Tak jauh dari Istana Kepresidenan Bogor, di sudut sebuah lorong kumuh di antara deretan kios pedagang kaki lima, terdapat sebuah bangunan mungil berdinding triplek dan kawat, yang dihuni oleh tiga jiwa.
Di sanalah Sarmin (67), si juru parkir Jalan Gedong Sawah, tinggal selama enam tahun terakhir bersama sang istri Yunah (53) dan seorang cucu.
Mereka menyebutnya, saung, tempat tinggal yang menempel pada tembok tak jauh dari tempat penampungan sampah dan pagar kantor Kejaksaan Negeri Bogor.
Bangunan ala kadar itu tingginya kurang dari ukuran tubuh manusia dewasa. Ruangan dibangun seadanya hanya untuk duduk dan tidur, bagian paling tinggi digunakan untuk tempat memasak dan sempit.
Sarmin dan Yunah, pasangan suami istri buta huruf itu, telah menikah 28 tahun silam, memiliki enam anak yang tidak lulus sekolah dasar. Seorang cucu ikut tinggal bersama mereka. Nasibnya juga tidak akan jauh berbeda dari anak-anaknya yang putus sekolah.
"Biaya dari mana, untuk makan aja susah," kata Yunah.
Penghasilan sang suami berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp35 ribu sehari. Meski demikian, sejak usia muda hingga kini, Sarmin adalah perokok aktif.
Sehari-hari uang hasil parkir Sarmin hanya cukup membelikan beras paling banyak dua liter (per liter Rp8.000). Jika bersisa ditabung bayar listrik dan air yang diambil dari gedung kejaksaan.
Baginya, mampu membeli beras dua liter setiap hari sudah lebih dari cukup, asal bisa makan. Terkadang ada sisa, untuk membeli ikan cuek, atau ikan asin dan sedikit sambal.
Makan daging adalah mimpi yang sulit diwujudkan meski setiap tahun ada Lebaran Idul Adha. Apalagi makan ayam tidak pernah ia rasakan dalam keseharian.
"Makan pakai telur aja sudah Alhamdulillah, lebih sering makan pakai sambal atau kecap," kata wanita yang mengenakan daster warna merah muda lusuh dengan celana selutut itu.
Selama berumah tangga, Yunah setia mendampingi Sarmin, yang bekerja sebagai tukang becak di Kota Bogor kala mudanya. Pria itu pulang sesekali ke Cigudeg, kampung halaman mereka.
Kini Sarmin beralih profesi sebagai juru parkir di lokasi biasa ia mangkal becak.
Kebiasaan merokok Sarmin sudah dikenali Yunah sejak awal kenalan dan akhirnya resmi menikah.
Sejak awal menikah, Yunah biasa membelikan sebungkus rokok untuk sang suami setiap pagi. Selama hijrah ke Kota Bogor, enam tahun tinggal di gubuk derita, ia masih melakoni kebiasaan itu. Sampai akhirnya, ia memutuskan berhenti membelikan rokok, setelah suaminya terserang penyakit parah.
"Saya tidak mau lagi membelikan rokok, sudah tidak tahan lagi lihat bapak sakit-sakit," kata Yunah.
Yunah tahu, walaupun ia tidak lagi membelikan rokok setiap pagi. Kebiasaan merokok suaminya tetap tidak berhenti, karena selama bekerja Sarmin selalu merokok per batang. Sehari bisa menghabiskan sebungkus, jika dikakulasikan sebulan biayanya mencapai Rp300 ribu.
Berbagai cara ia coba untuk hentikan kebiasaan merokok sang suami, bahkan acap kali pertengkaran terjadi, hingga ia tidak sanggup bila mendengar pria yang berusia lanjut itu, marah dengan nada tinggi.
"Kadang terpikir, enam anak tidak ada yang lulus SD, sedih. Karena tidak sekolah, saya dan bapak (Sarmin) tidak bisa baca tulis, bagaimana nasib anak-anak kami," katanya dengan nada berat.
Yunah menaruh harapan, pada anak bungsunya yang saat ini masih menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren di bilangan Parung, dapat lulus dan membawa pulang ijazah SD. Berharap masa depan anaknya dapat mengangkat kehidupan keluarganya.
