Sejak pemerintah melarang ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020, babak baru dalam transformasi menyeluruh terhadap kebijakan ekonomi, dimulai.

Pemerintah menginginkan nilai tambah dari ekspor yang dilakukan, apalagi bijih nikel kerap disebut sebagai the mother of industry karena hasil pengolahan jenis logam ini menghasilkan produk turunan seperti baja tahan karat, baterai, telepon genggam, hingga kendaraan.

Logam tersebut diyakini jadi primadona baru, terlebih untuk mendukung kendaraan listrik yang digadang-gadang jadi industri masa depan.

Transformasi ini mengubah model bisnis masa lalu yang mengandalkan skema "keruk dan jual". Dalam 3 tahun sejak pelarangan ekspor bijih nikel, data dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menunjukkan hingga awal 2023 sudah ada 43 pabrik pengolahan nikel di Tanah Air. Jumlahnya diperkirakan terus bertambah mencapai 136 smelter nikel pada tahun 2025.

Larangan ekspor bahan baku pun demi menggenjot hilirisasi untuk mengerek kinerja ekspor nasional.

Dari hilirisasi induatri nikel terjadi peningkatan kinerja ekspor. Tahun 2017-2018, ekspor nikel hanya sekitar 3,3 miliar dolar AS. Nilai ekspor produk turunan nikel melesat menjadi 20,9 miliar dolar AS pada 2021, bahkan mencapai 33,8 miliar dolar AS pada 2022.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan memperkirakan ekspor turunan nikel meningkat dua kali lipat jika hilirisasi ke ekosistem industri baterai listrik bisa berjalan dalam 4-5 tahun ke depan.

Aspek hijau
Pemerataan ekonomi, mendongkrak daya saing produk, hingga melepaskan Indonesia dari jeratan status negara berpendapatan menengah (middle income trap) pun diyakini dapat terjadi dari hilirisasi ini

Pemerintah tidak semata mengejar kuantitas investasi hilirisasi yang masuk, melainkan tetap mendorong kualitas aspek hijau sejalan dengan tren dunia pada industri hijau (green industry) dan energi hijau (green energy).

Aspek hijau dinilai akan mendukung daya saing produk hasil pengolahan mineral. Dengan demikian, meski merupakan sumber daya alam tidak terbarukan, hasil hilirisasi mineral bisa mendapat label ramah lingkungan karena diolah secara lebih bertanggung jawab.

Hal itu sudah dilakukan dengan telah dimulainya proyek investasi industri baterai listrik terintegrasi dengan total 9,8 miliar dolar AS atau Rp142 triliun oleh konsorsium LG dan Indonesia Battery Corporation (IBC). Investasi tersebut meliputi penambangan bijih nikel, yang kemudian diolah menjadi prekursor dan katode, lalu menjadi sel baterai, battery pack, kendaraan listrik, hingga daur ulang baterai.

Pada September 2021, proyek investasi dimulai dengan pembangunan pabrik sel baterai kendaraan listrik di Karawang, Jawa Barat.

Diplomasi G20
Perjuangan untuk memuluskan upaya hilirisasi hasil tambang juga dilakukan dengan cara diplomasi melalui KTT G20. Kendati tidak mudah karena negara-negara G20 merasa keberatan, Indonesia akhirnya mampu meyakinkan mereka.

Menilik sejarah yang ada, sejumlah negara anggota G20 sebenarnya sudah jauh lebih dulu melakukan hilirisasi sebelum menjadi negara maju.

Sebut saja Inggris yang melarang ekspor wol untuk mendorong industri tekstil dalam negeri hingga menjadikannya sebagai pusat tekstil Eropa dan menjadi modal lahirnya revolusi industri modern.

Amerika Serikat juga pernah menerapkan pajak impor yang sangat tinggi pada abad 19 sampai awal abad 20 untuk mendorong industri di dalam negerinya.

China, yang pernah menerapkan TKDN sampai 90 persen untuk sektor otomotif untuk memastikan dampak positif investasi bagi ekonomi lokal mereka.

Finlandia membatasi kepemilikan asing untuk memberdayakan pelaku usaha lokal pada tahun 1987. Pembatasan tersebut membuat perusahaan yang dimiliki asing di atas 20 persen dikategorikan sebagai perusahaan "berbahaya".

Bali Compendium atau Kompendium Bali masuk dalam kesepakatan Bali Leaders' Declaration sebagai hasil KTT G20 2022.

Kompendium Bali mengarahkan setiap anggota G20 dapat menentukan kebijakan investasi negaranya masing-masing berdasarkan keunggulan komparatif dan tidak diperbolehkan melakukan intervensi antarnegara.

Pemerintah sudah memetakan untuk memperluas cakupan hilirisasi industri di delapan sektor, yaitu mineral, batu bara, minyak bumi, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan.

Terdapat 21 komoditas dari delapan sektor prioritas hilirisasi dengan potensi investasi sebesar sekira 545,3 miliar dolar AS (setara Rp8.200 triliun dengan kurs Rp15.200 per dolar AS) sepanjang 2023-2035.

Potensi investasi hilirisasi di sektor mineral dan batu bara 427,1 miliar dolar AS, minyak dan gas bumi 67,6 miliar dolar AS, serta perkebunan, perikanan, kelautan, dan kehutanan 50,6 miliar dolar AS.

Perluasan hilirisasi sesuai dengan kebutuhan di tengah krisis pangan dan energi yang mendera dunia, terlebih dengan perang Rusia-Ukraina yang belum terlihat ujungnya.

Meski sektor hilirisasi identik dengan teknologi tinggi, Pemerintah perlu memastikan penciptaan lapangan kerja dari investasi tersebut sejalan dengan target penciptaan nilai tambah.


Baca juga: PLN pasok listrik 800 MVA "smelter" nikel di Kutai Kertanegara

Baca juga: Luhut yakini Indonesia jadi produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia 2027




 

Pewarta: Ade irma Junida

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023