Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan salah satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 284/Kpts-II/1992. Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan dengan tujuan utama untuk konservasi badak jawa (Rhinoceros sondaicus).
Taman Nasional Ujung Kulon mempunyai luas 105.694,46 ha yang terdiri atas 61.357,46 ha daratan dan 44.337 ha perairan laut dan terletak di Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Pada 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO kemudian menetapkan Ujung Kulon sebagai The Natural World Heritage Site.
TNUK merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Pulau Jawa. Saat ini TNUK merupakan habitat terakhir badak jawa, setelah pada April 2010 IUCN mengumumkan kepunahan badak jawa di Cat Loc Cat Thien National Park di Vietnam Selatan.
Badak jawa merupakan satwa langka yang masuk dalam Red List Data Book IUCN dengan kategori critically endangered atau satwa yang terancam punah. Badak jawa juga terdaftar dalam Apendiks I CITES sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan karena jumlahnya yang sangat sedikit dan terancam punah.
Pemerintah Indonesia menetapkan badak jawa sebagai satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar.
Berdasarkan hasil monitoring Balai TNUK, badak jawa yang menghuni ujung barat pulau Jawa itu saat ini tercatat berjumlah 76 ekor. Kondisi populasi badak jawa yang hanya terdapat pada satu lokasi dengan jumlah individu yang kecil tersebut, sangat rentan terhadap kepunahan.
Baca juga: Populasi badak jawa Ujung Kulon dan elang jawa di TMII bertambah
Beberapa faktor yang mengancam kelestarian badak jawa di TNUK, dapat berasal dari lingkungan internal dan eksternal. Faktor internal meliputi besarnya potensi perkawinan seketurunan (inbreeding), persaingan, dan degradasi kondisi habitat.
Sedangkan faktor eksternal yang dapat mengancam kelestarian badak jawa adalah penyebaran wabah penyakit khususnya dari hewan lain, perburuan, dan bencana alam (tsunami dan erupsi gunung berapi) karena posisi geografis semenanjung Ujung Kulon yang dikelilingi oleh lautan dan dekat dengan Gunung Krakatau.
Mempertimbangkan kondisi tersebut, untuk menyelamatkan populasi badak jawa dari ancaman kepunahan perlu dilakukan langkah strategis dan terencana. Berdasarkan hasil pertemuan Balai TNUK bersama AsRSG (Asian Rhino Specialis Group), dan sejumlah lembaga konservasi pada 2009, disepakati untuk membangun Javan Rhino Studi and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon.
Studi dan konservasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Indonesia Peraturan Menhut No 43/2007, sejatinya telah menetapkan wilayah seluas 5.100 hektare dalam kawasan TNUK sebagai wilayah JRSCA.
Areal yang secara geografis berada di luar semenanjung Ujung Kulon ini, dipisahkan Tanah Genting Laban-Karang Ranjang. Wilayah ini diperkirakan relatif aman dari ancaman erupsi Gunung Anak Krakatau dan juga terjangan tsunami. Sementara populasi badak jawa saat ini terkonsentrasi di semenanjung Ujung Kulon saja.
Berdasarkan lokasinya, areal JRSCA berada di bagian selatan Gunung Honje dengan batas-batas di sebelah utara berbatasan dengan zona khusus Kampung Legon Pakis yang berada dalam kawasan TNUK, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan kawasan Gunung Honje, sebelah barat berbatasan dengan hutan blok Laban - Karang Ranjang.
Baca juga: Sepasang badak jawa lahir di Taman Nasional Ujung Kulon
Terdapat delapan sungai besar di antaranya Cilintang, Cihujan, Cikarang, Kalejetan, Aermokla, Selokan Duyung, Ciprepet, dan Cipunaga, serta terdapat anak sungai Cilintang, Kalejetan, dan Aermokla. Sungai ini dapat menjadi tempat bagi badak untuk berendam/mandi.
