Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII) menawarkan solusi dalam mengatasi tiga permasalahan yang umum terjadi dalam menjaga toleransi.

Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso dalam keterangan resminya, Minggu, menjelaskan bahwa intoleransi bila dibiarkan bakal menciptakan persoalan kebangsaan yang lebih besar, yakni mengancam eksistensi bangsa Indonesia.

“Konsepnya, pertama, harus berbicara yang baik. Tidak menjelekkan, tidak menyakiti, karena bangsa Indonesia, lahir dari perbedaan,” ujarnya.

Pernyataan tersebut mencuat dalam forum diskusi terpumpun (FGD) Kebangsaan Seri 1 bertema “Menjajaki Pentingnya Penyusunan Undang-undang Toleransi” yang dihelat DPP LDII, di Jakarta pada Sabtu (23/12).

KH Chriswanto menambahkan, kedua, agar amanah dan saling mempercayai. Menurut dia, selama bisa dipercaya, tidak akan punya masalah.

"Ketiga, adalah mengalah. Tidak usah mengedepankan emosi. Kalau zaman pemilu seperti ini mengedepankan emosi, maka ya sudah. Saya lihat, yang tidak senang, tetap tidak senang, dan orang yang senang, tetap senang,” imbuhnya.

Keempat, saling menjaga kehormatan dan perasaan. Ia mengatakan, dengan demikian, akan bisa mengutamakan kepentingan bersama, kesejahteraan bersama, sehingga akan seiring seirama, dan ada kesamaan persepsi menuju Indonesia Emas 2045.

Namun tantangan besar mewujudkan Indonesia Emas, adalah terdapat pada urusan kebangsaan.

“Maka, kebangsaan menjadi program prioritas LDII. Pertama urusan kebangsaan, kedua keagamaan, ketiga pendidikan, dan keempat kesehatan,” jelasnya.

Ia menjelaskan, empat program itu, muaranya adalah pembangunan SDM. Indonesia akan menghadapi bonus demografi, kemudian Indonesia Emas 2045. Salah satu bingkai menjadikan SDM berkualitas, adalah memiliki wawasan kebangsaan.

KH Chriswanto menegaskan untuk menguatkan kebangsaan, bangsa Indonesia harus mengingat kembali bahwa negeri ini dibangun bukan atas dasar persamaan. Oleh karena itu, ia menegaskan, tidak mungkin kesepakatan para pendiri bangsa diingkari.

“Maka, siapapun boleh melaksanakan agama yang telah diatur oleh negara. Sesuai dengan tuntunan masing-masing, selama berkonsensus pada empat pilar kebangsaan,” tegasnya.

FGD Kebangsaan yang dihelat DPP LDII, diikuti peserta yang berasal dari pakar dan peneliti, tokoh masyarakat, serta aktivis toleransi. Hadir pula pengurus DPP LDII, dan tamu undangan dari berbagai kalangan.

Wakil Menteri Agama RI Saiful Rahmat Dasuki mengungkapkan intoleransi membayangi pluralitas di Indonesia, meskipun negara menjamin kebebasan dalam kehidupan beragama. 

“Ketika negara ini dibentuk, sebagai negara Pancasila, maka keberagaman diakui. Maka pemerintah menjamin terciptanya kehidupan yang rukun dan bertoleransi, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945,” ujar Saiful.

Menurut dia, banyak konflik yang melibatkan kehidupan beragama, membutuhkan perhatian dan langkah antisipatif pemerintah.

“Sisi yuridis, perlu perundang-undangan yang secara khusus mengatur kerukunan umat beragama,” pungkas Saiful. Untuk itu, Kementerian Agama (Kemenag) RI mendorong rancangan undang-undang perlindungan umat beragama. 

Saat ini, Saiful menjelaskan, terdapat tiga kelompok yang mengoyak toleransi. 

“Pertama, mereka yang merasa paling benar, mengklaim kebenaran tunggal. Merasa menjadi wakil Tuhan YME, sehingga bertindak dengan kekerasan dan intoleransi,” ungkapnya.

Akibatnya, mereka mudah menghakimi, mengkafirkan dan memvonis orang lain. Kedua, adalah kelompok eksklusif.

“Mereka menjadi cikal bakal dari intoleransi. Membatasi diri dengan masyarakat, dan tidak mencocoki dengan nilai-nilai lokal, serta tidak sejalan dengan pemikiran orang lain,” urainya.

Ketiga, adalah ideologi transnasional, yang bisa merusak tatanan bangsa Indonesia. 

“Karena punya ideologi, berupa tujuan politik dan kekuasaan. Mereka punya target, mengubah tatanan kehidupan berbangsa Indonesia,” ujarnya.

Untuk mengatasi gejala intoleransi, Kemenag telah mengkampanyekan moderasi beragama, dengan empat indikator.

“Pertama adalah komitmen kebangsaan. Empat pilar kebangsaan, kita butuh Pancasila,” katanya. 

Kedua, adalah toleransi, yakni mengakui dan menghargai apa yang menjadi keyakinan dan landasan hidup seseorang. Ketika muncul saling tidak menghargai, maka sumber intoleransi terjadi.

Ketiga, adalah anti kekerasan. Moderat di tengah, tetapi tengahnya tidak diam. Menyapa yang berada di pihak kanan dan kiri, memberikan penyadaran, bahwa perbedaan adalah sunnatullah.

"Keempat, mampu beradaptasi dengan nilai-nilai lokal. Ini yang mulai terjadi gesekan di bawah. Muatan lokal, dihidupkan dengan cara pandang beragama, maupun lainnya,” pungkasnya.

Selain Wamenag RI, Saiful Rahmat, narasumber FGD tersebut, di antaranya Guru Besar Universitas Diponegoro Singgih Tri Sulistiyono. Selanjutnya, dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Yayasan LBH Indonesia, Kejaksaan Agung, Komisi VIII DPR RI, Badan Litbang Kemenag, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

 

Pewarta: ANTARA

Editor : M Fikri Setiawan


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023