Sejak merdeka dari Inggris pada 1956, Sudan terus dibelit konflik yang tak ada habisnya, bahkan sejak 2011 terpecah menjadi dua ketika bagian selatan wilayahnya yang kaya minyak dan berpenduduk mayoritas non_Islam memisahkan diri menjadi Republik Sudan Selatan, puncak dari perang saudara 22 tahun yang berlangsung dalam dua babak, 1955-1972, dan 1983-2005.

Sudan yang berbatasan dengan tujuh negara Afrika lain dan bertepi Laut Merah, ternyata masih terus dilanda konflik, dengan beragam pemicu seperti kesenjangan pusat dan daerah, perbedaan etnis, termasuk antara etnis Arab dengan non-Arab.

Pemerintah Sudan kembali menghadapi pemberontakan di Darfur yang berada di wilayah barat daya negeri itu. Guna menghadapi pemberontakan ini, pemerintahan Bashir mempersenjatai milisi Janjaweed yang berada di Sudan Barat dan Chad timur.

Milisi ini terkenal bengis sampai digolongkan masyarakat internasional sebagai pelaku genosida sehingga Dewan Keamanan PBB pun menyeru Janjaweed dilucuti. Bashir sendiri dianggap penjahat perang oleh PBB dan Barat.

Lama tak aktif, anasir-anasir Janjaweed dilembagakan dalam Pasukan Bantuan Cepat (RSF) oleh pemerintah Bashir pada 2013.

Mereka diaktifkan untuk memerangi gerakan-gerakan antipemerintah di Darfur, Kordofan Selatan, dan beberapa provinsi yang dilalui Sungai Nil Biru.

Sifatnya sebagai pasukan bantuan membuat RSF tak dalam komando angkatan bersenjata Sudan (SAF), melainkan di bawah badan intelijen negara (NISS) yang amat berkuasa. RSF dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo yang akrab disapa Hemedti.

Pada 19 Desember 2018, demonstrasi terjadi di Sudan lantaran kenaikan harga bahan pokok dari inflasi dan krisis mata uang.

Massa menuntut Presiden Bashir yang sudah berkuasa selama 30 tahun, mundur. Bashir menolak, hingga mempersatukan semua kelompok oposisi menggulingkan Bashir.

Atas indakan keji rezim Bashir yang menggunakan RSF untuk menindas demonstran, Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) turun tangan menyingkirkan Bashir dari kekuasaan pada 11 April 2019.


Pecah 

Unjuk rasa massa berhenti setelah kelompok-kelompok politik yang mengorganisasi protes terhadap Bashir dan Dewan Peralihan Militer menandatangani Kesepakatan Politik Juli dan Rancangan Konstitusi dalam tahun itu juga, membuka bagi hadirnya pemerintahan sipil di Sudan.

Konflik sipil dan militer kembali pecah pada Oktober 2021 ketika SAF yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan membubarkan pemerintahan Perdana Menteri Abdalla Hamdok.nKudeta ini juga dibantu RSF.

Burhan dan Hemedti lalu menjadi ketua dan wakil ketua dewan transisi sipil Sudan, yang otomatis menjadi para pemimpin de facto di negara itu.

Harmoni itu tak lama karena pada Februari 2023, Burhan dan Hemedti pecah kongsi lantaran tak ada kesepakatan menentukan kerangka waktu integrasi RSF ke dalam SAF.

Pada 15 April 2023, pertempuran pecah antara RSF dan SAF setelah RSF memobilisasi pasukan di seluruh Sudan, termasuk di Darfur.

SAF dan junta Sudan pimpinan Burhan menyebut tindakan RSF itu sebagai pemberontakan.

Konflik pun pecah untuk menyengsarakan rakyat Sudan dan sekaligus membuat misi-misi diplomatik asing di sana ramai-ramai mengungsikan warganya dari Sudan, termasuk Indonesia.

Dari siklus konflik itu sendiri, terlihat jelas konflik Sudan senantiasa melibatkan pihak-pihak yang tadinya bersekutu, namun akhirnya saling memerangi.

Sejumlah kalangan menilai Hemedti khawatir tak bisa menggunakan RFS sebagai tunggangan politiknya jika cepat dilebur ke dalam SAF. Hemmedti juga menganggap SAF telah dikendalikan oleh anasir-anasir fundamentalis dari sisa-sisa pemerintahan Omar al-Bashir.

Dalam kerangka mencari solusi konflik pun, tak hanya Uni Afrika yang berusaha keras mendamaikan Sudan, karena Liga Arab pun berusaha aktif mengingat Sudan adalah negara Arab dan oleh karena itu bagi Liga Arab solusi Sudan mesti dalam kerangka Arab.

Ini membuat persoalan di Sudan menjadi kian pelik, apalagi konflik terancam menular ke negara-negara tetangga Sudan yang meliputi Mesir dan Libya di bagian utara, Chad di barat, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah di selatan, dan Eritrea serta Ethiopia di timur.

Konflik sepertinya tak bisa segera diatasi, kecuali dua kubu yang bertikai sepakat bahwa perseteruan terus menerus antar-mereka hanya menyengsarakan Sudan dan membuat negara ini kehilangan momentum membangun.

 

Pewarta: Jafar M Sidik

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023