Dalam perjalanan liburan ke Kintamani (Agustus 2012) untuk menikmati perpaduan keindahan dua buah ikon wisata yang begitu termasyhur yakni Danau Batur dan Gunung Batur, saya disuguhi hamparan kebun jeruk masyarakat di Kintamani, yang secara serentak berbuah pada Bulan Agustus setiap tahun.

Jeruk Kintamani ini tak kalah elok tampilannya dan tak kelah enak serta fresh rasanya dibandingkan dengan jeruk Mandarin yang mendominasi etalasi tidak hanya pasar modern juga pasar tradisional.  Lalu mengapa jeruk Kintamani yang molek ini tak sampai menyeberang ke pasar-pasar di luar Bali ?  

Padahal setiap bulan Agustus, jeruk ini melimpah di Kintamani, dijual di pinggir-pinggir jalan secara tradisional.  Luputkah dari penglihatan pebisnis dan pemerintah ? Sehingga para praktisi agribisnis lebih memilih mempopulerkan jeruk Mandarin !

Tanah Bali yang subur dan iklim yang sejuk memungkinkan  daerah Kintamani juga merupakan sentra produksi sayuran dan hortikultura, yang pada umumnya merupakan usaha pertanian rakyat.  Dalam perjalanan ke Kintamani ini, kita juga akan melewati suatu daerah penghasil kopi Luwak yang sangat digemari oleh para penikmat kopi.

Bali tak hanya dianugerahi dengan keunikan budaya dan seni masyarakatnya, kesuburan alam juga membawa penduduk Bali sebagai komunitas masyarakat yang pandai bercocok tanam dan beternak sapi.  Tak ayal, sapi Bali juga terkenal di Nusantara ini.  Pola pertanian Subak, pun tak asing lagi.

Sebagai destinasi pariwisata, rasanya tak ada yang menyangkal bahwa Bali telah berhasil menjual potensinya ke seantero jagat ini.  Namun masih berserakannya sampah di tempat-tempat wisata di Bali, sedikit banyak dapat mengurangi kredit point Bali sebagai salah satu tujuan wisata populer.

Ikhwal persampahan ini perlu ditangani dengan seksama oleh pengelola wisata di Bali.

Untuk agroindustri atau agrowisata, kiranya Bali juga punya potensi yang menggiurkan.  Namun demikian untuk hal ini, rasanya belum memperoleh sentuhan perhatian dan keberpihakan yang optimal.

Padahal sektor pertanian menjadi penggerak ekonomi pedesaan di Bali, selain pariwisata.  Di seluruh pelosok Nusantara pun, pertanian masih menjadi tumpuan mencari nafkah sebagian besar penduduk, terutama masyarakat subsisten di pelosok desa.

Pemerintah kita lebih tergiur dalam pengembangan pertanian non pangan seperti kelapa sawit untuk kepentingan ekspor.  Produk pertanian pangan seakan dinomorduakan,  sehingga tak janggal kalau setiap tahun harus impor beras.  Bahkan belakangan ini, kita direpotkan dengan melambungnya harga kedelai di pasaran internasional.  Padahal produk olahan kedelai berupa tempe dan tahu menjadi makanan utama sebagian besar penduduk.  Sebagian besar pasokan kedelai diperoleh melalui impor.

              Kitchen of the World

Bertolak belakang dengan Thailand yang lebih menekankan pada upaya pengembangan pertanian tanaman pangan yang digeluti oleh sebagian besar rakyatnya.  Sementara pemerintah kita lebih prefer membina korporasi agroindustri non pangan yang hanya digeluti oleh segelintir pengusaha.
 
Dalam pengembangan sektor pertanian pangan, Thailand bahkan mencanangkan negerinya sebagai “Kitchen of the World” sebuah obsesi yang sarat makna.  Tidak hanya bertujuan mampu memenuhi perut penduduknya dengan swasembada pangan, tetapi juga bercita-cita agar dapat menjadi pemasok utama pangan dunia, luar biasa ! 

Bagaimana  hal nya dengan Indonesia, adakah kita punya angan yang mengangkasa demikian ? Untuk mempertahankan prestasi swasembada pangan yang pernah ditoreh oleh rejim Orde Baru, itupun kita masih tertatih-tatih ?

Kekonsistenan keberpihakan terhadap sektor pertanian telah menghantarkan Thailand menjadi net eksportir handal produk pertanian pangan terbesar di Asia.  Bahkan Thailand sebagai eksportir terbesar beras, ikan tuna kaleng, produk seafood beku, ayam, dan nanas dalam kaleng (Thailand Board of Investment, 2012).
 
Sungguh janggal, kita dikalahkan oleh Thailand dalam hal ekspor produk perikanan laut ! Tapi inilah fakta.  Kita masih pada taraf gemar memuja-muji kekayaan sumberdaya alam hayati, belum sampai pada taraf sebagai bangsa yang dapat menikmati kemelimpahan anugerah kekayaan alam tersebut. 

Pebisnis agroindustri kita lebih gemar membeli produk pangan pertanian bermutu, daripada berinvestasi mengembangkan sendiri produk pertanian bermutu tersebut.  Tak heran jika wortel, kentang yang beredar di supermarket juga berasal dari luar negeri.  Padahal apa sulitnya bagi petani kita memproduksi produk pertanian tersebut ? Dimanakah keberpihakan pemerintah terhadap para petani ? Atau kah kita sudah tak mampu lagi membendung liberalisasi perdagangan ?

Ketika melancong ke Eropah, Australia, Jepang, dan ingin mencicipi produk pangan dari tropis, maka sudah hampir pasti akan berlabel Made in Thailand.   Bahkan daun pisang sekalipun yang dijual di supermarket di Eropah, biasanya berasal dari Thailand. 

Jadi Thailand tidak hanya membidik pasar untuk produk tanaman pangan konvensional seperti: beras, ikan, dan daging.  Namun demikian juga seperti: gula,  buah-buahan, sayuran, bumbu masak, dsb menjadi fokus perhatian para pemegang kebijakan pertanian dan praktisi pertanian Thailand untuk dikembangkan.
 
Kecerdikan Thailand dalam mengembangkan produk pangan ini, merambah demikian jauh, bahkan mereka pun menyasar produk berlabel halal.  Tak heran jika saat ini Thailand sebagai eksportir daging halal utama ke Singapura, Malaysia, Indonesia, Brunei, UEA, Saudi Arabia, dan Mesir.

Pada era tahun 70an, ketika bangsa kita menumpukan pembiayaan pembangunannya pada hasil jualan minyak bumi.  Sebaliknya bangsa Thailand mengelola pembangunan bangsanya melalui pengembangan pertanian yang sangat serius.  Rata-rata kepemilikan lahan pertanian di Thailand adalah 5,7 ha/keluarga.

Marilah kita (pemerintah, pebisnis pertanian, praktisi pertanian, peneliti, akademisi, konsumen produk pertanian tanaman pangan) untuk mudik ke pengembangan pertanian secara  all out, seperti apa yang telah dilakukan oleh Thailand pada era 70an tersebut dan berlanjut hingga sekarang.
 
Jika tidak, maka runtuhnya sektor pertanian tanaman pangan di negeri subur yang bernama Indonesia ini kelak  akan menjadi suatu keniscayaan !


                                                        ************

Dr Ir Hefni Effendi, penulis Buku Senarai Bijak Terhadap Alam

Foto: ANTARA/Fikri Adin

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2012