London (Antara Megapolitan) - Komunitas Muslimat Indonesia Antar Negara untuk Ummat (Mutiara Ummat) menggelar telediskusi  bertajuk "Mata Uang dan Standar Mata Uang dalam Perspektif Islam," akibat  berita mengenai desain baru rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia.

Desain mata uang rupiah yang baru itu menginspirasi kaum muslimah di Eropa untuk mendiskusikan standar mata uang, kata pengurus Mutiara Ummat, Nurisma Fira, kepada Antara di London, Selasa.

Acara dipandu Arie Vatresia, mahasiswa PhD bidang teknik informatika di University of Birmingham dengan menghadirkan Vetiana Halim, SE dari Kalifa Sharia Consultant; dosen Indonesia Banking School Dr. Ira Geraldina, dan Nida¿ Sa'adah, SE.Ak, MEI dari Lajnah Intelektual DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI).

Vetiana memaparkan sejarah perkembangan mata uang dan standar mata uang, Menurut dia, uang pernah muncul dalam bentuk garam, dan logam seperti perunggu, perak, dan emas.

Seiring dengan kebutuhan maka digunakan uang kertas yang memiliki nilai sejumlah uang emas yang dimiliki, yakni inilah yang dinamakan mata uang standar emas.

"Tetapi sejak tahun 1971 standar mata uang emas ditinggalkan sepenuhnya. Maka uang kertas, hanya menjadi uang yang mendapat legalisasi dari pemerintah, yang kalau ditukarkan ke bank, sudah tidak bisa ditukarkan menjadi emas," ujar Vetiana.

Keunggulan dan kekurangan uang kertas dijelaskan Ira Geraldina. Uang kertas lebih praktis untuk digunakan, kontrol bank sentral dalam peredaran uang lebih besar karena tidak tergantung pada cadangan fisik seperti emas, namun kurang stabil.

Uang kertas memiliki dampak kultural yakni masyarakat terdorong melakukan kredit untuk membeli aset seperti emas, mobil, tanah, atau rumah, akibat nilai uang kertas yang selalu menurun, dampak ekonomi yakni bubble economy, dan dampak politik yaitu pada kebijakan moneter lebih banyak mendukung pelaku keuangan atau banker, dan bukan rakyat.

Sementara itu Nida Sa'adah memulai dengan At Taubah ayat 34-35 tentang keharaman menimbun emas dan perak, dilanjutkan dengan peran emas dalam menjaga stabilitas keuangan negara, serta keunggulan emas dan perak sebagai mata uang. Ia juga menyinggung jumlah cadangan emas dunia dan tantangan emas sebagai sistem moneter masa depan.

Menurut Nida, jumlah deposit emas yang tersedia akan selalu mencukupi kebutuhan transaksi karena yang akan mengalami penyesuaian adalah nilai tukar barang, bukan nilai tukar mata uangnya.

"Islam melarang akivitas spekulatif yang sebenarnya menjadi sumber penggelembungan jumlah mata uang yang dibutuhkan masyarakat. Jika semua kegiatan spekulatif dilarang, maka jika seseorang ingin mengambil keuntungan, ia harus melakukan aktivitas ekonomi riil yang produktif," ujar Nida.

Peserta dari Glasgow United Kingdom menanyakan perbandingan mekanisme menjaga kestabilan harga dalam sistem ekonomi yang diterapkan di Inggris, di Indonesia, dan menurut Islam.

Cara membangun negara tanpa utang dan membebaskan negara dari IMF diajukan peserta dari Rotterdam, Belanda. Seorang ibu dari Paris, Prancis, menanyakan cara mengonversi aset yang dimilikinya jika negara menggunakan mata uang standar emas.

Pertanyaan mengenai dampak pembayaran digital (e-money) terhadap inflasi dan nilai mata uang diajukan peserta dari Sentul, Indonesia. Seorang muslimah di Linkoping, Swedia, berkonsulasi terkait investasi terbaik, aman, dan sesuai kaidah syariah.

Diskusi diakhiri dengan kesimpulan sistem mata uang dengan standar emas dapat menjadi alternatif sistem moneter di masa depan, demikian Nurisma Fira.

Pewarta: Zeynita Gibbons

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017