Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan orang Papua itu tidak sekadar saudara bagi masyarakat Yogyakarta, tetapi bagian dari bangsa Indonesia, karena itu bagi yang mempunyai aspirasi separatis jangan tinggal di Yogyakarta. "Yogyakarta sudah kondusif bagian dari Republik Indonesia," tegas Sultan pada wartawan usai acara pamitan Kontingen Jumbara (Jumpa Bakti Gembira) PMR (Palang Merah Remaja) VIII 2016 PMI DIY di Kepatihan Yogyakarta, Selasa (19/7).

Dia mengatakan setiap tahun selalu memperingatkan kepada orang Papua yang tinggal di Yogyakarta jangan melakukan aspirasi separatis. Mereka setiap tahun selalu memperingati OPM (Organisasi Papua Merdeka). "Karena itu saya minta kepada teman-teman (red. orang Papua) sebangsa, sesaudara jangan punya aspirasi separatis,"tuturnya.

Sultan pun mengatakan, Kamis (21/7), seluruh ormas se DIY mau ketemu dia. "Mereka akan bertemu saya terkait dengan Papua, bagaimana?. Mereka akan mempertanyakan kenapa saya memberikan ruang kepada Papua," ujar Raja Keraton Yogyakarta ini.

Ketika ditanya tentang keinginan anggota DPRD Papua untuk bertemu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sultan mempersilakan. "Silakan saja kalau mau bertemu saya. Tetapi saya belum menerima suratnya," kata dia (Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/07/sri-sultan-separatis-tak-punya-tempat-di-yogyakarta.html).

Pernyataan Gubernur Yogyakarta tersebut langsung direspons secara emosional oleh Mathias Wenda yang mengaku sebagai kepala suku di Papua. Dalam pernyataan sarkatis dan bernuansa separatis tersebut, Mathias Wenda menyatakan, tanah Papua tidak pernah mengusir kalian, Tanah Papua tidak pernah memarahi kalian, Tanah Papua kalian tinggalkan, karena penjajah memaksa kalian harus merantau, kata mereka untuk menimba ilmu. Adalah kemauan orang Jawa NKRI yang membuat kami orang Papua harus terpaksa merantau ke Jawa. Oleh karena kalian saat ini telah ditolak merantau dan hidup di pulau Jawa, maka kalian harus punya harga diri, kalian harus mempertahankan martabat bangsa Papua sebagai bangsa yang punya tanah besar, pulau kaya-raya, melimpah dengan segala kekayaan. Kalian harus beritahu kepada Kepala Suku Jawa, Kepala Suku Madura, Kepala Suku Bali, Kepala Suku Batak, Kepala Suku Sunda, Kepala Suku Toraja, kepala Suku Manado, Kepala Suku lain-lain, bahwa dengan kepulangan anak-anak Papua ke tanah leluhur, maka pertama-tama orang-orang Jawa yang hidup mencari nafkah dan kekayaan di Tanah leluhur orang Papua harus pulang, karena itulah hukum alam, hukum manusiawi, dan konsekuensi logis (Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/07/Mmathias-wenda-orang-papua-di-tanah-jawa-pulang-berarti-orang-jawa-di-tanah-papua-juga-pulang.html).

Sementara itu, sejak 24 Juli 2016, perwakilan dari pemerintah Papua telah tiba di Yogyakarta.
Kedatangan mereka bertujuan untuk bertemu dan mendengarkan langsung dari mahasiswa Papua di Jogja terkait pengepungan asrama Kamasan I Papua oleh aparat kepolisian dan Ormas pada, 14-15 Juli 2017, ketika mahasiswa Papua berencana menggelar aksi mendukung ULMWP masuk sebagai anggota tetap MSG dan menuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Papua Barat.

