Bogor, 19/7 (ANTARA) - Berlokasi di dekat terminal, pusat perbelanjaan, dan stasiun kereta api, Museum Perjuangan Bogor seakan-akan tenggelam di tengah hiruk-pikuk keramaian lalu lintas dan aktivitas masyarakat sehari-hari.

Namun museum yang terletak di Jalan Merdeka nomor 56, Kota Bogor tersebut merupakan tempat penting dan tidak lepas dari perjalanan sejarah Indonesia, khususnya sejarah perjuangan di Kota Bogor.

Di museum inilah pengunjung dapat menikmati suasana masa lalu sekaligus belajar dan menambah pengetahuan mengenai selintas sejarah perjuangan di Kota Bogor.

Pengunjung juga akan lebih mengenal mengenai pahlawan-pahlawan Bogor seperti Mayor Oking dan Kapten Muslihat, yang kini namanya diabadikan dalam nama-nama jalan, melalui dokumentasi tertulis dan benda-benda peninggalan mereka.

Koleksi yang terdapat di museum ini terdiri atas macam-macam senapan yang digunakan para pejuang saat mempertahankan Tanah Air, juga terdapat senapan hasil rampasan dari Jepang dan Inggris, mata uang pada zaman VOC serta dilengkapi dengan diorama yang menggambarkan pertempuran di daerah Bogor dan sekitarnya.

Museum ini juga memiliki koleksi pakaian pejuang yang sebagian di antaranya memiliki noda darah asli.

Harga tiket masuk terbilang sangat murah, hanya dengan Rp. 3000/orang, pengunjung sudah bisa mendapatkan banyak pengetahuan akan sejarah bangsa Indonesia. Selain terdapat banyak koleksi benda bersejarah, museum ini juga menawarkan film bersejarah perjuangan para pahlawan.

Mungkin museum pada umumnya sudah tidak sering terdengar di telinga para remaja maupun anak-anak zaman sekarang. Dengan zaman yang serba teknologi seperti sekarang, anak muda lebih memilih menikmati museum melalui dunia maya atau virtual dibanding datang ke tempatnya langsung.  Bagi sebagian orang, khususnya remaja, museum mungkin dipandang sebagai tempat yang tidak menyenangkan dan alternatif terakhir untuk suatu pilihan wisata.

Meskipun demikian, pihak pengelola Museum Perjuangan Bogor terus berusaha memperkenalkan tempat ini, khususnya bagi kalangan generasi muda.

“Kami sengaja mengadakan kerjasama dengan berbagai sekolah, agar anak-anak maupun remaja khususnya di Bogor tertarik untuk datang ke museum untuk mempelajari sejarah negaranya sendiri,” tutur Mahruf, kepala pengelola dan pemandu Museum Perjuangan Bogor.

Ada ritual menarik yang harus dilakukan sebelum tur di museum ini. Pertama, menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat, kedua, membaca doa pembuka Al-Fatihah, dan yang terakhir ialah membaca surat yasin langsung dipimpin oleh Mahruf.

Ritual tersebut dilakukan semata-mata untuk menghormati jasa para pejuang yang sudah wafat dalam medan perang dan juga membangkitkan rasa nasionalisme untuk para pengunjung yang datang.

Saat ini tiap hari rata-rata sekitar 50 orang berkunjung ke Museum Perjuangan Bogor. Umumnya mereka datang dari berbagai sekolah di Kota dan Kabupaten Bogor.

Selain koleksi-koleksinya, bangunan museum yang sudah tujuh kali direnovasi ini juga memiliki memiliki nilai sejarah dan sudah ada jauh sebelum bangunan-bangunan di kawasan sekitarnya berdiri.

Bangunan dua lantai yang dibangun tahun 1879 ini pertama dimiliki oleh seorang pengusaha Belanda bernama Wilhelm Gustaf Wissner. Semula gedung itu dipakai sebagai gudang ekspor komoditas pertanian sebelum dikirim ke negara-negara di Eropa. Pada masa pergerakan gedung ini digunakan oleh Parindra pada tahun 1935  dengan nama gedung Persaudaraan.

Di masa penjajahan Jepang tahun 1942, tentara Jepang menggunakan bangunan ini untuk menyimpan barang–barang milik interniran Belanda, kemudian digunakan untuk menyambut dan mempertahankan kemerdekaan RI pada tahun 1945.

Pada 10 November 1957, bangunan itu resmi menjadi Museum Perjuangan Bogor melalui musyawarah para tokoh Pejuang Karesidenan Bogor yang meliputi Kota dan Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Depok.

Museum yang berlokasi di kawasan strategis dan mudah dijangkau di Kota Bogor, dapat menjadi pilihan wisata sekaligus menambah pengetahuan sejarah, di antara banyak tempat menarik di kota ini.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2012