Selain sungai, pada area JRSCA juga ditemukan sejumlah lokasi kubangan permanen yang digunakan pada saat musim kemarau. Keberadaan kubangan tersebut sangat penting bagi kehidupan badak jawa karena digunakan untuk mengatur suhu tubuh, pemenuhan mineral, dan melindungi kulit dari parasit/jamur.
Guru Besar IPB sekaligus Tim Penyempurnaan Manajemen dan Rencana Tapak JRSCA Prof Harini Muntasib menjelaskan pencanangan JRSCA sebenarnya dimulai pada 2011, manajemen plan ditetapkan pada 2015. Lalu pada 2018, TNUK bersama IRF dan Yayasan Badak Indonesia mulai menyusun visibility study dan side plan. Kemudian dievaluasi kembali pada 2019-2020, hasilnya ada sejumlah aspek yang mesti disesuaikan kembali.
Kegiatan prakondisi dilakukan meliputi sosialisasi, pemindahan perambah, pembinaan habitat, pembangunan pagar beraliran listrik kejut, serta pembangunan basecamp. Proyek itu sempat terhenti dan kini berlanjut pada 2022.
Lewat pembukaan koridor di semenanjung Ujung Kulon, badak jawa diharapkan bergerak masuk ke areal JRSCA. Individu-individu tersebut akan menjadi sub-populasi. Pada 2012 saat pengendalian langkap, terekam tiga badak jawa yang hidup di areal untuk JRSCA.
Pada 2018, satu badak jawa yang diidentifikasi bernama Samson ditemukan mati di pesisir pantai Resort Karang Ranjang. Selepas kematian Samson, dua badak jawa lainnya tidak ditemukan lagi baik secara jejak maupun kotoran.
Baca juga: Mahasiswa IPB beberkan hasil ekspedisinya ke Ujung Kulon
Berkaca pada kondisi itu semua, areal JRSCA yang terletak di tiga wilayah kerja resort yakni Lagon Pakis, Kalajetan, dan Karang Ranjang merupakan lokasi yang cocok sebagai habitat kedua badak jawa karena sebelumnya pernah menjadi kantung populasi meski kecil.
Ada dua hal yang akan menjadi prioritas dalam pengembangan JRSCA ini yakni pembangunan sarana-prasarana dan jalan patroli. Pada pembangunan sarana-prasarana yakni pagar kawat beraliran listrik kejut sebagai pembatas agar badak tidak keluar dari areal JRSCA.
Pagar kawat tersebut akan dibangun pada sisi timur areal JRSCA sepanjang 8,2 km, yang terdiri dari dua ruas yaitu pada bagian utara antara blok Cilintang sampai blok Cimahi sepanjang sekitar 5,4 km dan bagian selatan antara blok Bangkonol sampai blok Tanjung Sodong sepanjang sekitar 2,8 km.
Adapun untuk jalan patroli membangun jalur di sepanjang pagar yang ditujukan khusus sebagai jalan patroli, monitoring, studi dan penelitian serta untuk kepentingan lain yang mendukung JRSCA.
"Nanti di sana ada semacam research center. Nanti orang akan meneliti di situ. Penelitian tentang badak yang sebelumnya minim, nanti di sana bisa meneliti lebih jauh soal perilakunya hingga reproduksinya," kata Harini saat dijumpai disela-sela kegiatan mengajarnya.
Tak ada jalan lain
Harini mengatakan menggiring badak ke habitat baru memang bukanlah perkara yang mudah. Jangankan untuk menangkap, sekedar bertemu pun sangat sulit. Sementara JRSCA dibangun selain meningkatkan populasi juga menjaga keberagaman genetik.
Badak yang nantinya akan digiring untuk masuk ke JRSCA adalah individu yang tidak memiliki pertalian kekeluargaan. Dengan begitu, apabila terjadi perkawinan maka akan menjaga keberagaman genetik badak jawa.
