Doktor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr. Nia Novita Wirawan, STP, M.Sc., merekomendasikan formulasi makanan campuran dalam pencegahan stunting.

"Jumlah asupan protein saja tidak cukup. Perlu diperhatikan juga kualitas sumber protein khususnya perbandingan protein yang berasal dari hewani dan nabati," kata Nia Novita Wirawan di kampus UI Depok, Selasa.

Selain itu, makanan lokal dengan kandungan dan daya serap gizi yang tinggi seperti kacang tunggak, buncis batik, ikan wader, dan susu sapi segar, jika dijadikan formulasi makanan campuran sebagai tambahan makanan, dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi anak baik zat gizi makro, mikro, maupun asam amino.

Menurut dia anak yang mengalami stunting memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi sebagai akibat dari sistem imunnya yang lebih lemah. Selain itu, mereka juga mempunyai kemungkinan yang lebih besar menderita tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, dan obesitas, ketika dewasa.

Baca juga: FKM UI kembangkan alat deteksi "stunting" untuk balita

Implikasi lainnya adalah pada prestasi akademik yang terganggu akibat perkembangan otak dan mental pada usia muda. Di kemudian hari, kondisi ini akan dikaitkan dengan tingkat produktivitas dan pendapatan ekonomi yang lebih rendah.

Nia menjelaskan, kondisi stunting sebagian besar terjadi bersamaan dengan indikator gizi kurang lainnya, seperti wasting (kurus).

Dr. Nia Novita Wirawan, STP, M.Sc., menyampaikan hal tersebut saat memaparkan disertasinya yang berjudul “Amino Acid Intake and blood Concentration of Stunted Non-Wasted Indonesian Children 12-23 Months Living in An Agricultural Area: A Basis for a Complementary Feeding Recomendation and Food Multi-Mix Formulation” dalam Sidang Promosi Doktor, Program Studi Doktor Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Baca juga: FKM UI bantu berdayakan kader dan perangkat desa dalam deteksi dini stunting di Bogor

Penilaian terhadap faktor yang berhubungan dengan stunting sebagai bentuk masalah gizi kronis, memungkinkan dapat tumpang tindih dengan penyebab masalah gizi akut seperti wasting. Oleh karena itu, membandingkan stunting tanpa mengecualikan wasting, dapat menghasilkan perbedaan yang berlebihan pada kedua kelompok tersebut.

"Penelitian dilakukan pada anak usia 12-23 bulan di 13 desa dari 2 kecamatan, di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Wilayah ini merupakan wilayah pertanian sebagai penghasil sayur, buah, ikan, dan susu sapi. Sebanyak 151 anak tanpa penyakit menjadi subjek penelitian. Anak-anak ini lahir cukup umur dan berat badan lahir normal. Subjek penelitian terdiri dari 87 anak stunting dan 64 anak normal, dimana anak pada kedua kelompok tidak wasting," ujar Nia.

Dari penelitian tersebut didapatkan hasil, konsentrasi asam amino arginin dalam darah anak stunting lebih rendah dibandingkan anak normal. Namun, tidak ada perbedaan bermakna pada asupan zat gizi makro, mikro, dan asam amino antara anak stunting dan normal.

Baca juga: FKM UI berdayakan dukun bayi untuk deteksi dini dan cegah kekerdilan anak

Penelitian ini juga menemukan, rasio antara asupan sumber protein hewani dan nabati lebih tinggi pada anak normal, dan proporsi anak stunting dengan asupan protein yang kurang lebih tinggi dibandingkan anak normal.

Vitamin B1 dan zat gizi seng tidak tercukupi pada kelompok stunting namun tercukupi pada kelompok normal. Selain itu, asam amino histidin menjadi masalah gizi untuk kedua kelompok.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022