"Tim dari DPRP yang dipimpin Yanni terdiri atas Komisi I DPR Papua bidang Politik, Hukum dan HAM yakni Ketua Komisi I, Elvis Tabuni, Sekretaris Komisi I, Mathea Mamoyau, anggota Komisi I selain saya ada juga Wilhelmus Pigai, Tan Wie Long dan Wakil Ketua Komisi II, Madai Kombo,” kata Laurenzus Kadepa (Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/07/dpr-papua-siap-menerima-apapun-itu-keputusan-mahasiswa-papua-di-jogja.html).

Mahasiswa Sebaiknya Tidak Terhasut Propaganda OPM/GSP
    
Pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, secara substantif tidak ada salahnya, karena sebagai kepala daerah tentunya menginginkan agar situasi di daerahnya tetap kondusif dan aman, agar jalannya pembangunan tidak terganggu, sehingga kesejahteraan rakyat akan segera tercapai.
    
Di samping itu, pernyataan orang nomor satu di Yogyakarta ini secara esensi juga sudah benar, sebab rakyat Papua adalah saudara bagi seluruh suku bangsa di Indonesia, dan Papua sangat diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk tetap menjadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia, sebab integrasi Papua ke Indonesia sudah final dan sah secara hukum positif nasional dan hukum internasional.
    
Menurut penulis, mahasiswa asal Papua yang kuliah di Yogyakarta dan daerah lainnya, seharusnya mensyukuri mereka adalah pemuda dan pemudi terpilih dari Papua untuk menempuh pendidikan tinggi yang nantinya diperlukan dalam membangun Papua dalam bingkai NKRI.
 
Oleh karena itu, sebaiknya memang mahasiswa Papua di Yogyakarta, Jakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Manado dan wilayah lainnya jangan sampai terhasut oleh ajakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Gerakan Separatis Papua (GSP) yang disuarakan melalui sayap-sayap politik mereka seperti KNPB, Parlemen Rakyat Daerah (PRD), Persatuan Nasional Papua Barat (PNPB) ataupun United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
    
Bagaimanapun juga, aktivitas mahasiswa Papua di Asrama Kamasan I Yogyakarta sudah dapat dikategorikan "aktivitas politik praktis" yang cenderung bernuansa membela organisasi separatis semacam ULMWP, sehingga sangat disayangkan sikap kaum intelektual muda Papua ini yang sudah termakan propaganda dan agitasi kelompok OPM/GSP.

Secara teoritis, propaganda merupakan kegiatan yang berulang-ulang. Teknik pengulangan merupakan kegiatan yang menjadi dasar dalam kegiatan propaganda. Secara evolusioner, propaganda mengalami perubahan di dalam dinamika kehidupan masyarakat. Di Gereja Katolik pada tahun 1622 telah mengenal yang namanya propaganda yang berasal dari kata Conggregatio de propaganda tide atau congregation for the propaganda of failth, dimana telah terjadinya reformasi, dimana berbagai kelompok membelot dari gereja dan jemah tersebut adalah bagian dari gereja kontra-reformasi. Pada saat itu orang sudah mengenal yang namanya propaganda.
    
Menurut Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.

Kedua, level rutinitas media. Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Rutinitas media juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk.

Ketiga, level organiasasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan.
Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu.

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi kasus pemberitaan media. Di antaranya sumber berita, sumber penghasilan, pemerintah dan lingkungan bisnis. Kelima, level ideologi. Ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Pada level ini akan dilihat lebih kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan.
    
Seharusnya, mahasiswa Papua dan media massa juga perlu hati-hati bahwa mereka dijadikan objek propaganda oleh kelompok kepentingan manapun. Oleh karena itu, mahasiswa Papua dan media massa khususnya di Papua perlu menyadari seringkali banyak "setting aksi dan kegiatan" yang dilakukan terus-menerus oleh GSP/OPM dalam mempengaruhi opini publik.
    
*) Penulis adalah Alumni Pasca sarjana Universitas Indonesia (UI). Pemerhati masalah an Indonesian current Issues.

Pewarta: Toni Ervianto *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016