Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K) mengatakan perlu ada paradigma baru dalam penanganan komprehensif epilepsi anak pascapandemi COVID-19.

"Paradigma baru ini meliputi pemilihan Obat Anti-Epilepsi (OAE) yang selektif, kepemilikan asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bagi pasien anak epilepsi, kelengkapan imunisasi pada anak, akses rujukan ke RS Pendidikan bagi pasien anak, serta keterlibatan orang tua anak penderita epilepsi dalam Ruang Peduli Epilepsi Anak Indonesia (RPEAI)," kata Prof. Irawan Mangunatmadja di Kampus UI Kota Depok, Kamis.

Selama ini, katanya, belum ada kesepakatan mengenai tata laksana yang diberikan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) apabila ada pasien anak epilepsi yang datang dengan riwayat kejang.

"Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa 77 persen pasien yang diberi bolus fenobarbital intravena (IV) 10 mg/kg/kali tidak lagi mengalami kejang," ujarnya.

Oleh karena itu, pasien dengan kejang dianjurkan diberi fenobarbital IV dalam dosis tersebut. Sayangnya, saat ini obat fenobarbital IV terbatas di puskesmas dan RS.

Dikatakannya, akhir-akhir ini banyak pasien epilepsi yang cenderung menjadi pasien Epilepsi Resisten Obat (ERO). Untuk mencegah hal tersebut, ditetapkan ketentuan dalam pemberian dan pemilihan OAE. Perlu ditentukan komorbiditas pada pasien dan faktor risiko yang bisa menyebabkannya menjadi pasien ERO.

Pemilihan OAE awal untuk pasien epilepsi adalah OAE lini pertama sesuai dengan tipe kejang pasien. Apabila OAE awal sudah mencapai dosis maksimal dan pasien tetap kejang, dianjurkan pemberian OAE lini kedua sebagai kombinasi.

Apabila pasien telah menjadi ERO, pilihan terapi selanjutnya adalah diet ketogenik. Keberhasilan diet ketogenik lebih baik dibandingkan dengan OAE terbaru. Secara umum, diet ketogenik dapat menurunkan frekuensi kejang sebesar 50 persen atau lebih.

Metode ini dapat menggunakan susu khusus atau diet dengan makanan menu rumah tangga (Modified Atkins Diet). Jika diet ketogenik tidak berhasil, pasien dapat berkonsultasi ke dokter spesialis bedah saraf untuk kemungkinan dilakukan bedah epilepsi.

Dalam paradigma baru penanganan epilepsi anak, pasien epilepsi sangat dianjurkan untuk melengkapi imunisasi rutinnya dan vaksinasi COVID-19.

Adapun kriteria eksklusif pasien epilepsi yang tidak dapat menerima vaksinasi COVID-19 adalah pasien yang kejangnya masih sering berulang, epilepsinya disebabkan penyakit autoimun, dan disertai penurunan kesadaran.

Selain keadaan tersebut, pasien epilepsi wajib menerima imunisasi rutin dan vaksin COVID-19.


Pasien epilepsi diharuskan mempunyai asuransi kesehatan karena pengobatan dan perawatan memerlukan biaya yang cukup banyak. Pasien epilepsi setidaknya mempunyai BPJS yang berlaku di RS setempat untuk mendapat layanan komprehensif dan memiliki fasilitas rujukan ke RS Pendidikan.

Hal ini karena ketersediaan OAE di RS hanya memenuhi kebutuhan OAE lini pertama dan kedua, sedangkan pasien ERO yang sering mengalami kedaruratan dianjurkan mempunyai fasilitas rujukan ke RS Pendidikan di kota terdekat.

Baca juga: Suami sakit epilepsi, sang isteri depresi sampai bunuh diri

 

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023