"Kadang saya sudah capek hidup susah, sewaktu masih di kampung, saya masih bisa "ngarit" di sawah. Bisa bantu biaya sekolah, sekarang sudah tidak bekerja lagi, harapanya cuma dari bapak," kata nenek sembilan cucu itu.
Bebaskan kemiskinan
Sementara itu, Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) atau CHEPS Universitas Indonesia mengungkapkan selama sepuluh tahun terakhir konsumsi merokok meningkat dari 108 miliar batang ke 340 miliar batang.
Penerimaan cukai meningkat dari Rp32,65 triliun ke Rp139 triliun rupiah.
Namun, kesejahteraan petani dan buruh rokok tidak meningkat. Di sisi lain negara beresiko menghadapi belanja kesehatan dan kehilangan produktivitas masa depan mencapai Rp378,75 triliun paling sedikit 3,5 kali lipat dari penerimaan cukai rokok.
"Perlu diusulkan beberapa kebijakan yang harus fokus mencegah konsumsi rokok bagi yang belum merokok, memperkecil akses terhadap konsumsi rokok, dan mengurangi konsumsi rokok atau mengupayakan berhenti merokok pada mereka yang sudah merokok," kata Prof Hasbullah Thabrany, Kepala PKEKK.
Kenaikan cukai rokok diyakini dapat mengendalikan jumlah perokok, sebagaimana dicanangkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2015 bahwa cukai sebagai instrumen paling efektif untuk menurunkan jumlah perokok.
Menaikkan cukai rokok merupakan salah satu instrumen dalam Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari WHO.
Menurut, Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, tanpa adanya kebijakan pengendalian tembakau, beban merokok Indonesia sangat besar karena angka prevalensi meningkat dan jumlah penduduk yang makin besar.
"Prevalensi merokok di 14 negara yang meratifikasi FCTC menurun, di antaranya Thailand, dan Filipina. Prevalensi merokok Indonesia akan menurun bila mengikuti pertumbuhan prevalensi di kedua negara," kata Abdillah.
Hakekatnya, cukai rokok adalah pajak dosa (sin tax) yang dipungut negara dan dibebankan kepada rokok karena pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, sehingga konsumsinya perlu dikendalikan, demi keadilan dan keseimbangan.
Kehidupan petani tembakau juga tidak membaik dalam 10-20 tahun terakhir walaupun konsumsi rokok meningkat tajam. Buruh tani tembakau bekerja tujuh jam per hari, menerima upah terendah kedua setelah kopi. Rata-rata Rp15.900 atau Rp413.374 per bulan.
"Pendapatan rata-rata pekerja rokok tidak meningkat sejalan dengan konsumsi rokok di Indonesia. Upah buruh industri rokok paling rendah dibanding sektor lainnya," kata Prof Hasbullah Thabrany.
Undang-Undang Nomor 39/2007 tentang Cukai, menjelaskan cukai rokok menjadi alat pengendali konsumsi rokok yang bersifat adiksi dan merusak kesehatan.
"Kenaikan cukai rokok yang tinggi dan progresif adalah solusi yang menguntungkan semua pihak," kata Rahma Indira Wardana, peneliti dari PKEKK Universitas Indonesia.
Kenaikan cukai rokok di atas inflasi dan GDP merupakan kebijakan efektif yang paling efisien untuk melindungi rakyat dari bahaya asap rokok.
Pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran besar untuk menerapkan kebijakan tersebut dibanding dengan kebijakan larangan iklan rokok, kawasan tanpa rokok, peringatan bergambar atau terapi berhenti merokok.
Rokok bukan industri strategis, negara sesungguhnya merugi karena besaran cukai rokok yang diterima tidak sebanding dengan beban kerugian negara akibat konsumsi rokok.
Abdillah mengakui, kebijakan pengendalian tembakau akan berdampak pada masyarakat yang bekerja di sektor tersebut tetapi dalam jangka panjang.
Jumlah pekerja Industri rokok Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun 2000 hingga 2012 posisinya ada 17.600 pekerja (-19 persen). Penurunan terjadi bukan karena kenaikan cukai, tetapi, karena industri beralih ke sistem mekanisas.
"Berbeda dengan negara yang meratifikasi FCTC pertumbuhan jumlah pekerja idustri rokok meningkat seperti Malayasia 80 persen, India 18 persen, Brazil 13 persen dan Tiongkok 10 persen," katanya.
