Deputi Profesional dan Alumni Perguruan Tinggi Timnas AMIN, Hendry Harmen, membela Cawapres Muhaimin Iskandar yang kritiknya soal pembangunan jalan tol dikritik balik mantan Gubernur Jabar Ridwan Kamil.

Menurut alumni Magister Studi Pembangunan ITB dan Ahli Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah itu, pada dasarnya, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin hanya menyampaikan uneg-uneg tukang becak yang mengeluh karena tidak bisa menikmati jalan tol yang dibangun termasuk dari pajak para tukang becak untuk pembangunan. Tetapi, Ridwan Kamil langsung mengkritik, yang menurut Cak Imin kritik tersebut keluar dari konteks.

"Saya melihat kritik Ridwan Kamil bukan hanya keluar dari konteks, tetapi juga sesat dalam berpikir," kata Hendry dalam pesan tertulisnya hari ini.

Saat bersilaturahmi dengan pimpinan Majelis Taklim se Bekasi, Jabar, di GOR PGRI, Senin (18/12), Cak Imin membagikan cerita keluhan dari tukang becak yang rutin bayar pajak, namun tidak bisa menikmati jalan tol karena tidak memiliki mobil.

Menurut Ketua Umum PKB itu ketentuan pembangunan harus diubah, harus mengedepankan keadilan.

"Pembangunan yang merata bukan hanya dinikmati sebagian orang tapi dinikmati oleh seluruh orang," tegas Cak Imin seraya menambahkan itu yang dinamakan keadilan, kesamarataan dan kesetaraan.

Mantan Gubernur Jabar Ridwan Kamil menjawab kritikan itu dengan mengatakan dengan tol maja kiriman sembako lebih cepat dan sampai tujuan sehingga harga lebih murah, dan makan di warteg mang becak lebih terjangkau.

Selain itu Mang becak mudik–naik bus–lewat tol 2 jam ketimbang jalur normal 7 jam–sehingga mang becak bahagia.

Dan ribuan kegiatan ekonomi lainnya yang jadi lebih cepat – membuat ekstra waktu untuk membuat lebih banyak berkegiatan – pertumbuhan ekonomi meningkat

Pada intinya, Ridwan Kamil menyatakan bahwa jalan tol menghemat biaya dan waktu dalam distribusi barang maupun mobilitas penduduk yang akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.


Logistik Nasional

Deputi Timnas Pemenangan AMIN, Hendry Harmen menilai, Ridwan Kamil melewatkan satu hal, bahwa sembako sebelum mencapai jalan tol harus melalui jalan biasa (non tol) yang seringnya macet.

"Berapa banyak biaya bahan bakar dan waktu yang terbuang karena kemacetan," ucap Hendry dengan nada bertanya.

Mantan Ketua Alumni ITB dan mantan Staf Ahli Meneg BUMN ini menguraikan, kemacetan terjadi utamanya karena penambahan jumlah jalan tidak seimbang dengan penambahan jumlah kendaraan.

Sebagai catatan, lanjut Hendry, 8 Tahun Pemerintahan Jokowi, pembangunan jalan tol (yang berbayar) lebih panjang dari pada jalan nasional yang bisa dinikmati oleh semua kalangan dan semua jenis kendaraan dan tidak berbayar.

Ia mengutip data BPS, yang menunjukkan penambahan jalan nasional dari tahun 2014 – 2022 = 1.385 km. Sementara penambahan jalan tol sepanjang tahun 2014 – 2022 = 1.500 km.

"Dari data ini tergambar, paradigma pembangunan era Jokowi bukan untuk memudahkan mobilitas rakyat secara umum, tetapi lebih pada mendapatkan keuntungan dari mobilitas tersebut," terang Hendry.

Karena itu, tanpa ragu Hendry Harmen menyebut Ridwan Kamil sesat dalam berpikir karena terlalu menyederhanakan masalah dengan melewatkan akar masalah.

"Akar masalahnya adalah kurangnya ketersediaan jalan nasional yang tidak berbayar, yang merupakan urat nadi mobilitas barang dan orang antar daerah, yang murah dan lancar," tegas Hendry seraya menambahkan, jslalan nasional, bahkan jalan propinsi, jalan kabupaten yang banyak dan berkualitas akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi rakyat di sepanjang jalan tersebut, dan umumnya bagi rakyat secara luas.

"Pada akhirnya, Mang Becak makan di warteg jadi murah, bukan karena adanya jalan tol, tetapi karena tersedianya jumlah jalan nasional yang cukup sehingga membuat biaya distribusi sembako menjadi lebih lancar dan murah," terang Hendry.

Ia mengingatkan laporan Bank Dunia 2023, dimana Logistic Performance Index Indonesia turun tajam, dari peringkat 46 di tahun 2018 menjadi peringkat 63 di tahun 2023 dari 139 negara.

"Indonesia jauh berada dibawah Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Dan hanya berada di atas  Kamboja dan Laos.

Hendry mengutip data ekonom Faisal Basri yang menyebut biaya logistik Indonesia saat ini masih sangat tinggi, yaitu di angka 22 perseb dari nilai PDB nasional.

Sementata menurut laporan CNBC (19/5), selama 8 tahun pemerintahan Jokowi alokasi dana infrastruktur nasional mencapai Rp 2.768,9 triliun. Bahkan Jokowi mengaku angkanya lebih tinggi lagi yaitu Rp 3.309 triliun. Angka ink 3 kali lipat dibanding dengan angka di era pemerintahan SBY.

Soal biaya logistik nasional yang masih tinggi sedangkan biaya infrastruktur meningkat tajam, menurut Deputi Timnas AMIN itu jawabannya sederhana.

"Pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi tidak tepat sasaran dan tidak terintegrasi sehingga tidak berdampak pada penurunan biaya logistik nasional," tutur Hendry.

Demikian juga pembangunan jalan tol, lanjut Hendry, tidak berdampak signifikan pada penurunan biaya logistik karena tidak memperhatijsn kondisi jalan nasional non tol sebagai elemen sistem transportasi nasional.

Pewarta: Rilis

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023