"Pengawasannya bisa lebih dekat, jadi nanti enggak semua yang dimasukan ke paddock, hanya pilihan saja minimal diambil sepasang jantan dan betina yang terbaik. Di sana mudah-mudahan bisa diawasi secara intensif baik itu di pola kawinnya supaya bisa menghasilkan badak yang berkualitas," katanya.
Sejumlah metode masih dirancang untuk dapat menggiring badak jawa masuk ke areal JRSCA seperti pembuatan koridor yang ditanami pakan badak, memperbanyak rumpang, hingga membuat jalur badak.
"Bedanya dengan di Afrika itu mereka ada di padang savana, terbuka luas gampang untuk melihat badak. Tapi kita (badak jawa) di hutan hujan tropis, sehingga susah untuk bertemu. Ini menjadi tantangan kita," kata Harini sembari memperlihatkan peta areal JRSCA.
Baca juga: Patung Badak Jawa Dipersembahkan Ke Vatikan
Meski metode yang dirancang belum diujicobakan untuk menggiring badak jawa di semenanjung Ujung Kulon ke JRSCA, tapi perluasan areal menjadi penting agar badak jawa tak terisolasi. Daya jelajah badak jawa akan semakin luas, sehingga meminimalisir potensi perkawinan sedarah.
Sebelum JRSCA, terdapat opsi lain dalam upaya penyelamatan badak jawa dengan membangun habitat ke dua di luar Ujung Kulon. Pemerintah sempat melakukan survei di 10 lokasi, namun tak ada yang benar-benar sempurna dalam mendukung kehidupan badak.
Penentuan lokasi kedua harus mempertimbangkan aspek makanan, air, predator, penyakit, hingga ketersinggungan dengan masyarakat sekitar. Dibutuhkan pula areal seluas kurang lebih 5.000 hektar. Maka membangun habibat kedua di luar semenanjung Ujung Kulon adalah hal yang sangat sulit.
Percepatan translokasi sebagian populasi badak jawa memang jadi salah satu jalan untuk mempertahankannya dari ancaman kepunahan. Pemindahan badak jawa di semenanjung Ujung Kulon ke areal JRSCA layak untuk terus didorong dalam upaya konservasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
Taman Nasional Ujung Kulon mempunyai luas 105.694,46 ha yang terdiri atas 61.357,46 ha daratan dan 44.337 ha perairan laut dan terletak di Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Pada 1992, Komisi Warisan Dunia UNESCO kemudian menetapkan Ujung Kulon sebagai The Natural World Heritage Site.
TNUK merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Pulau Jawa. Saat ini TNUK merupakan habitat terakhir badak jawa, setelah pada April 2010 IUCN mengumumkan kepunahan badak jawa di Cat Loc Cat Thien National Park di Vietnam Selatan.
Badak jawa merupakan satwa langka yang masuk dalam Red List Data Book IUCN dengan kategori critically endangered atau satwa yang terancam punah. Badak jawa juga terdaftar dalam Apendiks I CITES sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan karena jumlahnya yang sangat sedikit dan terancam punah.
Pemerintah Indonesia menetapkan badak jawa sebagai satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar.
Berdasarkan hasil monitoring Balai TNUK, badak jawa yang menghuni ujung barat pulau Jawa itu saat ini tercatat berjumlah 76 ekor. Kondisi populasi badak jawa yang hanya terdapat pada satu lokasi dengan jumlah individu yang kecil tersebut, sangat rentan terhadap kepunahan.
Baca juga: Populasi badak jawa Ujung Kulon dan elang jawa di TMII bertambah
Beberapa faktor yang mengancam kelestarian badak jawa di TNUK, dapat berasal dari lingkungan internal dan eksternal. Faktor internal meliputi besarnya potensi perkawinan seketurunan (inbreeding), persaingan, dan degradasi kondisi habitat.
Sedangkan faktor eksternal yang dapat mengancam kelestarian badak jawa adalah penyebaran wabah penyakit khususnya dari hewan lain, perburuan, dan bencana alam (tsunami dan erupsi gunung berapi) karena posisi geografis semenanjung Ujung Kulon yang dikelilingi oleh lautan dan dekat dengan Gunung Krakatau.
