Wali Kota Depok Mohammad Idris dan Wakil Wali Kota Depok Imam Budi Hartono ingin mewujudkan warga Depok sesuai dengan misi Kota Depok yang ketiga di periode 2021-2026, yaitu mewujudkan masyarakat yang religius.

Selain itu juga ingin warga Depok berbudaya yang berbasiskan kebhinekaan dan ketahanan keluarga, sesuai misi ketiga Kota Depok dan itu (kata religius) dicantumkan dalam misi Kota Depok.

Untuk itu maka Pemerintah Kota Depok membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyelenggaraan Kota Religius (PKR). Raperda PKR memiliki makna tersendiri bagi kerukunan antarumat beragama di Kota Depok. 

Dalam raperda tersebut penggunaan kata religius juga sudah ada di dalam dokumen pemerintah daerah khususnya Pemerintah Kota (Pemkot) Depok.

Adapun maksud dari Raperda PKR yang di dalamnya tercantum upaya Pemkot Depok untuk memfasilitasi peningkatan kualitas pendidikan keagamaan, kesejahteraan elemen penunjang kegiatan keagamaan, serta kualitas sarana dan prasarana keagamaan yang tidak tersentuh oleh Kementerian Agama. 

Jika sudah ada peraturan daerahnya, penguatan kegiatan keagamaan tidak lagi menggunakan dana hibah, tetapi melalui belanja langsung dari APBD lewat dinas atau asisten terkait, bisa juga langsung melalui kepala daerah.

Alasan hadirnya Raperda PKR yang yaitu untuk mengatasi masalah sosial melalui kegiatan-kegiatan pembinaan keagamaan, oleh karena itu, Pemkot Depok membentuk tim pembimbing rohani untuk semua agama.

Pembimbing rohani ini dari agama-agama yang diakui oleh pemerintah, jadi tidak ada beda-beda agama, tahun ini sudah 1.500 pembimbing rohani, tahun depan juga akan bertambah jumlahnya.

Jadi PKR ini tidak menyentuh persoalan-persoalan ibadah ritual pribadi seperti bagimana harus ke gereja, bagaimana harus ke klenteng, bagaimana harus ke masjid, tidak sama sekali menyentuh hal-hal yang bersifat personal, tetapi yang bersifat kemaslahatan keagamaan yang tidak disentuh oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama.

Idris menjelaskan bahwa Pemkot Depok telah melakukan konsultasi Raperda PKR ke bebagai pihak terkait, mulai dari pakar dan akademisi Universitas Indonesia (UI), tim Sinergitas, sampai tim biro hukum terkait persoalan materiil dalam Raperda PKR.

Selanjutnya, Pemkot Depok melakukan konsultasi ke Biro Hukum dan Kerja Sama Kementerian Agama pada 2 November 2021.

Menurut Idris, berdasarkan hasil konsultasi ke Biro Hukum dan Kerja Sama Kementerian Agama tersebut, mereka menyambut baik rancangan peraturan daerah ini dan menyatakan bahwa isi Raperda PKR tidak melampaui kewenangan Pemerintah Daerah.

Setelah itu, Pemkot Depok pun kembali melakukan konsultasi ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat. Hasil konsultasi tersebut, Kemenkumham menyarankan perubahan judul menjadi Raperda tentang Fasilitasi Peyelenggaraan Kegiatan Keagamaan, namun subtansi dan materi Raperda tidak disarankan diubah.

Idris mengatakan bahwa hasil konsultasi dengan beberapa pihak tersebut menjadi acuan Pemkot Depok dalam melakukan perbaikan Raperda PKR sebelum diserahkan ke DPRD Kota Depok.

Hasil konsultasi sudah kita tampung, Pemkot Depok sudah menyerahkan Raperda PKR untuk dibahas oleh Pansus 4 DPRD Kota Depok dan selesai, artinya DPRD sudah menyepati bersama Pemerintah Kota.

Sebagaimana diketahui bahwa secara prosedural, selanjutnya pemda yang hendak mengundangkan Peraturan Daerah, berkewajiban melayangkan Raperda tersebut kepada Provinsi sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat.

Secara prosedural, Perda PKR yang telah disepakati bersama antara  Pemkot dan DPRD Kota Depok harus diajukan fasilitasi ke Gubernur Jawa Barat, Di sana lewat biro hukum (Jabar) biasanya teman-teman di provinsi melakukan evalusi atas materiilnya.

Pada 24 Januari 2022, telah menerima surat hasil fasilitasi atas nama Gubernur Jawa Barat melalui Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat terkait Raperda PKR tersebut.

Dalam surat tersebut, Pemprov Jawa Barat menyatakan bahwa Raperda PKR secara substansi muatannya mengatur dan menormakan mengenai kehidupan beragama di Daerah Kota Depok, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, urusan agama merupakan urusan pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Menurut Pemprov Jabar, penyelenggaraan kehidupan beragamaan tidak dapat dinormakan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kota Depok, dengan arti lain Raperda ini tidak dapat dilanjutkan untuk ditetapkan.

