Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) spesialis operasi tangkap tangan (OTT) Harun Al Rasyid menanggapi penangkapan Bupati nonaktif Bogor Ade Yasin oleh KPK yang disebut-sebut sebagai aksi "operasi tangkap tidur".
Harun saat dihubungi di Bogor, Jawa Barat, Kamis, menyebutkan bahwa operasi tangkap tangan sah-sah saja dilakukan pada dini hari, selama ada alat bukti kuat untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka.
"Mestinya keterangan saja tidak cukup. Meskipun 10 yang menerangkan, tapi itu kan satu alat bukti. Harusnya ada alat bukti lain, dan itu yang seharusnya ada di penyidik atau penyelidik yang menangani," ujar Harun yang kini merupakan salah satu anggota di Tim Satgasus Tipikor Polri.
Baca juga: Sidang perdana ungkap KPK tak lakukan OTT Ade Yasin
Harun merupakan angkatan pertama KPK. Ia dikenal sebagai "Raja OTT" karena seringkali menangkap tangan koruptor pada saat melakukan transaksi tercela. Julukan itu, ia dapatkan saat Firli Bahuri menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada tahun 2018.
Saat masih aktif di KPK, ia pun sempat melakukan operasi tangkap tangan di waktu tengah malam, yaitu terhadap Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah pada Februari 2021. Tapi, menurutnya, penangkapan tersebut dilengkapi dengan alat bukti yang kuat.
"Kalau itu dia (Nurdin Abdullah, Red) memang sudah sering, kemudian memerintahkan pada seseorang mengingatkan kewajiban orang itu kepada dia. Itu di rekaman ada," kata Harun.
Menurutnya, kriteria operasi tangkap tangan ada banyak. Beberapa di antaranya yaitu dilakukan saat yang bersangkutan transaksi dan sesaat setelah transaksi dengan dilengkapi alat bukti.
"Banyak itu biasanya (alat bukti). Makanya biasanya sekaligus dilakukan penggeledahan karena di situ ada alat bukti itu," katanya lagi.
Baca juga: Pengamat: PPP terancam kehilangan suara karena tidak dapat penuhi PT 4 persen pascakasus Ade Yasin
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri tetap kukuh bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap Ade Yasin sudah sesuai prosedur operasi tangkap tangan.
"Jadi jangan diartikan secara letterlijk (harfiah) bahwa tangkap tangan ketika dia terima uang ditangkap itulah tangkap tangan itu terlalu sempit makna seperti itu," ujarnya pula.
Menurutnya, kegiatan tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK terhadap Ade Yasin merupakan rangkaian kegiatan penangkapan, mulai dari beberapa pejabat Pemerintah Kabupaten Bogor, hingga beberapa pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat.
"Jadi ditangkap di tempat A di tempat B di tempat C, dalam satu rangkaian waktu yang tidak terpisahkan. Sama kejadian ini kan demikian, ada yang ditangkap di Bandung, ada yang ditangkap di Cibinong dalam satu rangkaian waktu yang sama," kata Ali Fikri.
Sebelumnya, kuasa hukum Ade Yasin, Roynal Pasaribu menyebutkan bahwa penangkapan kliennya oleh KPK bukan merupakan operasi tangkap tangan, melainkan "operasi tangkap tidur".
"Persidangan ini dilatarbelakangi peristiwa tangkap tidur ya. Pada hari ini pun setelah pembacaan dilakukan jaksa penuntut umum KPK tidak ada disebutkan masalah operasi tangkap tangan tersebut," ujar Roynal usai sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat, Rabu.
Baca juga: PPP persiapkan bantuan pendampingan hukum untuk Ade Yasin jika diperlukan
Menurutnya, saat penangkapan pada 27 April 2022 dini hari, Ade Yasin dijemput petugas KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas penangkapan beberapa pegawai Pemkab Bogor dan BPK, tanpa dilengkapi alat bukti yang merujuk atas perintah Ade Yasin.
"Sampai sekarang KPK tidak punya bukti rekaman atau apa pun bahwa anak buahnya menyuap atas perintah Bu Ade Yasin. Itu hanya berupa keterangan dari tersangka lain," ujarnya pula.
Roynal juga mengaku heran, karena KPK melakukan penjemputan Ade Yasin sebagai saksi pada dini hari sekitar pukul 03.00 WIB.
