Keputusan DPR RI dalam rapat paripurna di Jakarta, Selasa 21 Maret 2023 yang menyetujui RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU, mengundang protes.

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menolak keputusan tersebut.

"Peraturan perundang-undangan dengan mudah dilanggar justru oleh pembuat UU itu sendiri," demikian antara lain pernyataan resmi KSPSI yang ditandatangani oleh Ketua Umum Moh Jumhur Hidayat dan Sekjen Arif Minardi.

KSPSI menilai Indonesia menghadapi darurat konstitusi dan harus diselamatkan.

Baca juga: Ribuan mahasiswa usung 2 agenda penolakan Perppu Ciptaker dan penundaan Pemilu 2024

KSPSI mengajak kaum buruh/pekerja untuk membangun kekuatan bersama demi melawan, baik melalui jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) maupun melaksanakan unjuk rasa mendesak Presiden dan DPR membatalkan Perppu Cipta Kerja.

Sebelumnya KSPSI juga menilai persetujuan DPR untuk pengesahan Perppu Cipta Kerja itu telah melewati ketentuan waktu masa sidang, dengan alasan adanya kegentingan yang memaksa dari penerbitan Perppu itu adalah tidak benar.

"Nyatanya, tidak ada kebijakan pemerintah yang dikeluarkan demi kepentingan rakyat banyak, kecuali untuk melayani oligarki dengan mengorbankan rakyat banyak, termasuk kaum buruh/pekerja," bunyi pernyataan KSPSI.

Disampaikan pula oleh KSPSI bahwa sejak UU Nmor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diterbitkan hampir semua masyarakat sipil Indonesia dengan para intelektualnya yang sangat terpelajar langsung menyatakan ketidaksetujuannya karena terlalu banyak pasal-pasal yang meminggirkan rakyat banyak hampir di semua sektor seperti perburuhan, pertanian, pertanahan, kehutanan dan lingkungan serta kehidupan masyarakat adat.

Baca juga: Sebut Perppu lebih buruk dari UU Ciptaker, Jumhur dukung aksi penolakan di DPR

Disamping melakukan aksi-aksi unjuk rasa, pengajuan judicial teview ke Mahkamah Konstitusi pun dilakukan dan akhirnya pada 25 November 2021 diputuskan bahwa UU Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat yang harus diperbaiki dalam 2 tahun dan bila tidak diperbaiki maka akan inkonstitusional secara permanen.

Secercah harapan muncul bagi kalangan masyarakat sipil Indonesia termasuk kaum buruh/pekerja, karena dengan putusan MK itu maka tentunya akan dibangun dialog yg konstruktif untuk memperbaiki UU Cipta Kerja itu.

Namun apa yang terjadi adalah selama 13 bulan sejak putusan MK, legislatif sama sekali tidak mengajak dialog pemangku kepentingan untuk memenuhi asas partisipasi yang berarti dan malah Presiden membuat Perppu tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 dengan alasan kegentingan yang memaksa.

Baca juga: Aksi protes rakyat Indonesia akan digelar 14 Februari 2023

Rumusan kegentingan yang memaksa telah dirumuskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 bahwa kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, (2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai dan (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan kendala yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Perppu itu diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau penolakan, sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jelaslah bahwa masa persidangan berikut adalah yang terdekat dengan waktu terbitnya Perppu itu yaitu masa sidang DPR dari tanggal 10 Januari sampai 16 Februari 2023. Pada masa sidang itu DPR gagal memberikan persetujuan terhadap Perppu tersebut karena telah melewati masa sidang. Namun DPR menyetujui Perppu tersebut pada masa sidang hari ini yaitu tanggal 21 Maret 2023.*

Pewarta: Rilis

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023