kehidupan manusia.

Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak negatif lingkungan hidup yang disebabkannya.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang kemudian mengalami perubahan menjadi REDD+.

Skema REDD+ merupakan mekanisme insentif global untuk negara berkembang dalam  menjaga hutannya dari kerusakan sesuai yang dimandatkan dalam pertemuan COP-16 di Cancun, Mexico.

Indonesia sendiri sudah berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim melalui Konferensi Para Pihak (COP) ke-15 dengan janji Intended Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2009 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

Selanjutnya komitmen tersebut diperkuat kembali melalui dokumen NDC pertama pada tahun 2016 dengan penetapan target sebesar 29 persen tanpa bantuan internasional dan 41 persen dengan bantuan internasional dengan skenario business as usual (BAU) pada tahun 2030.

Dan pada tahun 2020, target penurunan emisi karbon kembali ditingkatkan menjadi 31 persen. hal ini setara dengan target penurunan emisi karbon negara-negara maju di dunia.

Untuk mencapai target NDC, maka pemerintah Indonesia memerlukan pendanaan yang sangat besar yang dioperasionalkan dari pusat hingga sub-nasional untuk berbagai program dan kegiatannya.
 

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024