Direktur Eksekutif Jaringan Muslim Madani (JMM), Syukron Jamal mengingatkan agar umat Islam Indonesia terus menggaungkan sikap ramah, karena kalau tidak ramah tidak pantas disebut Islam.
"Artinya, ya kalau tidak ramah namanya bukan Islam. Ya kalau ada radikal, itu bukan Islam. Sebab, Islam itu rahmat bagi alam semesta dan kebaikan," katanya di Depok, Jawa Barat, Senin.
Menurut dia ramah tidak hanya kepada sesama pemeluk Islam tapi bagi semesta alam. "Itu tercermin dari amalan Islam sendiri yang universal meliputi keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan dan ketertiban umum, toleransi, antikekerasan dan penerimaan terhadap tradisi," katanya.
Namun, kata dia, faktanya saat ini ada sebagian -- bahkan banyak yang mengatasnamakan Islam -- dengan ideologi yang bertentangan prinsip Islam itu sendiri seperti tidak menerima perbedaan dan intoleransi terhadap kelompok lain.
"Dalam konteks kita sebagai bangsa dan negara Indonesia yang majemuk, heterogen suku ras bahasa, budaya dan lainnya cara beragama seperti demikian ini menjadi ancaman serius bagi kerukunan dan persatuan," katanya.
"Mereka ini saklek, yang menurut mereka tidak sesuai tidak dicontohkan Nabi Muhammad SAW disebut bid'ah, merasa paling benar, bahkan berani cap orang kafir. Nah inilah tantangan kita hari ini sebagai masyarakat Islam Indonesia yang tidak boleh kita abaikan," katanya.
Syukron menegaskan bahwa dalam konteks keindonesiaan, Islam ramah itu adalah Islam yang sudah ada sejak para ulama, walisongo, dan saudara dari berbagai negara mendakwahkan Islam di bumi Nusantara.
Bahkan, model dakwah Wali Songo (Wali Sembilan) sangat paripurna karena meniru dakwah Nabi Muhammad SAW dengan metode perdamaian, berbasis kebudayaan, dan menyesuaikan kebutuhan masyarakat Nusantara kala itu.
"Ini bukan untuk meng-kotakan, tapi konteksnya umat Islam di Indonesia harus mengendapkan sikap yang ramah, moderat dan toleran, karena itu yang jadi tuntutan Nabi Muhammad SAW," katanya.
Rektor Institut Agama Islam Depok (IAID) Al Karimiyah (IAID) Al Karimiyah, Dr Ahmad Patih, M. PD memberikan catatan kecil terkait Islam ramah.
Dia menukil ucapan Syekh Abdul Qodir Jaelani ketika ditanya mengenai ke Islaman oleh muridnya.
"Jangan mengaku Muslim kalau belum bisa berserah diri dalam ketentuan Allah. Berserah di sini dalam arti bukan tidak usaha, tapi dia menerima apa yang hari ini diterima," ujarnya.
Ahmad Patih mengatakan indikator muslim yang baik itu adalah ketika tetangga atau sahabat di sekitar merasa aman. Baik dari ucapan atau tindakannya. "Perlu juga menyayangi minoritas jangan saling mencaci," katanya.
Sedangkan Pegiat Masyarakat Pesantren yang juga Founder Iqra.id, Achmad Ubaidillah mengatakan bahwa tantangan terbesar saat ini bagi dunia santri, masyarakat pasantren, harus menjadikan dunia digital sebagai medan perjuangan untuk terus mendakwahkan Islam moderat.
"Ada kelompok-kelompok tertentu yang sudah menjadikan internet, media sosial sebagai ajang kontestasi ideologi. Kelompok moderat seperti santri ini harus masuk ke panggung-panggung media sosial agar tidak direbut oleh orang-orang yang sesungguhnya dalam perspektif pengetahuan Islamnya belum pas," katanya.
Sementara itu, Aktivis Lintas Budaya Indonesia, Mansyur Al Farisyi memberikan gambaran bahwa dulu antara Muhamaddiyah dan Nahdlatul Ulama, misalnya, perbedaan terjadi hanya mengenai amaliah saja. Tetapi sejak 1998, masuk paham dari sedikit orang yang suka melabeli bid'ah kepada yang tidak sepaham.
"Mereka masuk sejak keran demokrasi di Indonesia dibuka pada 1998, di masa transisi itu," ujarnya.
Mansyur menyatakan jumlah mereka yang sedikit itu, memaksa untuk menjadi sama. "Jika tidak memaksa silakan, tapi ini teriak menyalahkan banyak orang. Hal ini yang menjadi masalah."
Ia menambahkan di NU Islam adalah nilai yang lalu dibawa masuk ke Nusantara yang menjadi budaya atau ruangnya. "Budaya itu menguatkan kebiasaan. Nah, NU itu menjaga budaya kearifan lokal, menjaga keseimbangan, budaya dan agama," ujarnya.
Jaringan Muslim Madani (JMM) bersama Institut Agama Islam Depok (IAID) Al Karimiyah menggelar dialog keagamaan Ramadhan 1444 H bertemakan 'Membumikan Islam Ramah, Menangkal Ideologi Radikal di Bumi Pancasila',
Dialog dan diskusi menghadirkan sejumlah pembicara, yakni Rektor IAID Al Karimiyah, Dr Ahmad Patih, M. PD, Direktur Jaringan Muslim Madani, Syukron Jamal, Aktifis NU, Founder Iqra.id, Achmad Ubaidillah dan Aktivis Lintas Budaya Indonesia, Mansyur Al Farisyi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
"Artinya, ya kalau tidak ramah namanya bukan Islam. Ya kalau ada radikal, itu bukan Islam. Sebab, Islam itu rahmat bagi alam semesta dan kebaikan," katanya di Depok, Jawa Barat, Senin.
