Guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Prof. Dr. Mirra Noor Milla mengatakan soal pentingnya ilmu psikologi sosial dalam memahami tindakan terorisme.
"Proses radikalisasi ini juga ditunjukkan memiliki dasar psikologis dalam setiap tahapannya," kata Mirra Noor di Depok, Minggu.
Tahapan itu, katanya, melalui proses yang dimotivasi oleh kebutuhan mendapatkan signifikansi diri melalui transformasi identitas, kemudian dikuatkan dalam proses kelompok untuk melayani tujuan tunggal pemenuhan makna diri dan kelompoknya.
Menurut Prof. Mirra, terorisme merupakan fenomena yang kompleks dan memerlukan pemahaman lintas disiplin ilmu, termasuk di dalamnya ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial.
Baca juga: Bergaul penting guna atasi emosi akibat kampanye di medsos
Ilmu ini menyajikan suatu kerangka analisis, baik pada tingkat individu maupun kelompok, untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana individu terlibat dalam tindakan terorisme. Banyak ahli ilmu sosial menggambarkan terorisme sebagai suatu proses bertahap radikalisasi.
Dalam menjelaskan radikalisasi, tambah Prof. Mirra, terdapat tiga komponen, yaitu kebutuhan yang memotivasi individu, narasi ideologi yang menjustifikasi, dan kelompok atau jejaring sosial yang memvalidasi.
Penjelasan tahapan radikalisasi perlu ditinjau kembali dalam menjelaskan radikalisasi daring, mengingat pada era informasi digital, proses radikalisasi menjadi lebih cepat dan mencakup kelompok individu yang semakin beragam.
Oleh karena itu, lanjut Prof. Mirra, penjelasan faktor personal memiliki relevansi untuk memahami secara lebih baik bagaimana radikalisasi terjadi saat peran kelompok terbatas.
Baca juga: Universitas Pancasila kerja sama dengan Himpunan Psikologi Indonesia
"Untuk itu, memahami proses radikalisasi adalah kunci untuk merinci kemungkinan jalur deradikalisasi yang dapat diambil," tambahnya.
Ia menambahkan evaluasi efektivitas program rehabilitasi teroris di berbagai negara menunjukkan keragaman dan belum mencapai kesimpulan yang pasti. Tantangan utamanya terletak pada sifat keyakinan ideologi ekstrem yang sulit untuk diubah.
Walaupun demikian, beberapa program telah menunjukkan kemajuan dan potensi keberhasilan. Kombinasi antara program kontra-ideologi dan program dukungan psikologi adalah yang paling menjanjikan hingga saat ini.
Menurut ia, kesulitan dalam menggeser atau mengubah keyakinan ekstrem yang termotivasi mengarahkan pada relevansi upaya prevensi, yaitu dengan memutus mata rantai radikalisasi bagi individu yang rentan sebelum terpapar dan terlibat dalam tindakan kekerasan ekstrem.
Baca juga: Bergaul penting guna atasi emosi akibat kampanye di medsos
"Selain itu, dengan memperkuat ketahanan individu terhadap propaganda ekstremisme dan radikalisme," ujarnya.
Pada tingkat komunitas, pencegahannya dapat diwujudkan melalui upaya menghindari polarisasi antarkelompok, mengingat masyarakat yang terpolarisasi dapat menyuburkan penyebaran narasi ekstrem dan menjadi potensi risiko bagi individu yang rentan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"Proses radikalisasi ini juga ditunjukkan memiliki dasar psikologis dalam setiap tahapannya," kata Mirra Noor di Depok, Minggu.
Tahapan itu, katanya, melalui proses yang dimotivasi oleh kebutuhan mendapatkan signifikansi diri melalui transformasi identitas, kemudian dikuatkan dalam proses kelompok untuk melayani tujuan tunggal pemenuhan makna diri dan kelompoknya.
Menurut Prof. Mirra, terorisme merupakan fenomena yang kompleks dan memerlukan pemahaman lintas disiplin ilmu, termasuk di dalamnya ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial.
Baca juga: Bergaul penting guna atasi emosi akibat kampanye di medsos
Ilmu ini menyajikan suatu kerangka analisis, baik pada tingkat individu maupun kelompok, untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana individu terlibat dalam tindakan terorisme. Banyak ahli ilmu sosial menggambarkan terorisme sebagai suatu proses bertahap radikalisasi.
Dalam menjelaskan radikalisasi, tambah Prof. Mirra, terdapat tiga komponen, yaitu kebutuhan yang memotivasi individu, narasi ideologi yang menjustifikasi, dan kelompok atau jejaring sosial yang memvalidasi.
Penjelasan tahapan radikalisasi perlu ditinjau kembali dalam menjelaskan radikalisasi daring, mengingat pada era informasi digital, proses radikalisasi menjadi lebih cepat dan mencakup kelompok individu yang semakin beragam.
Oleh karena itu, lanjut Prof. Mirra, penjelasan faktor personal memiliki relevansi untuk memahami secara lebih baik bagaimana radikalisasi terjadi saat peran kelompok terbatas.
Baca juga: Universitas Pancasila kerja sama dengan Himpunan Psikologi Indonesia
"Untuk itu, memahami proses radikalisasi adalah kunci untuk merinci kemungkinan jalur deradikalisasi yang dapat diambil," tambahnya.
Ia menambahkan evaluasi efektivitas program rehabilitasi teroris di berbagai negara menunjukkan keragaman dan belum mencapai kesimpulan yang pasti. Tantangan utamanya terletak pada sifat keyakinan ideologi ekstrem yang sulit untuk diubah.
Walaupun demikian, beberapa program telah menunjukkan kemajuan dan potensi keberhasilan. Kombinasi antara program kontra-ideologi dan program dukungan psikologi adalah yang paling menjanjikan hingga saat ini.
Menurut ia, kesulitan dalam menggeser atau mengubah keyakinan ekstrem yang termotivasi mengarahkan pada relevansi upaya prevensi, yaitu dengan memutus mata rantai radikalisasi bagi individu yang rentan sebelum terpapar dan terlibat dalam tindakan kekerasan ekstrem.
Baca juga: Bergaul penting guna atasi emosi akibat kampanye di medsos
"Selain itu, dengan memperkuat ketahanan individu terhadap propaganda ekstremisme dan radikalisme," ujarnya.
Pada tingkat komunitas, pencegahannya dapat diwujudkan melalui upaya menghindari polarisasi antarkelompok, mengingat masyarakat yang terpolarisasi dapat menyuburkan penyebaran narasi ekstrem dan menjadi potensi risiko bagi individu yang rentan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023