Masyarakat adat di Katingan, Kalimantan Tengah, yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) untuk kedua kalinya berhasil meraih sertifikasi ekolabel Forest Stewardship Council (FSC).
"Dengan sertifikasi FSC yang telah diraih untuk kedua kalinya pada Agustus 2022, masyarakat adat di Katingan yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) dapat membuktikan kepada pemerintah daerah bahwa masyarakat dapat memelihara dan mengelola hutan secara bertanggung jawab, berkelanjutan, bernilai ekonomi bagi masyarakat sekitar, dan diakui secara internasional," kata Marketing and Communication Manager FSC Indonesia, Indra Setia Dewi kepada ANTARA di Bogor, Kamis (6/10) 2022.
"Sehingga upaya pihak lain untuk mengubah hutan menjadi lahan non-hutan dapat dicegah," tambahnya.
FSC adalah organisasi nirlaba yang menyediakan solusi pengelolaan hutan berkelanjutan yang kredibel.
Baca juga: FSC kembangkan jaringan perdagangan kayu tropis berkelanjutan
Ia menjelaskan bahwa sertifikasi FSC sangat membantu masyarakat adat Katingan dalam mengamankan fungsi hutan.
Dengan tingginya tingkat konversi lahan hutan menjadi lahan non-hutan, kata dia, masyarakat adat Katingan berjuang untuk mempertahankan keseimbangan fungsi hutan agar tanaman Rotan tetap terjaga keberadaannya.
Namun di sisi lain, pemerintah daerah dapat memberikan izin untuk mengubah lahan hutan menjadi non-hutan apabila terbukti masyarakat tidak dapat mengelola lahan hutan dan tidak memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat setempat.
Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) merupakan asosiasi petani rotan di wilayah Katingan, yang berdiri sejak tahun 2004, yang mengelola rotan yang tersebar di 6 kecamatan dan 21 desa, dimana total luas yang dikelola oleh P2RK adalah 30.000 hektare.
Baca juga: FSC sebut bahan kayu lebih ramah lingkungan pada konstruksi bangunan
Dari luasan itu, kata Indra Setia Dewi, yang bersertifikat FSC, hanya 1.098 hektare. Sedangkan sebaran rotan di Katingan totalnya mencapai 60.000 hektare.
Sementara itu pendiri asosiasi rotan P2RK Sarimanto mengatakan tantangan berat yang dihadapi petani rotan adalah kualitas rotan yang bersertifikat FSC dengan yang tidak bersertifikat sama baiknya.
"Tetapi yang tidak bersertifikat FSC hanya dapat dijual dengan harga yang lebih rendah," katanya.
Ia menjelaskan bahwa rotan alami tetap harus dipanen agar kualitas rotan dapat terjaga, sedangkan rotan yang telah dipanen memiliki umur simpan yang terbatas, sehingga tetap harus dijual.
Baca juga: FSC sebut 26 ribu hektare hutan rakyat sudah tersertifikasi
Rotan bersertifikat FSC, kata dia, sepenuhnya diserap oleh pabrik domestik bersertifikat FSC untuk memenuhi permintaan ritel domestik untuk produk bersertifikat FSC.
Pabrik ini juga membeli dengan harga yang lebih tinggi untuk rotan yang bersertifikat FSC.
Namun, permintaan rotan bersertifikat FSC masih relatif kecil dibandingkan dengan permintaan rotan yang tidak bersertifikat.
"Bagi pembeli, rotan bersertifikat FSC mungkin hanya perabot, tetapi bagi kami, rotan adalah keberadaan kami dan bukti bahwa kami dapat menjaga hutan," demikian Sarimanto.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
"Dengan sertifikasi FSC yang telah diraih untuk kedua kalinya pada Agustus 2022, masyarakat adat di Katingan yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) dapat membuktikan kepada pemerintah daerah bahwa masyarakat dapat memelihara dan mengelola hutan secara bertanggung jawab, berkelanjutan, bernilai ekonomi bagi masyarakat sekitar, dan diakui secara internasional," kata Marketing and Communication Manager FSC Indonesia, Indra Setia Dewi kepada ANTARA di Bogor, Kamis (6/10) 2022.
"Sehingga upaya pihak lain untuk mengubah hutan menjadi lahan non-hutan dapat dicegah," tambahnya.
FSC adalah organisasi nirlaba yang menyediakan solusi pengelolaan hutan berkelanjutan yang kredibel.
Baca juga: FSC kembangkan jaringan perdagangan kayu tropis berkelanjutan
Ia menjelaskan bahwa sertifikasi FSC sangat membantu masyarakat adat Katingan dalam mengamankan fungsi hutan.
Dengan tingginya tingkat konversi lahan hutan menjadi lahan non-hutan, kata dia, masyarakat adat Katingan berjuang untuk mempertahankan keseimbangan fungsi hutan agar tanaman Rotan tetap terjaga keberadaannya.
Namun di sisi lain, pemerintah daerah dapat memberikan izin untuk mengubah lahan hutan menjadi non-hutan apabila terbukti masyarakat tidak dapat mengelola lahan hutan dan tidak memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat setempat.
Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) merupakan asosiasi petani rotan di wilayah Katingan, yang berdiri sejak tahun 2004, yang mengelola rotan yang tersebar di 6 kecamatan dan 21 desa, dimana total luas yang dikelola oleh P2RK adalah 30.000 hektare.
Baca juga: FSC sebut bahan kayu lebih ramah lingkungan pada konstruksi bangunan
Dari luasan itu, kata Indra Setia Dewi, yang bersertifikat FSC, hanya 1.098 hektare. Sedangkan sebaran rotan di Katingan totalnya mencapai 60.000 hektare.
Sementara itu pendiri asosiasi rotan P2RK Sarimanto mengatakan tantangan berat yang dihadapi petani rotan adalah kualitas rotan yang bersertifikat FSC dengan yang tidak bersertifikat sama baiknya.
"Tetapi yang tidak bersertifikat FSC hanya dapat dijual dengan harga yang lebih rendah," katanya.
Ia menjelaskan bahwa rotan alami tetap harus dipanen agar kualitas rotan dapat terjaga, sedangkan rotan yang telah dipanen memiliki umur simpan yang terbatas, sehingga tetap harus dijual.
Baca juga: FSC sebut 26 ribu hektare hutan rakyat sudah tersertifikasi
Rotan bersertifikat FSC, kata dia, sepenuhnya diserap oleh pabrik domestik bersertifikat FSC untuk memenuhi permintaan ritel domestik untuk produk bersertifikat FSC.
Pabrik ini juga membeli dengan harga yang lebih tinggi untuk rotan yang bersertifikat FSC.
Namun, permintaan rotan bersertifikat FSC masih relatif kecil dibandingkan dengan permintaan rotan yang tidak bersertifikat.
"Bagi pembeli, rotan bersertifikat FSC mungkin hanya perabot, tetapi bagi kami, rotan adalah keberadaan kami dan bukti bahwa kami dapat menjaga hutan," demikian Sarimanto.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022