Kepala Pengembangan dan Pelayanan Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia / Research Center for Climate Change University of Indonesia (RCCC UI), Dr Nurul L Winarni mengatakan cuaca ekstrem panas mempengaruhi kelangsungan hidup fauna.
"Dampak yang mungkin dialami oleh fauna di wilayah iklim tropis adalah ketersediaan makanan dan air serta migrasi dan distribusi habitatnya," kata Dr Nurul L Winarni di kampus UI Depok, Rabu.
Dia menjelaskan, Indonesia berada pada daerah tropis sehingga hewan-hewan yang ada di Indonesia merupakan jenis hewan yang juga hidup di daerah tropis.
Hewan-hewan ini terdiri atas berbagai hewan karismatik, seperti harimau, gajah, badak, hingga berbagai jenis burung, reptil, amfibi, ikan, serangga, dan sebagainya. Cuaca ekstrem memiliki dampak signifikan terhadap berbagai jenis fauna.
Dr Nurul memberikan contoh, seperti burung-burung yang tinggal di pegunungan menjadi semakin sempit habitatnya karena pengaruh perubahan suhu yang semakin panas. Jenis-jenis hewan eksoterm, seperti amfibi, hewan yang memiliki sensitivitas terhadap perubahan suhu.
Jika suhu terlalu panas, dapat mempengaruhi kondisi vital, seperti pencernaan, reproduksi, dan metabolisme serta kondisi ketersediaan air pada habitatnya yang mengalami kekeringan.
"Dengan semakin minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan, fauna seperti burung dan kupu-kupu juga diperkirakan dapat kehilangan habitatnya," katanya.
Selain itu, cuaca ekstrem akan berdampak pada ketersediaan pakan satwa tersebut. Banyak hewan memanfaatkan tumbuhan yang tentunya turut terdampak akibat cuaca ekstrem dan menyebabkan kekeringan.
Tumbuhan memiliki peran penting sebagai sumber makanan bagi hewan. Produksi nektar dan buah dapat terpengaruh, termasuk juga pola musim berbunga dan berbuah dapat bergeser. Ini menyebabkan satwa harus dapat mencari alternatif sumber daya lain.
Menurut Dr Nurul, fauna yang berpotensi migrasi seperti burung yang melakukan perjalanan musiman dari habitatnya yang mengalami musim panas ke musim dingin maka akan melakukan migrasi ke daerah yang lebih hangat seperti iklim tropis. Jika musim dingin berakhir, kemudian akan kembali ke tempat habitat awal.
Sementara untuk hewan yang tinggal di daerah tropis, tidak terjadi migrasi. Namun, hewan tersebut membutuhkan persediaan sumber air yang cukup. Pergerakan hewan mungkin terjadi untuk mencari tempat-tempat yang masih menyediakan makanan, sumber air, dan tempat berlindung.
Kompetisi antar satwa kemungkinan dapat terjadi untuk memperebutkan sumber daya ini.
Sementara itu, cuaca ekstrem juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan yang mengancam hilangnya habitat bagi spesies yang hidup di hutan tersebut.
Cuaca ekstrem juga dapat menyebabkan kekeringan pada habitat perairan seperti rawa, sungai, danau, yang dapat mengancam keberadaan jenis-jenis ikan tertentu. Jika hal tersebut terjadi dapat berdampak juga pada siklus ekosistem satwa, seperti rantai makanan dan jaring jaring makanan.
Menurut Dr Nurul, apabila salah satu rantai makanan hilang akan mempengaruhi tingkat trofik produsen, konsumen, dekomposer atau pengurai dan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Ini dapat terjadi karena adanya perubahan sumber daya makanan yang dapat menyebabkan perubahan komposisi komunitas hewan dalam ekosistem tersebut. Ini berarti mengakibatkan kehilangan spesies tertentu atau peningkatan populasi organisme lain yang lebih dominan.
Dalam menanggulangi dampak cuaca ekstrem terhadap fauna, Dr Nurul menyampaikan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam jangka pendek, yaitu dengan menyediakan sumber air, mencegah kebakaran hutan, menanam pohon buah dan tanaman berbunga di perkotaan.