Mempertimbangkan kondisi tersebut, untuk menyelamatkan populasi badak jawa dari ancaman kepunahan perlu dilakukan langkah strategis dan terencana. Berdasarkan hasil pertemuan Balai TNUK bersama AsRSG (Asian Rhino Specialis Group), dan sejumlah lembaga konservasi pada 2009, disepakati untuk membangun Javan Rhino Studi and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon.
Studi dan konservasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Indonesia Peraturan Menhut No 43/2007, sejatinya telah menetapkan wilayah seluas 5.100 hektare dalam kawasan TNUK sebagai wilayah JRSCA.
Areal yang secara geografis berada di luar semenanjung Ujung Kulon ini, dipisahkan Tanah Genting Laban-Karang Ranjang. Wilayah ini diperkirakan relatif aman dari ancaman erupsi Gunung Anak Krakatau dan juga terjangan tsunami. Sementara populasi badak jawa saat ini terkonsentrasi di semenanjung Ujung Kulon saja.
Berdasarkan lokasinya, areal JRSCA berada di bagian selatan Gunung Honje dengan batas-batas di sebelah utara berbatasan dengan zona khusus Kampung Legon Pakis yang berada dalam kawasan TNUK, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan kawasan Gunung Honje, sebelah barat berbatasan dengan hutan blok Laban - Karang Ranjang.
Baca juga: Sepasang badak jawa lahir di Taman Nasional Ujung Kulon
Terdapat delapan sungai besar di antaranya Cilintang, Cihujan, Cikarang, Kalejetan, Aermokla, Selokan Duyung, Ciprepet, dan Cipunaga, serta terdapat anak sungai Cilintang, Kalejetan, dan Aermokla. Sungai ini dapat menjadi tempat bagi badak untuk berendam/mandi.
Selain sungai, pada area JRSCA juga ditemukan sejumlah lokasi kubangan permanen yang digunakan pada saat musim kemarau. Keberadaan kubangan tersebut sangat penting bagi kehidupan badak jawa karena digunakan untuk mengatur suhu tubuh, pemenuhan mineral, dan melindungi kulit dari parasit/jamur.
Guru Besar IPB sekaligus Tim Penyempurnaan Manajemen dan Rencana Tapak JRSCA Prof Harini Muntasib menjelaskan pencanangan JRSCA sebenarnya dimulai pada 2011, manajemen plan ditetapkan pada 2015. Lalu pada 2018, TNUK bersama IRF dan Yayasan Badak Indonesia mulai menyusun visibility study dan side plan. Kemudian dievaluasi kembali pada 2019-2020, hasilnya ada sejumlah aspek yang mesti disesuaikan kembali.
Kegiatan prakondisi dilakukan meliputi sosialisasi, pemindahan perambah, pembinaan habitat, pembangunan pagar beraliran listrik kejut, serta pembangunan basecamp. Proyek itu sempat terhenti dan kini berlanjut pada 2022.
Lewat pembukaan koridor di semenanjung Ujung Kulon, badak jawa diharapkan bergerak masuk ke areal JRSCA. Individu-individu tersebut akan menjadi sub-populasi. Pada 2012 saat pengendalian langkap, terekam tiga badak jawa yang hidup di areal untuk JRSCA.
Pada 2018, satu badak jawa yang diidentifikasi bernama Samson ditemukan mati di pesisir pantai Resort Karang Ranjang. Selepas kematian Samson, dua badak jawa lainnya tidak ditemukan lagi baik secara jejak maupun kotoran.
Baca juga: Mahasiswa IPB beberkan hasil ekspedisinya ke Ujung Kulon
Berkaca pada kondisi itu semua, areal JRSCA yang terletak di tiga wilayah kerja resort yakni Lagon Pakis, Kalajetan, dan Karang Ranjang merupakan lokasi yang cocok sebagai habitat kedua badak jawa karena sebelumnya pernah menjadi kantung populasi meski kecil.