"Kalau memang mau meminta keterangan kenapa tidak dilakukan penjemputan di jam normal, atau memanggil Ade Yasin ke KPK kan bisa," kata Roynal.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Raja OTT tanggapi aksi "operasi tangkap tidur" Ade Yasin oleh KPK
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
Harun saat dihubungi di Bogor, Jawa Barat, Kamis, menyebutkan bahwa operasi tangkap tangan sah-sah saja dilakukan pada dini hari, selama ada alat bukti kuat untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka.
"Mestinya keterangan saja tidak cukup. Meskipun 10 yang menerangkan, tapi itu kan satu alat bukti. Harusnya ada alat bukti lain, dan itu yang seharusnya ada di penyidik atau penyelidik yang menangani," ujar Harun yang kini merupakan salah satu anggota di Tim Satgasus Tipikor Polri.
Baca juga: Sidang perdana ungkap KPK tak lakukan OTT Ade Yasin
Harun merupakan angkatan pertama KPK. Ia dikenal sebagai "Raja OTT" karena seringkali menangkap tangan koruptor pada saat melakukan transaksi tercela. Julukan itu, ia dapatkan saat Firli Bahuri menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK pada tahun 2018.
Saat masih aktif di KPK, ia pun sempat melakukan operasi tangkap tangan di waktu tengah malam, yaitu terhadap Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah pada Februari 2021. Tapi, menurutnya, penangkapan tersebut dilengkapi dengan alat bukti yang kuat.
"Kalau itu dia (Nurdin Abdullah, Red) memang sudah sering, kemudian memerintahkan pada seseorang mengingatkan kewajiban orang itu kepada dia. Itu di rekaman ada," kata Harun.
Menurutnya, kriteria operasi tangkap tangan ada banyak. Beberapa di antaranya yaitu dilakukan saat yang bersangkutan transaksi dan sesaat setelah transaksi dengan dilengkapi alat bukti.
"Banyak itu biasanya (alat bukti). Makanya biasanya sekaligus dilakukan penggeledahan karena di situ ada alat bukti itu," katanya lagi.
Baca juga: Pengamat: PPP terancam kehilangan suara karena tidak dapat penuhi PT 4 persen pascakasus Ade Yasin
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri tetap kukuh bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap Ade Yasin sudah sesuai prosedur operasi tangkap tangan.
"Jadi jangan diartikan secara letterlijk (harfiah) bahwa tangkap tangan ketika dia terima uang ditangkap itulah tangkap tangan itu terlalu sempit makna seperti itu," ujarnya pula.
Menurutnya, kegiatan tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK terhadap Ade Yasin merupakan rangkaian kegiatan penangkapan, mulai dari beberapa pejabat Pemerintah Kabupaten Bogor, hingga beberapa pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat.
"Jadi ditangkap di tempat A di tempat B di tempat C, dalam satu rangkaian waktu yang tidak terpisahkan. Sama kejadian ini kan demikian, ada yang ditangkap di Bandung, ada yang ditangkap di Cibinong dalam satu rangkaian waktu yang sama," kata Ali Fikri.
Sebelumnya, kuasa hukum Ade Yasin, Roynal Pasaribu menyebutkan bahwa penangkapan kliennya oleh KPK bukan merupakan operasi tangkap tangan, melainkan "operasi tangkap tidur".
"Persidangan ini dilatarbelakangi peristiwa tangkap tidur ya. Pada hari ini pun setelah pembacaan dilakukan jaksa penuntut umum KPK tidak ada disebutkan masalah operasi tangkap tangan tersebut," ujar Roynal usai sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat, Rabu.
Baca juga: PPP persiapkan bantuan pendampingan hukum untuk Ade Yasin jika diperlukan
Menurutnya, saat penangkapan pada 27 April 2022 dini hari, Ade Yasin dijemput petugas KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas penangkapan beberapa pegawai Pemkab Bogor dan BPK, tanpa dilengkapi alat bukti yang merujuk atas perintah Ade Yasin.
"Sampai sekarang KPK tidak punya bukti rekaman atau apa pun bahwa anak buahnya menyuap atas perintah Bu Ade Yasin. Itu hanya berupa keterangan dari tersangka lain," ujarnya pula.
Roynal juga mengaku heran, karena KPK melakukan penjemputan Ade Yasin sebagai saksi pada dini hari sekitar pukul 03.00 WIB.
"Kalau memang mau meminta keterangan kenapa tidak dilakukan penjemputan di jam normal, atau memanggil Ade Yasin ke KPK kan bisa," kata Roynal.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Raja OTT tanggapi aksi "operasi tangkap tidur" Ade Yasin oleh KPK
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022