Guru Besar Fakultas Peternakan IPB Profesor Jakaria mengemukakan potensi sapi Bali sebagai rumpun asli Indonesia bisa menjadi penghasil daging premium dengan pendekatan pengembangan bibit yang sedang dilakukan para peneliti untuk kebutuhan konsumsi pangan hewani masyarakat secara nasional ke depan.
Menurut Profesor Jakarja saat dikonfirmasi di Kota Bogor, Jumat, menyampaikan bahwa sapi Bali berkontribusi sebanyak 26.5 persen atau 4,7 juta ekor dari populasi nasional sebanyak 18 juta ekor, dengan populasi utama tersebar di pulau Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Lampung dan perlu ditingkatkan dengan berbagai upaya.
"Upaya peningkatan produktivitas sapi pedaging di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti peningkatan kualitas dan kuantitas pakan berbasis bahan baku lokal, manajemen pemeliharaan, manajemen reproduksi, dan penanganan serta pencegahan penyakit," katanya.
Profesor Jakaria menyebutkan, secara nasional, kebutuhan bibit masih sangat tinggi mencapai 7.745 ekor, akan tetapi bibit yang dihasilkan masih sangat terbatas dan dalam 11 tahun mulai 2011-2022 dihasilkan bibit bersertifikat 2.409 ekor atau 31,1 persen menurut data LsPro Dirjen PKH 2022.
Baca juga: Guru Besar Genetika Hewan IPB: Sapi Bali, harta karun Indonesia
Oleh karena itu, peningkatan produktivitas sapi Bali dapat menambah pasokan bibit sapi asli Indonesia yang berkualitas.
Dikatakannya, dilihat dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272 juta jiwa, kebutuhan daging nasional masih belum dapat dipenuhi dan bahkan masih defisit sebesar 39 persen.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), populasi sapi potong secara nasional terus meningkat sejak 2018 hingga 2021, yakni secara berturut-turut 16,4 juta ekor, 16,9 juta ekor, 17,4 juta ekor, dan 18 juta ekor.
Dengan jumlah permintaan yang cukup tinggi, kata Profesor Jakaria, untuk menghasilkan daging yang premium, upaya peningkatan produktivitas sapi Bali juga perlu dibarengi kualitas yang tidak kalah pentingnya, yaitu melalui peningkatan terhadap mutu genetik, di antara sapi rumpun asli Indonesia lain yakni sapi Madura, sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Pesisir Sumatera Barat, sapi Aceh, sapi Kahayan dan sapi Sumba-Ongole (SO) sebagai sapi hasil hibridisasi banteng.
Baca juga: Guru Besar IPB: Globalisasi turut pengaruhi kebutuhan daging sapi nasional
Dia menerangkan, bahwa Sapi Bali merupakan hasil domestikasi banteng. Banteng sebagai moyang sapi Bali secara taksonomi disebut dengan nama Bos sondaicus, Bos sundaicus, Bos javanicus, Bos bantinger, Bos banten, Bibos banteng dan Bibos sondaicus dengan potensi pengembangan yang baik.
Secara konvensional, peningkatan mutu genetik sapi Bali dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu seleksi dan persilangan atau cross-breeding.
Aplikasi konsep pemuliaan ternak konvensional yakni seleksi berdasarkan data fenotipik dan persilangan serta non-konvensional dengan menggunakan informasi data genom untuk menghasilkan bibit menjadi salah satu alternatif dan cara baru dalam membangun metode seleksi yang lebih efektif dan efesien.
Sejak ditemukan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan teknologi sekuensing, marka genetik berbasis genom menjadi sangat intensif dilakukan dan dianalisis khususnya pada sapi Bali untuk mendapatkan data genom yang dapat digunakan sebagai marker assisted selection (MAS).
Baca juga: IPB teliti daya dukung limbah kacang kedelai untuk tingkatkan produktivitas sapi
Aplikasi marka berbasis total genom yaitu Bovine SNP 50K menggunakan pengait gelang atau bead chip untuk memperkuat hasil dan sejalan dengan penggunaan marka DNA mikrosatelit dan DNA mitokondria, bahwa sapi Bali berbeda dengan rumpun sapi lainnya di dunia.