Sedangkan dalam jangka panjang, dapat melakukan restorasi dan proteksi habitat, menyediakan alternatif habitat khususnya untuk kawasan perkotaan, bisa dengan menyediakan ruang terbuka hijau seperti taman, termasuk memanfaatkan halaman rumah dan konservasi sumber daya air.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"Dampak yang mungkin dialami oleh fauna di wilayah iklim tropis adalah ketersediaan makanan dan air serta migrasi dan distribusi habitatnya," kata Dr Nurul L Winarni di kampus UI Depok, Rabu.
Dia menjelaskan, Indonesia berada pada daerah tropis sehingga hewan-hewan yang ada di Indonesia merupakan jenis hewan yang juga hidup di daerah tropis.
Hewan-hewan ini terdiri atas berbagai hewan karismatik, seperti harimau, gajah, badak, hingga berbagai jenis burung, reptil, amfibi, ikan, serangga, dan sebagainya. Cuaca ekstrem memiliki dampak signifikan terhadap berbagai jenis fauna.
Dr Nurul memberikan contoh, seperti burung-burung yang tinggal di pegunungan menjadi semakin sempit habitatnya karena pengaruh perubahan suhu yang semakin panas. Jenis-jenis hewan eksoterm, seperti amfibi, hewan yang memiliki sensitivitas terhadap perubahan suhu.
Jika suhu terlalu panas, dapat mempengaruhi kondisi vital, seperti pencernaan, reproduksi, dan metabolisme serta kondisi ketersediaan air pada habitatnya yang mengalami kekeringan.
"Dengan semakin minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan, fauna seperti burung dan kupu-kupu juga diperkirakan dapat kehilangan habitatnya," katanya.
Selain itu, cuaca ekstrem akan berdampak pada ketersediaan pakan satwa tersebut. Banyak hewan memanfaatkan tumbuhan yang tentunya turut terdampak akibat cuaca ekstrem dan menyebabkan kekeringan.
Tumbuhan memiliki peran penting sebagai sumber makanan bagi hewan. Produksi nektar dan buah dapat terpengaruh, termasuk juga pola musim berbunga dan berbuah dapat bergeser. Ini menyebabkan satwa harus dapat mencari alternatif sumber daya lain.
Menurut Dr Nurul, fauna yang berpotensi migrasi seperti burung yang melakukan perjalanan musiman dari habitatnya yang mengalami musim panas ke musim dingin maka akan melakukan migrasi ke daerah yang lebih hangat seperti iklim tropis. Jika musim dingin berakhir, kemudian akan kembali ke tempat habitat awal.
Sementara untuk hewan yang tinggal di daerah tropis, tidak terjadi migrasi. Namun, hewan tersebut membutuhkan persediaan sumber air yang cukup. Pergerakan hewan mungkin terjadi untuk mencari tempat-tempat yang masih menyediakan makanan, sumber air, dan tempat berlindung.
Kompetisi antar satwa kemungkinan dapat terjadi untuk memperebutkan sumber daya ini.
Sementara itu, cuaca ekstrem juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan yang mengancam hilangnya habitat bagi spesies yang hidup di hutan tersebut.
Cuaca ekstrem juga dapat menyebabkan kekeringan pada habitat perairan seperti rawa, sungai, danau, yang dapat mengancam keberadaan jenis-jenis ikan tertentu. Jika hal tersebut terjadi dapat berdampak juga pada siklus ekosistem satwa, seperti rantai makanan dan jaring jaring makanan.
Menurut Dr Nurul, apabila salah satu rantai makanan hilang akan mempengaruhi tingkat trofik produsen, konsumen, dekomposer atau pengurai dan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Ini dapat terjadi karena adanya perubahan sumber daya makanan yang dapat menyebabkan perubahan komposisi komunitas hewan dalam ekosistem tersebut. Ini berarti mengakibatkan kehilangan spesies tertentu atau peningkatan populasi organisme lain yang lebih dominan.
Dalam menanggulangi dampak cuaca ekstrem terhadap fauna, Dr Nurul menyampaikan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam jangka pendek, yaitu dengan menyediakan sumber air, mencegah kebakaran hutan, menanam pohon buah dan tanaman berbunga di perkotaan.
Sedangkan dalam jangka panjang, dapat melakukan restorasi dan proteksi habitat, menyediakan alternatif habitat khususnya untuk kawasan perkotaan, bisa dengan menyediakan ruang terbuka hijau seperti taman, termasuk memanfaatkan halaman rumah dan konservasi sumber daya air.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023