Usianya baru lima tahun, namun Wenwen sudah berpetualang dan menjelajahi pelosok negeri sejak masih berusia 15 bulan atau beberapa saat setelah bisa berjalan sendiri.

Meskipun belum pernah merasakan duduk di bangku taman kanak-kanak, balita perempuan pemberani tersebut sudah pernah mendaki Gunung Himalaya, menikmati permainan paragliding di Nepal, menjelajahi pantai, dan merasakan pengalaman mengumpulkan madu di hutan liar.

Dia juga telah meninggalkan jejak kakinya di beberapa tempat di daratan Tiongkok yang sebagian besar kawasan pergunungan terjal, termasuk jalur pendakian Qinghai-Tibet yang dikenal dengan sebutan "Atap Dunia".

Selama melakukan penjelajahan itu, Wenwen didampingi kedua orang tuanya, Pan Tufeng dan Yuan Duan. Dari Shangrao, Provinsi Jiangxi di wilayah timur China, keluarga tersebut tiba di Provinsi Sichuan.

Mereka akan beristirahat sejenak di wilayah barat daya China itu sebelum melakukan ekspedisi di Laos melalui hutan-hutan belantara yang masih perawan.

Kakak laki-laki Wenwen, Boru, yang sudah 50 hari meninggalkan bangku kelas II sekolah dasarnya, turut serta dalam perjalanan tersebut. Bocah itu juga telah beberapa kali mendaki gunung bersama kedua orang tuanya.

Pan Tufeng tidak pernah khawatir anaknya ketinggalan pelajaran karena dia meraya yakin akan prestasi akademik anaknya itu pada masa-masa mendatang. Apalagi Boru mendapatkan nilai 99 pelajaran Matematika dan 89 bahasa Mandarin dalam ujian bulan lalu sehingga kedua orang tuanya meyakini bahwa ilmu pengetahuan yang tertulis di buku sebenarnya berasal dari kehidupan sehari-hari di alam bebas.

"Belajar melalui perantara orang dan belajar dari pengalaman sendiri benar-benar berbeda," katanya sebagaimana dikutip laman berita China Plus di Beijing, Minggu (9/4).

Pada akhir September nanti, keluarga itu merencanakan penjelajahan di gurun Lop Nor yang terbentang di Uygur, Xinjiang, wilayah otonom di barat laut China, dan bekas danau garam yang juga dikenal dengan "Laut Mati".

Mereka (Wenwen dan Boru) sudah pernah merasakan petualangan di dataran tinggi, pantai, namun belum pernah melewati padang gurun. "Kami ingin mengajak mereka ke gurun agar mengetahui lingkungan sekitar dan bagaimana sebelumnya terdapat air," tutur Pan Tufeng.

Dia telah menyiapkan satu unit mobil untuk membawa mereka. "Saya tidak ingin mempertaruhkan nyawa anak-anak," kata sang Bapak.
            
Jadi Perdebatan

Pola pengasuhan keluarga yang tidak biasa tersebut telah menimbulkan perdebatan luas di negaranya. Mereka yang mendukung mengapresiasi pola pengasuhan keluarga Pan Tufeng sebagai cara untuk membuka wawasan anak-anaknya agar bisa bertahan hidup (survive).

Namun para penentangnya berpendapat bahwa ada dampak negatif yang tidak diketahui terhadap kemampuan fisik dan mental Wenwen.

Pan Tufeng tidak menanggapi kritik masyarakat tersebut, namun dia masih berkomitmen terhadap konsep pendidikan yang diajarkan kepada anak-anaknya itu.

Dia mengaku tidak memiliki komputer dan televisi di rumahnya. Sebagai gantinya, Wenwen dan kakaknya melakukan latihan di alam bebas sejak usia dini, termasuk menguasai teknik dasar mendaki, menyalakan senter, dan menggunakan peralatan pendakian.

Bahkan Pan Tufeng telah mengamati pertumbuhan Wenwen pada tahun lalu. "Badannya lebih kuat. Dia secara sukarela melakukan pekerjaan rumah dan saat menemukan sampah di jalan, dipungutnya lalu dibuang ke tempat sampah," ujarnya.

"Orang-orang mengatakan bocah itu mungkin terlalu dini untuk mengingat perjalanannya saat masih dalam usia pertumbuhan. Namun saya pikir, dia bisa mengingat pemandangan indah dan kerasnya penderitaan dalam perjalanan yang akan membantunya bisa beradaptasi dengan lingkungan pada masa depannya," katanya menambahkan.

Wenwen mengaku tidak bisa mengingat banyak tentang pengalamannya di Nepal dan tidak tahu di mana negara itu berada. Namun dia mengangguk saat ditanya, apakah pengalamannya melayang di udara bermain paragliding sangat menyenangkan.

Pan Tufeng dan istrinya yang menjalankan usaha toko daring itu mengumpulkan madu di hutan wilayah China yang berbatasan dengan Vietnam dan Laos. Hasil penjualannya digunakan untuk mendukung petualangan keluarga tersebut.

Dengan mengangkat kisah perjalanan di laman toko onlinenya itu, usaha keluarga tersebut makin meningkat. Bahkan beberapa sponsor juga berupaya mendekati keluarga itu. Namun Pan Tufeng menolaknya dengan alasan bahwa sponsor tersebut bisa membatasi ruang geraknya dalam berpetualang.

Dia juga tidak khawatir atas cibiran orang terkait penolakannya itu. "Saya punya tanggung jawab sosial. Kami akan mengatakan kepada orang-orang bahwa pengalaman kami bukan untuk anak-anak yang tidak bisa melakukannya, namun untuk para orang tua yang tidak bisa memberikan kesempatan kepada anak-anaknya yang sebenarnya memiliki kemampuan melakukannya," tutur Pan Tufeng mengenai prinsip mendidik anak-anaknya itu. (Ant).

Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017