Depok (Antara Megapolitan) - PT Freeport Indonesia (PTFI) menyatakan akan mempelajari terlebih dahulu mengenai putusan pengadilan pajak Jakarta yang mengharuskan perusahaan tersebut membayar pajak air permukaan.
"Ya kita memang sudah diberi tahu masalah ini, tapi kita kan harus pelajari dahulu putusan tersebut," kata Juru Bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, usai menghadiri kuliah umum Presiden Direktur PTFI Chappy Hakim di Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Depok.
Riza menegaskan dalam kontrak karya sebenarnya tidak ada kewajiban itu, makanya kita akan pelajari dahulu putusan tersebut.
Sedangkan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Chappy Hakim mengatakan belum bisa berkomentar karena masih harus mempelajari perusahaan yang baru beberapa bulan dipimpinnya tersebut.
"Saya belum mau komentar tentang Freeport sekarang ini sebelum selesai mempelajari peraturan pemerintah," katanya.
Pemerintah Provinsi Papua meminta PT Freeport Indonesia untuk dapat mematuhi keputusan Pengadilan Pajak Jakarta yang menolak gugatan perusahaan itu dan segera membayar denda air permukaan.
"Kita harap dia melaksanakan kewajiban putusan. Dia harus bayar dendanya, kemudian melaksanakan sesuai dengan peraturan daerah Nomor 4 Tahun 2011," kata Gubernur Papua Lukas Enembe di Jakarta.
Menurut Lukas, jumlah pokok pajak sesuai dengan Perda tersebut mencapai hampir Rp2,6 triliun. Jumlah itu belum termasuk dengan denda yang harus dibayarkan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
"Sampai sekarang belum dibayar sama sekali, dan jumlahnya hampir mencapai Rp2,6 triliun. Itu pokoknya, kalau dengan denda sekitar Rp3 triliunan," tegas Lukas.
Menurut Lukas, Pengadilan Pajak Jakarta telah memutuskan menolak gugatan PTFI terkait Pajak Air Permukaan pada 17 Januari 2017.
Pemda akan menanti pemberian salinan putusan Pengadilan Pajak guna proses pelunasan pokok pajak dan denda lebih lanjut.
"Ini adalah langkah awal menuju perbaikan ekonomi Indonesia. Kita harus tegas dalam hal-hal seperti ini dan negara ini bisa maju kalau pajaknya dipenuhi oleh pengusaha-pengusaha atau investor atau perorangan seperti itu," tegas Lukas.
Manajemen PT Freeport Indonesia menolak membayar pajak air permukaan sesuai nilai yang dirumuskan dari Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Dalam persidangan sengketa pajak pada pertengahan 2016, PT Freeport tetap mengacu pada Kontrak Karya (KK) Tahun 1991 dan Perda Nomor 5 Tahun 1990.
Perbedaan antara kedua perda itu yaitu pada harga denda air permukaan yang sebelumnya Rp10 per meter kubik per detik menjadi Rp120 per meter kubik per detiknya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
"Ya kita memang sudah diberi tahu masalah ini, tapi kita kan harus pelajari dahulu putusan tersebut," kata Juru Bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, usai menghadiri kuliah umum Presiden Direktur PTFI Chappy Hakim di Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Depok.
Riza menegaskan dalam kontrak karya sebenarnya tidak ada kewajiban itu, makanya kita akan pelajari dahulu putusan tersebut.
Sedangkan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Chappy Hakim mengatakan belum bisa berkomentar karena masih harus mempelajari perusahaan yang baru beberapa bulan dipimpinnya tersebut.
"Saya belum mau komentar tentang Freeport sekarang ini sebelum selesai mempelajari peraturan pemerintah," katanya.
Pemerintah Provinsi Papua meminta PT Freeport Indonesia untuk dapat mematuhi keputusan Pengadilan Pajak Jakarta yang menolak gugatan perusahaan itu dan segera membayar denda air permukaan.
"Kita harap dia melaksanakan kewajiban putusan. Dia harus bayar dendanya, kemudian melaksanakan sesuai dengan peraturan daerah Nomor 4 Tahun 2011," kata Gubernur Papua Lukas Enembe di Jakarta.
Menurut Lukas, jumlah pokok pajak sesuai dengan Perda tersebut mencapai hampir Rp2,6 triliun. Jumlah itu belum termasuk dengan denda yang harus dibayarkan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
"Sampai sekarang belum dibayar sama sekali, dan jumlahnya hampir mencapai Rp2,6 triliun. Itu pokoknya, kalau dengan denda sekitar Rp3 triliunan," tegas Lukas.
Menurut Lukas, Pengadilan Pajak Jakarta telah memutuskan menolak gugatan PTFI terkait Pajak Air Permukaan pada 17 Januari 2017.
Pemda akan menanti pemberian salinan putusan Pengadilan Pajak guna proses pelunasan pokok pajak dan denda lebih lanjut.
"Ini adalah langkah awal menuju perbaikan ekonomi Indonesia. Kita harus tegas dalam hal-hal seperti ini dan negara ini bisa maju kalau pajaknya dipenuhi oleh pengusaha-pengusaha atau investor atau perorangan seperti itu," tegas Lukas.
Manajemen PT Freeport Indonesia menolak membayar pajak air permukaan sesuai nilai yang dirumuskan dari Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Dalam persidangan sengketa pajak pada pertengahan 2016, PT Freeport tetap mengacu pada Kontrak Karya (KK) Tahun 1991 dan Perda Nomor 5 Tahun 1990.
Perbedaan antara kedua perda itu yaitu pada harga denda air permukaan yang sebelumnya Rp10 per meter kubik per detik menjadi Rp120 per meter kubik per detiknya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017