Bogor (Antara Megapolitan) - Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP-UI Dr Hendriyani menyebutkan, anak muda menjadi pasar potensial industri rokok dalam memasarkan produknya.

"Sasaran industri rokok selalu anak muda, dilihat dari iklan-iklan yang mereka tampilkan, anak muda adalah pasar potensial bagi industri rokok," ucapnya.

Anak muda sebagai pasar potensial industri rokok itu disampaikan Hendriyani dalam workshop jurnalis, bertema "Membongkar Hambatan Aksesi FCTC dan Mitos Rokok di Indonesia" di Bogor, Jawa Barat, Minggu.

Ia memaparkan, dalam ilmu komunikasi tujuan iklan adalah untuk menarik perhatian, menimbulkan minat untuk mengkosumsi, meningkatkan penerimaan terhadap produk.

Caranya, melalui pengulangan, gambar menarik, jumlah penayangan yang tinggi dan menggunakan model atau orang terkenal.

"Tujuan akhir iklan adalah meningkatkan penjualan," katanya.

Untuk memasarkan produknya, lanjut Hendriyani, industri rokok melakukan berbagai cara, mulai dari iklan luar ruang, iklan televisi yang subliminal (terselubung), iklan melalui internet, promosi penjualan dan sponsor, hingga kegiatan berkedok sosial kemasyarakatan.

Ia mencontohkan bagaimana sebuah iklan yang sering muncul beberapa tahun lalu, masih diingat hampir sebagian orang dewasa. Karena adanya pengulangan, dan dibuat menarik dan disesuaikan dengan segmen pasarnya.

"Walau tayangan iklan rokok di Indonesia dibatasi dari pukul 21.30 WIB sampai 05.00 WIB waktu setempat. Tetapi masyarakat tetap bisa melihat setiap saat promosi rokok," katanya.

Masyarakat dapat melihat iklan-iklan rokok tersebut pada acara musik dan olahraga.

Pada tayangan televisi, dan iklan-iklan yang dipasang di warung-warung kecil yang berdekatan dengan sarana pendidikan.

Survei dari Departemen Ilmu Komunikasi FISIP-UI juga menemukan, bagaimana industri rokok mencoba menampilkan wajah sebagai produk yang aman dan baik dengan menyandingkan posisi rokok dengan kebutuhan bayi maupun anak-anak di sejumlah super market.

"Ini adalah upaya-upaya menciptakan komunikasi persuasif, yang akan membuat orang terbiasa dengan rokok, menjadikan rokok itu sebagai hal yang biasa," katanya.

Ia menyebutkan, industri rokok membutuhkan orang baru sebagai pelanggannya, oleh karena itu anak muda menjadi sasaran utamannya.

Menurutnya, mayoritas orang mulai merokok sebelum usia 19 tahun sebab mereka sudah memiliki kemampuan menyaring informasi yang diterimanya.

"Maka itu industri rokok menyasar anak-anak muda, dengan membuat iklan yang tidak `nyambung` dengan produknya, tetapi menciptakan komunikasi persuasif yang menampilkan orang-orang keren, dan hal-hal yang disenangi remaja, sehingga menimbulkan `image` merokok itu keren, sukses, dan setia kawan," katanya.

Hasil studi UHAMKA dengan Komnas Perlindungan Anak tahun 2007 menyebutkan 99,7 persen anak melihat iklan rokok di televisi. 87 persen terpanjang iklan rokok di luar ruang, 76,2 persen remaja melihat iklan rokok di koran dan majalah.


Iklan televisi

Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak tahun 2013 menyebutkan, iklan rokok di televisi adalah iklan yang paling menarik dibandingkan iklan rokok di media lain.

"92 persen remaja melihat iklan rokok di televisi, baru selanjutnya di warung, spanduk, koran, majalen, konser, musik, internet, olahraga dan radio," katanya.

Iklan rokok, lanjutnya, manipulatif, teman iklan khas anak muda, seperti petualangan, berani, macho, setia kawan, kebersamaan, peduli, kerja sama, tanggung jawab, dan lain-lain, bahkan tidak jarang, iklannya lucu.

"Ikan rokok di televisi menciptakan kesan bahwa penggunaan tembakau sesuatu baik, dan biasa, bahkan hebat," katanya.

Ia mengatakan, tahun 2013 WHO menyatakan perusahaan rokok seperti penjual dan promotor produk yang paling manipulatif di dunia. Semakin agresif menghindari larangan iklan, promosi dan sponsor yang dirancang untuk mengekang penggunaan tembakau.

Regulasi iklan rokok di Indonesia, lanjutnya, sangat parsial. Termasuk Perda iklan rokok di daerah yang tergantung komitmen pimpinan, sehingga sangat memungkinkan untuk berubah.

"Tantangan buat Indonesia, seharusnya iklan rokok yang banyak ditampilkan bukan rokoknya, tetapi pesan tentang bahaya rokok melalui berbagai media," katanya.

Ia menambahkan, di 144 negara yang melakukan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, telah menyelamatkan 700 juta nyawa sejak 2007 (data WHO 2013) tidak termasuk Indonesia.

"Komunikasi persuasif industri rokok memiliki target spesifik yakni kelompok rentan dan anak muda. Buat regulasi yang komprehensif, larangan total diperlukan untuk melindungi kelompok rentan, dan aksesi FCTC," kata Hendriyani.

Pusat Kajian Jaminan Sosial, Universitas Indonesia, mengungkapkan 12,7 persen kematian akibat penyakit terkait dengan rokok terjadi di Indonesia. Laki-laki sebanyak 100,680jiwa, perempuan 89,580 jiwa dan total 190,269 jiwa.

"Situasi saat ini tren konsumsi rokok di Indonesia terus naik dari tahun 1970, sampai 2011, angka produksi rokok mencapai 279,4 miliar batang rokok per tahun," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016