Ada dua hal yang akan menjadi prioritas dalam pengembangan JRSCA ini yakni pembangunan sarana-prasarana dan jalan patroli. Pada pembangunan sarana-prasarana yakni pagar kawat beraliran listrik kejut sebagai pembatas agar badak tidak keluar dari areal JRSCA.
Pagar kawat tersebut akan dibangun pada sisi timur areal JRSCA sepanjang 8,2 km, yang terdiri dari dua ruas yaitu pada bagian utara antara blok Cilintang sampai blok Cimahi sepanjang sekitar 5,4 km dan bagian selatan antara blok Bangkonol sampai blok Tanjung Sodong sepanjang sekitar 2,8 km.
Adapun untuk jalan patroli membangun jalur di sepanjang pagar yang ditujukan khusus sebagai jalan patroli, monitoring, studi dan penelitian serta untuk kepentingan lain yang mendukung JRSCA.
"Nanti di sana ada semacam research center. Nanti orang akan meneliti di situ. Penelitian tentang badak yang sebelumnya minim, nanti di sana bisa meneliti lebih jauh soal perilakunya hingga reproduksinya," kata Harini saat dijumpai disela-sela kegiatan mengajarnya.
Tak ada jalan lain
Harini mengatakan menggiring badak ke habitat baru memang bukanlah perkara yang mudah. Jangankan untuk menangkap, sekedar bertemu pun sangat sulit. Sementara JRSCA dibangun selain meningkatkan populasi juga menjaga keberagaman genetik.
Badak yang nantinya akan digiring untuk masuk ke JRSCA adalah individu yang tidak memiliki pertalian kekeluargaan. Dengan begitu, apabila terjadi perkawinan maka akan menjaga keberagaman genetik badak jawa.
"Pengawasannya bisa lebih dekat, jadi nanti enggak semua yang dimasukan ke paddock, hanya pilihan saja minimal diambil sepasang jantan dan betina yang terbaik. Di sana mudah-mudahan bisa diawasi secara intensif baik itu di pola kawinnya supaya bisa menghasilkan badak yang berkualitas," katanya.
Sejumlah metode masih dirancang untuk dapat menggiring badak jawa masuk ke areal JRSCA seperti pembuatan koridor yang ditanami pakan badak, memperbanyak rumpang, hingga membuat jalur badak.
"Bedanya dengan di Afrika itu mereka ada di padang savana, terbuka luas gampang untuk melihat badak. Tapi kita (badak jawa) di hutan hujan tropis, sehingga susah untuk bertemu. Ini menjadi tantangan kita," kata Harini sembari memperlihatkan peta areal JRSCA.
Baca juga: Patung Badak Jawa Dipersembahkan Ke Vatikan
Meski metode yang dirancang belum diujicobakan untuk menggiring badak jawa di semenanjung Ujung Kulon ke JRSCA, tapi perluasan areal menjadi penting agar badak jawa tak terisolasi. Daya jelajah badak jawa akan semakin luas, sehingga meminimalisir potensi perkawinan sedarah.
Sebelum JRSCA, terdapat opsi lain dalam upaya penyelamatan badak jawa dengan membangun habitat ke dua di luar Ujung Kulon. Pemerintah sempat melakukan survei di 10 lokasi, namun tak ada yang benar-benar sempurna dalam mendukung kehidupan badak.
Penentuan lokasi kedua harus mempertimbangkan aspek makanan, air, predator, penyakit, hingga ketersinggungan dengan masyarakat sekitar. Dibutuhkan pula areal seluas kurang lebih 5.000 hektar. Maka membangun habibat kedua di luar semenanjung Ujung Kulon adalah hal yang sangat sulit.
Percepatan translokasi sebagian populasi badak jawa memang jadi salah satu jalan untuk mempertahankannya dari ancaman kepunahan. Pemindahan badak jawa di semenanjung Ujung Kulon ke areal JRSCA layak untuk terus didorong dalam upaya konservasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022