Ada film menarik yang diputar perdana di seluruh bioskop di Indonesia mulai hari ini, 5 Oktober 2022, "The Woman King".

Film ini  bukan sekadar soal peperangan, kekuatan, dan perempuan. Film ini menggali lebih dalam ke dramatisasi soal cinta, persaudaraan dan komunitas, serta moralisme.

Ini sebuah film epik sejarah tentang Agojie, pasukan prajurit wanita yang melindungi Kerajaan Dahomey di Afrika Barat pada abad ke-17 hingga ke-19.

Mengambil latar tahun 1820-an, film ini mengikuti kisah Jenderal Nanisca (Viola Davis), pemimpin kelompok pejuang perempuan, yang dijuluki Agojie, membebaskan para perempuan Dahomey yang diculik oleh para penjual budak dari Kekaisaran Oyo.

Raja Ghezo (John Boyega) dari Dahomey mempersiapkan perang habis-habisan dengan Oyo. Nanisca mulai melatih generasi baru prajurit untuk bergabung dengan Agojie untuk melindungi kerajaan.

Pemenang Academy Awards Viola Davis (yang juga berperan sebagai produser di film ini), merupakan bintang yang mampu menghidupkan cerita epik ini. Davis menyelami kedalaman dan nuansa emosional yang mengesankan sebagai Nanisca, sang pemimpin Agojie.

Karakter yang diperankannya bisa dibilang cukup kompleks. Ia adalah seorang pemimpin yang tegas, protektif, defensif, namun juga penuh cinta dan kerapuhan -- walaupun ia tak ingin menunjukkan "kelemahan" itu di hadapan para prajuritnya.

Nanisca mencintai para wanita yang bergabung bersamanya di tengah peperangan, mencintai wanita-wanita muda yang baru akan memulai perjalanannya sebagai seorang pejuang kemerdekaan -- merdeka dari penjajah, perbudakan, dan trauma serta rasa sakit yang mereka bawa bersama dirinya.


 
"The Woman King" (2022). (ANTARA/HO/Sony Pictures)


Karakter keras Nanisca harus diadu dengan Agojie muda bernama Nawi (diperankan dengan sangat memukau oleh Thuso Mbedu), yang ambisius dan sama kokohnya seperti sang jenderal. Nawi merupakan seorang anak perempuan yang diserahkan oleh sang ayah kepada kerajaan karena ia menolak untuk dinikahkan dengan orang tua kaya. Hubungan antara Nanisca dan Nawi bermula sulit. Keduanya sering bertengkar saat petarung muda berulang kali mempertanyakan beberapa peraturan bahkan desas-desus yang menyelimuti Agojie, termasuk penggunaan ritual sihir tertentu.
 
Meski berlatarkan ratusan tahun lalu, film ini mampu terasa begitu dekat di masa kini dengan isu tentang hak dan perjuangan perempuan.

Film ini menjadi pengingat sekaligus suara bagi para perempuan korban pemerkosaan yang biadab; bagi mereka yang masih merasa tidak mampu memilih jalan hidupnya; bagi mereka yang ingin merdeka dari segala ketidakadilan dan keterbatasan.

Baca juga: Diskominfo Jabar sisipkan program pemda lewat film Kabayan Milenial The Series

Baca juga: Sutradara isyaratkan akan membuat "Pengabdi Setan 3" dengan sejumlah syarat

 

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022