Kejaksaan Agung (Kejagung) mengapresiasi langkah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang telah menerapkan nilai-nilai kebangsaan dalam menjalankan program kerjanya.
"Kejaksaan Agung menilai positif terhadap LDII, karena telah menerapkan nilai-nilai kebangsaan sebagai program prioritas dari delapan program kerja LDII. Ini bisa ditiru ormas lain," kata Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel), Amir Yanto usai menemui Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.
Menurutnya, konsep berpancasila yang diterapkan LDII dapat dicontoh ormas-ormas lainnya, terutama dalam memandang perbedaan harus tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa.
“Keberagaman itu dipersilahkan, asal jangan membuat keragaman menjadi perbedaan. Kita memiliki NKRI yang harus ditopang dengan Empat Pilar Kebangsaan, sebagai warga negara Indonesia harus memahami hal itu,” ujarnya.
Amir Yanto menegaskan, negara menjamin kepastian hukum bagi warganya dalam berserikat dan beribadah. Jaminan tersebut merupakan nilai-nilai kebangsaan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945, yang tertuang dalam pasal 28 maupun pasal 29.
Terlebih, kata dia, LDII terus bersilaturahim dengan berbagai pihak. Silaturahim tersebut menunjukkan LDII adalah organisasi yang sifatnya terbuka dan siap dikritisi.
Sementara, Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso di tempat yang sama, memaparkan pandangan LDII mengenai Pancasila. Ia mengatakan, sila pertama Pancasila, harus menjadi pondasi sekaligus mewarnai empat sila yang lain.
“Dengan sila pertama menjadi pondasi, maka Indonesia tidak akan menjadi negara agama. Negara yang plural dengan dominasi agama tertentu bisa melahirkan konflik berkepanjangan,” tuturnya.
Ia mengatakan, dengan memahami semangat dan jiwa yang tergali dari sejarah kelahiran Pancasila, maka LDII meyakini sila ketiga Persatuan Indonesia haruslah menjadi bingkai,
“Jadi, apapun agama yang dipeluk, aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan, bentuk demokrasi yang dijalankan, dan model keadilan yang diterapkan, harus tetap dalam bingkai persatuan Indonesia atau NKRI,” papar KH Chriswanto.
Menurutnya, jika sila pertama dijadiakan sebagai pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan.
“Maka sila kedua dan keempat sebagai semangat dan cara untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara,” terangnya.
KH Chriswanto mengatakan, bangsa Indonesia tanpa Pancasila akan rapuh karena tidak punya pondasi yang kuat. Akan bercerai-berai karena tidak ada bingkai yang jelas. Akan kehilangan arah karena tidak punya tujuan yang jelas.
“Akan menjadi tidak beradab, karena kehilangan semangat kemanusiaan dan kebersamaan,” jelas KH Chriswanto.
Ia pun mengapresiasi Kejaksaan Agung, yang telah memfasilitasi warga LDII untuk literasi hukum dalam program Jaksa Masuk Pesantren, “Interaksi dan komunikasi antara Kejaksaan Negeri dengan pondok-pondok pesantren kami betul-betul luar biasa. Semoga sinergisitas ini bisa terus dijalin dalam sehingga tercipta persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI,” ujarnya.
Direktur Sosial Kemasyarakatan (B) Jamintel, Ricardo Sitinjak mengaku telah melakukan pemetaan dan pendataan terkait isu-isu negatif yang dituduhkan kepada LDII, mulai dari LDII di Kediri yang menjadi pusat pendidikan para santri, kemudian ke Solo, Cilacap hingga Manado dan Ternate.
“Kami belum menemukan bukti terkait isu negatif yang dikabarkan orang-orang,” bebernya.
Ia menyoroti salah satu isu negatif yang kerap dihembuskan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, seperti masjid LDII dipel setelah dipakai jamaah lain.
“Soal masjid dipel, kalau memang dibersihkan untuk kebersihan, itu merupakan sebagian dari iman. Mengapa harus dianggap esklusif,” ujarnya.
Ricardo Sitinjak menegaskan masjid adalah tempat beribadah, demikian pula masjid LDII.
“Siapapun bisa beribadah di sana, ya boleh-boleh saja dan sah-sah saja. Yang penting bagaimana kita melakukan ibadah dengan baik dan benar,” tegas Ricardo.
Ricardo Sitinjak mempersilakan ormas-ormas Islam melaksanakan metodenya masing-masing dalam beribadah, termasuk LDII.
“Yang penting tidak berbicara tentang penodaan agama. Kalaupun ada penodaan agama, bisa dikenakan pasal 156 KUHP, yang bisa diterapkan bersama ancaman pidana dari undang-undang lainnya,” jelasnya.
