Bogor (Antara Megapolitan) - Kementerian Pertanian melalui Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) mengkampanyekan penggunaan antibiotik secara bijak dan bertanggungjawab dalam rangka mencegah ancaman resistensi antimikroba yang berdampak pada kesehatan masyarakat, hewan, peternakan, dan pertanian.

"Resistensi antimikroba ditandai dengan munculnya bakteri yang kebal terhadap antibiotik, atau lebih dikenal sebagai bakteri supir (superbug), sehingga infeksi semakin sukar untuk disembuhkan, bahkan bisa berakibat pada kematian," kata Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, Sabtu.

Di sela-selan seminar dalam rangka kampanye pekan kesadaran antibiotik se-dunia 2016, di Kota Bogor, Jawa Barat, Ketut menjelaskan, angka kematian akibat resistensi antimikroba di seluruh dunia tercatat sebanyak 700 ribu jiwa per tahun, dan diperkirakan pada tahun 2050, angkanya mencapai 10 juta jiwa per tahun, jauh melebihi prediksi angka kematian akibat kanker.

"Penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak rasional, baik di sektor peternakan, perikanan, pertanian dan kesehatan masyarakat menjadi pemicu munculnya resistensi antimikroba," katanya.

Antibiotik, lanjutnya, memang dibutuhkan untuk mengobati penyakit hewan, namun penggunaannya yang tidak bijak dan berlebihi dapat menimbulkan resistensi antimikroba.

Ia menjelaskan, resistensi antimikroba terjadi saat mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obat seperti antibiotik, antifungal, antiviral, dan antiparasit yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif lagi.

"Pada kasus hewan ternak misalnya, hewan tersebut dapat mengembangkan bakteri super di dalam hususnya. Bakteri super ini bisa sampai pada manusia melalui makanan, lingkungan seperti udara, air, dan tanah, maupun kontak langsung antara hewan dan manusia," katanya.

Lebih lanjut Ketut mengatakan, Kementerian Pertanian sudah bersiaga dalam menghadapi ancaman resistensi antimikroba tersebut dengan mempersiapkan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dan finalisasi rencana aksi nasional serta peta jalan pengendalian resistensi antimikroba.

"Diharapkan KPRA dapat meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah dalam penggunaan antibiotik secara bijak dan bertanggungjawab," katanya.

Ketua FAO Emergency Center for Transboundary Animal Diseases (ECTAD), James McGrane mengatakan, ancaman resistensi antimikroba sangat berkaitan erat dengan perilaku kesehatan, penanganan medis, keamanan sistem produksi pangan dan lingkungan agro-ekologi.

"Dalam perspektif dunia kesehatan saatbini, kejadian resistensi antimikroba tidak lagi dilihat sebagai masalah yang berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan berbagai sektor yakni kesehatan masyarakat, hewan, termasuk perikanan dan akuakultur, rantai makanan dan lingkungan," katanya.

Menurut James, pendekatan `one healt` yakni kesehatan terpadu yang menggabungkan sektor kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang kompleks saat ini.

Seminar dalam rangka Kampanye Pekan Kesadaran Antiotik Sedunia diselenggarakan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan Bogor, mengusung tema "Membangun kepedulian profesional Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam pengendalian resistensi antimikroba melalui penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggungjawab".

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016