"Analisis keragaman genom inti menggunakan marka DNA mikrosatelit dan DNA mitkondria berdasarkan fragmen D-loop dan gen 16SrRNA ditemukan alel dan haplotype spesifik sapi Bali yang tidak ditemukan pada rumpun sapi lainnya. Berdasarkan analisis filogenetik, sapi Bali atau Bos javanicus berbeda dengan dengan rumpun sapi pedaging lainnya," jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
Menurut Profesor Jakarja saat dikonfirmasi di Kota Bogor, Jumat, menyampaikan bahwa sapi Bali berkontribusi sebanyak 26.5 persen atau 4,7 juta ekor dari populasi nasional sebanyak 18 juta ekor, dengan populasi utama tersebar di pulau Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Lampung dan perlu ditingkatkan dengan berbagai upaya.
"Upaya peningkatan produktivitas sapi pedaging di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti peningkatan kualitas dan kuantitas pakan berbasis bahan baku lokal, manajemen pemeliharaan, manajemen reproduksi, dan penanganan serta pencegahan penyakit," katanya.
Profesor Jakaria menyebutkan, secara nasional, kebutuhan bibit masih sangat tinggi mencapai 7.745 ekor, akan tetapi bibit yang dihasilkan masih sangat terbatas dan dalam 11 tahun mulai 2011-2022 dihasilkan bibit bersertifikat 2.409 ekor atau 31,1 persen menurut data LsPro Dirjen PKH 2022.
Baca juga: Guru Besar Genetika Hewan IPB: Sapi Bali, harta karun Indonesia
Oleh karena itu, peningkatan produktivitas sapi Bali dapat menambah pasokan bibit sapi asli Indonesia yang berkualitas.
Dikatakannya, dilihat dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 272 juta jiwa, kebutuhan daging nasional masih belum dapat dipenuhi dan bahkan masih defisit sebesar 39 persen.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), populasi sapi potong secara nasional terus meningkat sejak 2018 hingga 2021, yakni secara berturut-turut 16,4 juta ekor, 16,9 juta ekor, 17,4 juta ekor, dan 18 juta ekor.
Dengan jumlah permintaan yang cukup tinggi, kata Profesor Jakaria, untuk menghasilkan daging yang premium, upaya peningkatan produktivitas sapi Bali juga perlu dibarengi kualitas yang tidak kalah pentingnya, yaitu melalui peningkatan terhadap mutu genetik, di antara sapi rumpun asli Indonesia lain yakni sapi Madura, sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Pesisir Sumatera Barat, sapi Aceh, sapi Kahayan dan sapi Sumba-Ongole (SO) sebagai sapi hasil hibridisasi banteng.
Baca juga: Guru Besar IPB: Globalisasi turut pengaruhi kebutuhan daging sapi nasional
Dia menerangkan, bahwa Sapi Bali merupakan hasil domestikasi banteng. Banteng sebagai moyang sapi Bali secara taksonomi disebut dengan nama Bos sondaicus, Bos sundaicus, Bos javanicus, Bos bantinger, Bos banten, Bibos banteng dan Bibos sondaicus dengan potensi pengembangan yang baik.
Secara konvensional, peningkatan mutu genetik sapi Bali dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu seleksi dan persilangan atau cross-breeding.
Aplikasi konsep pemuliaan ternak konvensional yakni seleksi berdasarkan data fenotipik dan persilangan serta non-konvensional dengan menggunakan informasi data genom untuk menghasilkan bibit menjadi salah satu alternatif dan cara baru dalam membangun metode seleksi yang lebih efektif dan efesien.
Sejak ditemukan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan teknologi sekuensing, marka genetik berbasis genom menjadi sangat intensif dilakukan dan dianalisis khususnya pada sapi Bali untuk mendapatkan data genom yang dapat digunakan sebagai marker assisted selection (MAS).
Baca juga: IPB teliti daya dukung limbah kacang kedelai untuk tingkatkan produktivitas sapi
Aplikasi marka berbasis total genom yaitu Bovine SNP 50K menggunakan pengait gelang atau bead chip untuk memperkuat hasil dan sejalan dengan penggunaan marka DNA mikrosatelit dan DNA mitokondria, bahwa sapi Bali berbeda dengan rumpun sapi lainnya di dunia.
"Analisis keragaman genom inti menggunakan marka DNA mikrosatelit dan DNA mitkondria berdasarkan fragmen D-loop dan gen 16SrRNA ditemukan alel dan haplotype spesifik sapi Bali yang tidak ditemukan pada rumpun sapi lainnya. Berdasarkan analisis filogenetik, sapi Bali atau Bos javanicus berbeda dengan dengan rumpun sapi pedaging lainnya," jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022