Ricardo menambahkan, umat beragama di Indonesia bebas melaksanakan ibadah dan keyakinannya, karena mendapat jaminan dari negara. Namun ormas juga memiliki kewajiban, yakni mentaati peraturan pemerintah dan tidak merasa benar sendiri, kemudian menyalahkan pihak lain yang dianggap berbeda.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"Kejaksaan Agung menilai positif terhadap LDII, karena telah menerapkan nilai-nilai kebangsaan sebagai program prioritas dari delapan program kerja LDII. Ini bisa ditiru ormas lain," kata Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel), Amir Yanto usai menemui Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.
Menurutnya, konsep berpancasila yang diterapkan LDII dapat dicontoh ormas-ormas lainnya, terutama dalam memandang perbedaan harus tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa.
“Keberagaman itu dipersilahkan, asal jangan membuat keragaman menjadi perbedaan. Kita memiliki NKRI yang harus ditopang dengan Empat Pilar Kebangsaan, sebagai warga negara Indonesia harus memahami hal itu,” ujarnya.
Amir Yanto menegaskan, negara menjamin kepastian hukum bagi warganya dalam berserikat dan beribadah. Jaminan tersebut merupakan nilai-nilai kebangsaan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945, yang tertuang dalam pasal 28 maupun pasal 29.
Terlebih, kata dia, LDII terus bersilaturahim dengan berbagai pihak. Silaturahim tersebut menunjukkan LDII adalah organisasi yang sifatnya terbuka dan siap dikritisi.
Sementara, Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso di tempat yang sama, memaparkan pandangan LDII mengenai Pancasila. Ia mengatakan, sila pertama Pancasila, harus menjadi pondasi sekaligus mewarnai empat sila yang lain.
“Dengan sila pertama menjadi pondasi, maka Indonesia tidak akan menjadi negara agama. Negara yang plural dengan dominasi agama tertentu bisa melahirkan konflik berkepanjangan,” tuturnya.
Ia mengatakan, dengan memahami semangat dan jiwa yang tergali dari sejarah kelahiran Pancasila, maka LDII meyakini sila ketiga Persatuan Indonesia haruslah menjadi bingkai,
“Jadi, apapun agama yang dipeluk, aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan, bentuk demokrasi yang dijalankan, dan model keadilan yang diterapkan, harus tetap dalam bingkai persatuan Indonesia atau NKRI,” papar KH Chriswanto.
Menurutnya, jika sila pertama dijadiakan sebagai pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan.
“Maka sila kedua dan keempat sebagai semangat dan cara untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara,” terangnya.
KH Chriswanto mengatakan, bangsa Indonesia tanpa Pancasila akan rapuh karena tidak punya pondasi yang kuat. Akan bercerai-berai karena tidak ada bingkai yang jelas. Akan kehilangan arah karena tidak punya tujuan yang jelas.
“Akan menjadi tidak beradab, karena kehilangan semangat kemanusiaan dan kebersamaan,” jelas KH Chriswanto.
Ia pun mengapresiasi Kejaksaan Agung, yang telah memfasilitasi warga LDII untuk literasi hukum dalam program Jaksa Masuk Pesantren, “Interaksi dan komunikasi antara Kejaksaan Negeri dengan pondok-pondok pesantren kami betul-betul luar biasa. Semoga sinergisitas ini bisa terus dijalin dalam sehingga tercipta persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI,” ujarnya.
Direktur Sosial Kemasyarakatan (B) Jamintel, Ricardo Sitinjak mengaku telah melakukan pemetaan dan pendataan terkait isu-isu negatif yang dituduhkan kepada LDII, mulai dari LDII di Kediri yang menjadi pusat pendidikan para santri, kemudian ke Solo, Cilacap hingga Manado dan Ternate.
“Kami belum menemukan bukti terkait isu negatif yang dikabarkan orang-orang,” bebernya.
Ia menyoroti salah satu isu negatif yang kerap dihembuskan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, seperti masjid LDII dipel setelah dipakai jamaah lain.
“Soal masjid dipel, kalau memang dibersihkan untuk kebersihan, itu merupakan sebagian dari iman. Mengapa harus dianggap esklusif,” ujarnya.
Ricardo Sitinjak menegaskan masjid adalah tempat beribadah, demikian pula masjid LDII.
“Siapapun bisa beribadah di sana, ya boleh-boleh saja dan sah-sah saja. Yang penting bagaimana kita melakukan ibadah dengan baik dan benar,” tegas Ricardo.
Ricardo Sitinjak mempersilakan ormas-ormas Islam melaksanakan metodenya masing-masing dalam beribadah, termasuk LDII.
“Yang penting tidak berbicara tentang penodaan agama. Kalaupun ada penodaan agama, bisa dikenakan pasal 156 KUHP, yang bisa diterapkan bersama ancaman pidana dari undang-undang lainnya,” jelasnya.
Ricardo menambahkan, umat beragama di Indonesia bebas melaksanakan ibadah dan keyakinannya, karena mendapat jaminan dari negara. Namun ormas juga memiliki kewajiban, yakni mentaati peraturan pemerintah dan tidak merasa benar sendiri, kemudian menyalahkan pihak lain yang dianggap berbeda.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023