Atas penyampaian hasil fasilitasi tersebut, Idris pun meminta kepada Kabag Hukum Kota Depok bersama tim untuk beraudiensi ke Biro Hukum Provinsi Jawa Barat untuk menjelaskan intinya dari Raperda PKR.

Subtansi muatan PKR ini tidak mengatur atau menormakan kehidupan beragama yang bertentangan dengan UU sebagaimana yang dimaksudkan oleh provinsi. Kami jelaskan ke provinsi bahwa nantinya Raperda PKR ini akan memfasilitasi peningkatan kualitas pendidikan keagamaan, misalnya terkait kurikulum Majelis Taklim.

Melalui Raperda PKR ini pun Pemkot Depok ingin memfasilitasi penguatan kerukunan umat beragama melalui pembimbing rohani yang mendapatkan insetif dari Pemkot.  

Pemerintah Provinsi Jawa Barat mempersilakan Pemkot Depok melakukan audiensi dengan Kementerian Dalam Negeri terkait Raperda PKR, itu saran dari Pemprov.

Berdasarkan saran dari provinsi tersebut, pada 21 Juli 2022, Pemkot Depok beraudiensi dengan Direktur Produk Hukum Daerah Kementerian Dalam Negeri.

Hasilnya, Raperda PKR sebaiknya tidak dilanjutkan dengan judul tersebut karena sangat bersinggungan dengan urusan keagamaan yang merupakan kewenangan absolut Pemerintah Pusat.

Disarankan untuk penuangan visi misi Kepala Daerah agar diterjemahkan dan dimasukkan ke dalam beberapa rancangan peraturan daerah yang berkaitan.

Dalam penyusunan produk hukum daerah sebaiknya harus ada pijakan regulasi yang jelas untuk melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dan Biro Hukum Provinsi Jawa Barat dan Direktorat Produk Hukum Daerah Kementerian Dalam Negeri memliki pemahaman sama sesuai dengan Surat hasil Fasilitasi Biro Hukum Provinsi Jawa Barat.

Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Direktorat Produk Hukum Daerah telah menerima permohonan konsultasi Pemerintah Kota Depok pada tanggal 21 Juli 2022 dan menyampaikan pendapat yang sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.  

Secara aturan yang memiliki kewenangan untuk memfasilitasi Raperda PKR adalah gubernur, ini hasil audiensi dengan mereka (Kementerian Dalam Negeri).

Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan dalam surat fasilitasinya gubernur tadi Raperda PKR tidak dapat dilanjutkan, namun dalam audiensi dengan direktorat ini (Kemeterian Dalam Negeri) menyampaikan, jika akan dilanjutkan maka dilakukan harmonisasi kembali antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Pemerintah Kota Depok. 
 
Hasil fasilitasi Gubernur Jawa Barat untuk tidak melanjutkan, dirinya sebagai Wali Kota Depok yang mempunyai inisiasi atas Raperda PKR pun tetap mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak. 

Tak lupa, Idris juga berterima kasih kepada Kementerian Dalam Negeri yang memberikan arahan-arahan yang sangat bijak. Terutama  Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang memberikan arahan nasihat agar kita saling berlapang dada di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di pemerintah daerah khususnya Kota Depok. 

"Raperda ini kalau memang nanti keputusan bersama dengan DPRD tidak dilanjutkan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya," kata Idris.

Diminta legowo

Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Depok Ikravany Hilman menyatakan penolakan Raperda PKR oleh Kementerian Dalam Negeri sudah bisa ditebak sebelumnya, karena pengaturan soal religius merupakan ranah dari Pemerintah Pusat, sehingga tidak perlu diturunkan menjadi sebuah peraturan daerah.

Ikra menyatakan sudah menduga dari sejak awal, Fraksi PDIP sudah menolak, karena soal religiusitas itu kewenangan absolut pemerintah pusat.

Pemerintah Kota Depok seharusnya mendengarkan masukan-masukan soal kontroversialnya Raperda tersebut sejak awal diusulkan.

Ikra mengatakan ketika ingin dibahas di Pansus DPRD Depok, Fraksi PDI Perjuangan tetap menolak, walaupun akhirnya dibahas karena kami kalah ketika dilakukan voting dan keputusannya akhirnya dibahas.

Sejak awal pengajuannya pada tahun 2019, Raperda PKR ini memang penuh kontroversial, karena dianggap menyentuh sektor privat masyarakat yang sejatinya tidak perlu dilakukan oleh pemerintah daerah.

Pemerintah Kota Depok seharusnya legowo dan tidak memaksakan kehendak, anggaran bernilai ratusan juta yang diperuntukkan membahas Raperda tersebut tidak terbuang sia-sia seperti saat ini.

Ini tentunya menjadi pelajaran, karena secara argumen sudah tidak dibenarkan maka hendaknya Pemkot Depok jangan memaksakan.
 
 

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022