Menurut dia ramah tidak hanya kepada sesama pemeluk Islam tapi bagi semesta alam. "Itu tercermin dari amalan Islam sendiri yang universal meliputi keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan dan ketertiban umum, toleransi, antikekerasan dan penerimaan terhadap tradisi," katanya.
Namun, kata dia, faktanya saat ini ada sebagian -- bahkan banyak yang mengatasnamakan Islam -- dengan ideologi yang bertentangan prinsip Islam itu sendiri seperti tidak menerima perbedaan dan intoleransi terhadap kelompok lain.
"Dalam konteks kita sebagai bangsa dan negara Indonesia yang majemuk, heterogen suku ras bahasa, budaya dan lainnya cara beragama seperti demikian ini menjadi ancaman serius bagi kerukunan dan persatuan," katanya.
"Mereka ini saklek, yang menurut mereka tidak sesuai tidak dicontohkan Nabi Muhammad SAW disebut bid'ah, merasa paling benar, bahkan berani cap orang kafir. Nah inilah tantangan kita hari ini sebagai masyarakat Islam Indonesia yang tidak boleh kita abaikan," katanya.
Syukron menegaskan bahwa dalam konteks keindonesiaan, Islam ramah itu adalah Islam yang sudah ada sejak para ulama, walisongo, dan saudara dari berbagai negara mendakwahkan Islam di bumi Nusantara.
Bahkan, model dakwah Wali Songo (Wali Sembilan) sangat paripurna karena meniru dakwah Nabi Muhammad SAW dengan metode perdamaian, berbasis kebudayaan, dan menyesuaikan kebutuhan masyarakat Nusantara kala itu.
"Ini bukan untuk meng-kotakan, tapi konteksnya umat Islam di Indonesia harus mengendapkan sikap yang ramah, moderat dan toleran, karena itu yang jadi tuntutan Nabi Muhammad SAW," katanya.
Rektor Institut Agama Islam Depok (IAID) Al Karimiyah (IAID) Al Karimiyah, Dr Ahmad Patih, M. PD memberikan catatan kecil terkait Islam ramah.
Dia menukil ucapan Syekh Abdul Qodir Jaelani ketika ditanya mengenai ke Islaman oleh muridnya.
"Jangan mengaku Muslim kalau belum bisa berserah diri dalam ketentuan Allah. Berserah di sini dalam arti bukan tidak usaha, tapi dia menerima apa yang hari ini diterima," ujarnya.
Ahmad Patih mengatakan indikator muslim yang baik itu adalah ketika tetangga atau sahabat di sekitar merasa aman. Baik dari ucapan atau tindakannya. "Perlu juga menyayangi minoritas jangan saling mencaci," katanya.
Sedangkan Pegiat Masyarakat Pesantren yang juga Founder Iqra.id, Achmad Ubaidillah mengatakan bahwa tantangan terbesar saat ini bagi dunia santri, masyarakat pasantren, harus menjadikan dunia digital sebagai medan perjuangan untuk terus mendakwahkan Islam moderat.
"Ada kelompok-kelompok tertentu yang sudah menjadikan internet, media sosial sebagai ajang kontestasi ideologi. Kelompok moderat seperti santri ini harus masuk ke panggung-panggung media sosial agar tidak direbut oleh orang-orang yang sesungguhnya dalam perspektif pengetahuan Islamnya belum pas," katanya.
Sementara itu, Aktivis Lintas Budaya Indonesia, Mansyur Al Farisyi memberikan gambaran bahwa dulu antara Muhamaddiyah dan Nahdlatul Ulama, misalnya, perbedaan terjadi hanya mengenai amaliah saja. Tetapi sejak 1998, masuk paham dari sedikit orang yang suka melabeli bid'ah kepada yang tidak sepaham.
"Mereka masuk sejak keran demokrasi di Indonesia dibuka pada 1998, di masa transisi itu," ujarnya.
Mansyur menyatakan jumlah mereka yang sedikit itu, memaksa untuk menjadi sama. "Jika tidak memaksa silakan, tapi ini teriak menyalahkan banyak orang. Hal ini yang menjadi masalah."
Ia menambahkan di NU Islam adalah nilai yang lalu dibawa masuk ke Nusantara yang menjadi budaya atau ruangnya. "Budaya itu menguatkan kebiasaan. Nah, NU itu menjaga budaya kearifan lokal, menjaga keseimbangan, budaya dan agama," ujarnya.
Jaringan Muslim Madani (JMM) bersama Institut Agama Islam Depok (IAID) Al Karimiyah menggelar dialog keagamaan Ramadhan 1444 H bertemakan 'Membumikan Islam Ramah, Menangkal Ideologi Radikal di Bumi Pancasila',
Dialog dan diskusi menghadirkan sejumlah pembicara, yakni Rektor IAID Al Karimiyah, Dr Ahmad Patih, M. PD, Direktur Jaringan Muslim Madani, Syukron Jamal, Aktifis NU, Founder Iqra.id, Achmad Ubaidillah dan Aktivis Lintas Budaya Indonesia, Mansyur Al Farisyi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023