Asosiasi SPA & Wellness Indonesia (Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia) menolak ditetapkannya aturan 40 persen Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dan mendesak meluruskan definisi SPA dalam UU Nomor 1 tahun 2022.

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani menyatakan kenaikan pajak hiburan yang tinggi sangat bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, karena industri ini untuk menyerap tenaga kerja Indonesia secara masif, tanpa memandang tingkat pendidikan. 

"Pengenaan batasan minimal 40 persen sampai 75 persen menurut pandangan kami ini justru akan mematikan industri ini," kata Hariyadi konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage SPA, Kamis.

Dalam konferensi pers itu, dihadiri oleh pelaku usaha SPA dan anggota ASPI, turut dihadiri oleh Kusuma Ida Anjani MBus, MAppFin (Perwakilan Industri SPA dan Anggota ASPI) Wulan Tilaar BFA, MSc Dipl. CIDESCO (Perwakilan Industri SPA dan Anggota ASPI) serta Haryadi BS. Sukamdani, MM Ketua GIPI (Gabungan Industri Pariwisata Indonesia).

Ketua Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI) Dr. Mohammad Asyhadi, S.Kes.,  S.E., M.Pd. mengatakan, banyak pelaku usaha SPA yang mayoritas usaha kecil menengah (UKM) tutup semenjak pandemi COVID-19 yang mengakibatkan para pekerjanya kehilangan mata pencaharian dan hingga kini belum bisa kembali normal. 

Di saat industri SPA berusaha menata kembali usahanya, tiba-tiba dihadapkan pada munculnya aturan 40 persen pajak PBJT ini.

"Memasukkan usaha jasa pelayanan bisnis SPA sebagai bagian dari jasa kesenian dan hiburan sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 adalah tidak tepat," tutur Mohammad Asyhadi.

Selain itu, munculnya aturan 40 persen pajak PBJT ini menurut Asyhadi berpotensi mematikan usaha SPA di seluruh Indonesia, karena harga jasa SPA otomatis akan naik sehingga akan mengurangi minat masyarakat melakukan terapi kesehatan di SPA. 

Selain itu, Asyhadi menjelaskan pelaku usaha SPA akan semakin terbebani dengan pajak yang besar, karena selain pajak PBJT 40 persen, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11 persen, pajak penghasilan badan (PPh) 25 persen, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5 persen - 35 persen tergantung Penghasilan Kena Pajak atau PKP.

"Penerapan aturan 40 persen pajak PBJT itu sangat berpotensi menggerus keberlangsungan usaha SPA di Indonesia dimana SPA merupakan jasa pelayanan di bidang perawatan dan kesehatan, bukan bidang hiburan atau bidang lainnya," tambah Asyhadi.

Dilansir dari Global Wellness Institute (2023), Indonesia berada di peringkat ke-17 sebagai pasar tujuan wisata kebugaran.

Wellness tourism ini menciptakan 1,3 juta lapangan kerja yang baru dan berkualitas. Selama tahun 2017 – 2019 terjadi peningkatan yang signifikan terkait jumlah spa di Indonesia yakni mencapai 15 persen. 

Indonesia tak hanya didukung oleh suasana dan keindahan alam, tapi juga memiliki pusat relaksasi dan spa berbasis produk tradisional yang tersebar di berbagai daerah. 

Maka sungguh disayangkan jika potensi besar spa yang ada di depan mata ini terancam sirna bila aturan mengenai pajak PBJT ini masih diberlakukan.

Kusuma Ida Anjani MBus, MAppFin (Perwakilan Industri SPA dan Anggota ASPI) mengatakan, kenaikan pajak PBJT 40  persen akan mematikan pelaku usaha.

"Tentunya ini akan mengganggu pelaku usaha. 12,5 persen pajak saja yang kita bayarkan, kami sudah benar benar melakukan perjuangan dan bagaimana jika dengan pajak 40 persen hingga 75 persen?".

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024