Bogor, 5/9 (ANTARA) - Rektor Institut Pertanian Bogor Prof Herry Suhardiyanto mengusulkan dana Rp1 triliun untuk kepentingan riset kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya untuk penelitian mengenai komoditas pertanian bagi ketahanan pangan.

"Kalau untuk berapa (dana riset yang dibutuhkan), kami telah mengusulkan sebesar Rp1 triliun," katanya di Bogor, Jawa Barat, Rabu.

Pernyataan itu disampaikan di sela-sela seminar antarbangsa Program Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (I-MHERE), ketika memberikan keterangan bersama Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim.

Wamendikbud Musliar Kasim sebelumnya menyatakan bahwa
melihat prestasi yang berhasil dicapai peneliti IPB, pihaknya akan memberikan dana riset "dengan jumlah yang tidak terbatas" untuk IPB".

Ke depan, dana riset itu juga akan dialokasikan untuk penyebar luasan inovasi yang telah dihasilkan para peneliti.

"Selama ini dana riset semacam itu tidak ada alokasinya, sekarang sudah ada," katanya.

Ia merujuk pada Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) sebesar Rp15 triliun, di mana bunga dari dana tersebut bisa dipakai untuk pembiayaan riset di perguruan tinggi.

Menurut Rektor IPB, atas penjelasan dari Wamendikbud yang akan memberikan alokasi riset bagi kepentingan ketahanan pangan tersebut, pihaknya menyatakan apresiasi kepada Mendikbud.

"Artinya, 'teriakan' kami atas keinginan pendanaan bagi penelitian yang proporsional itu sudah didengar," katanya.

          

                     Riset di Jepang

Sementara itu, Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB Prof Iskandar Z Siregar saat diminta tanggapan mengenai berapa idealnya dana riset, ia memberikan gambaran mengenai kebutuhan dimaksud seperti di Jepang.

"Sebagai referensi, di Jepang dana riset itu sebesar 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara, dan sumbangan terbesar dari swasta, dan sisanya berasal dari APBN," katanya.

Menurut dia, sejauh yang diketahuinya, untuk Indonesia saat ini dana riset berkisar pada angka 0,003 persen dari PDB.

Sekretaris Eksekutif Program I-MHERE B.2c IPB Dr Yulin Lestari menambahkan bahwa sebuah penelitian ideal yang dilakukan IPB dengan pendanaan Bank Dunia melalui Ditjen Dikti Kemdikbud, guna menghasilkan sebuah varietas baru padi berkisar Rp2 miliar hingga Rp3 miliar selama tiga tahun.

Menurut dia, lima varietas baru padi yang baru diluncurkan tim peneliti IPB yang dipimpin Dr Ir Hajrial Aswidinoor, MS, lebih kurang membutuhkan dana hingga Rp3 miliar.

"Biasanya dana terbesar dibutuhkan bagi uji multilokasi dari galur-galur padi yang dihasilkan, hingga sampai menjadi varietas baru tersebut," katanya.

Lima varietas padi unggulan hasil penelitian Dr Hajrial Aswidinoor dan tim dari Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB itu adalah IPB 3S, yakni untuk sawah tadah hujan dan lahan irigasi dengan produktivitas 7 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 11,2 ton per ha.

Kedua, IPB 4S untuk sawah tadah hujan dan lahan irigasi dengan produktivitas 7 ton dan berpotensi menghasilkan 10,5 ton per ha.

 Dua varietas ini tahan tungro, agak tahan terhadap penyakit blast, dan agak tahan terhadap hawar daun bakteri.

Ketiga, IPB Batola 5R untuk lahan pasang surut dan lebak, dengan produktivitas 4,3 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 5,3 ton per ha GKG (Gabah Kering Giling).

Keempat, IPB Batola 6R dengan produktivitas 4,2 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 4,9 ton per ha GKG.

Empat varietas dimaksud berhasil mendapatkan SK dari Kementerian Pertanian pada tanggal 28 Maret 2012.

Varietas kelima adalah IPB Kapuas 7R, yakni varietas ungul padi rawa berhasil mendapatkan SK dari Kementan pada 7 Juli 2012 dengan produktivitas 4,5 ton per ha dan berpotensi menghasilkan 5,1 ton ha GKG.

Varietas ini tahan terhadap penyakit blast, agak peka pada wereng batang coklat, tahan cekaman Al dan Fe, tahan cekaman.

"Khusus untuk varietas lahan pasang surut atau rawa (Batola 5R, Batola 6R dan Kapuas 7R), varietas-varietas yang dihasilkan berasal dari hasil penyilangan padi siam dengan padi lainnya. Ini karena kebanyakan masyarakat Kalimantan, yang memiliki lahan pasang surut, lebih menyukai beras dengan bentuk lonjong seperti padi siam.

Menurut Hajrial Aswidinoor, diharapkan dengan penampakan dan rasa yang mirip serta produktivitas yang lebih tinggi, varietas ini bisa diterima oleh masyarakat.
 
Andi J 

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2012