Petani tembakau miskin karena lemahnya posisi mereka dalam tata niaga tembakau. Petani tidak dapat menentukan harga, sistem ijon mengikat dan memaksa tembakau dijual sesuai kontrak meski harga pasaran tinggi.
"Tembakau adalah tanaman musiman yang hanya ditanam pada musim hujan, artinya tidak setiap saat petani bisa menanam," kata Rahma.
Kenaikan cukai rokok setinggi-tingginya dan pemanfaatan daun tembakau untuk memproduksi insulin merupakan solusi yang menguntungkan bagi negara yang ingin melindungi rakyatnya.
Tentu saja semua pihak mengharapkan ke depan para petani tembakau diuntungkan. Di sisi lain, tidak banyak lagi rakyat miskin yang "memaksakan diri" merokok meski memiliki penghasilan pas-pasan seperti keluarga Sarmin dan Yunah.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016
Di sanalah Sarmin (67), si juru parkir Jalan Gedong Sawah, tinggal selama enam tahun terakhir bersama sang istri Yunah (53) dan seorang cucu.
Mereka menyebutnya, saung, tempat tinggal yang menempel pada tembok tak jauh dari tempat penampungan sampah dan pagar kantor Kejaksaan Negeri Bogor.
Bangunan ala kadar itu tingginya kurang dari ukuran tubuh manusia dewasa. Ruangan dibangun seadanya hanya untuk duduk dan tidur, bagian paling tinggi digunakan untuk tempat memasak dan sempit.
Sarmin dan Yunah, pasangan suami istri buta huruf itu, telah menikah 28 tahun silam, memiliki enam anak yang tidak lulus sekolah dasar. Seorang cucu ikut tinggal bersama mereka. Nasibnya juga tidak akan jauh berbeda dari anak-anaknya yang putus sekolah.
"Biaya dari mana, untuk makan aja susah," kata Yunah.
Penghasilan sang suami berkisar antara Rp20 ribu hingga Rp35 ribu sehari. Meski demikian, sejak usia muda hingga kini, Sarmin adalah perokok aktif.
Sehari-hari uang hasil parkir Sarmin hanya cukup membelikan beras paling banyak dua liter (per liter Rp8.000). Jika bersisa ditabung bayar listrik dan air yang diambil dari gedung kejaksaan.
Baginya, mampu membeli beras dua liter setiap hari sudah lebih dari cukup, asal bisa makan. Terkadang ada sisa, untuk membeli ikan cuek, atau ikan asin dan sedikit sambal.
Makan daging adalah mimpi yang sulit diwujudkan meski setiap tahun ada Lebaran Idul Adha. Apalagi makan ayam tidak pernah ia rasakan dalam keseharian.
"Makan pakai telur aja sudah Alhamdulillah, lebih sering makan pakai sambal atau kecap," kata wanita yang mengenakan daster warna merah muda lusuh dengan celana selutut itu.
Selama berumah tangga, Yunah setia mendampingi Sarmin, yang bekerja sebagai tukang becak di Kota Bogor kala mudanya. Pria itu pulang sesekali ke Cigudeg, kampung halaman mereka.
Kini Sarmin beralih profesi sebagai juru parkir di lokasi biasa ia mangkal becak.
Kebiasaan merokok Sarmin sudah dikenali Yunah sejak awal kenalan dan akhirnya resmi menikah.
Sejak awal menikah, Yunah biasa membelikan sebungkus rokok untuk sang suami setiap pagi. Selama hijrah ke Kota Bogor, enam tahun tinggal di gubuk derita, ia masih melakoni kebiasaan itu. Sampai akhirnya, ia memutuskan berhenti membelikan rokok, setelah suaminya terserang penyakit parah.
"Saya tidak mau lagi membelikan rokok, sudah tidak tahan lagi lihat bapak sakit-sakit," kata Yunah.
Yunah tahu, walaupun ia tidak lagi membelikan rokok setiap pagi. Kebiasaan merokok suaminya tetap tidak berhenti, karena selama bekerja Sarmin selalu merokok per batang. Sehari bisa menghabiskan sebungkus, jika dikakulasikan sebulan biayanya mencapai Rp300 ribu.
Berbagai cara ia coba untuk hentikan kebiasaan merokok sang suami, bahkan acap kali pertengkaran terjadi, hingga ia tidak sanggup bila mendengar pria yang berusia lanjut itu, marah dengan nada tinggi.
"Kadang terpikir, enam anak tidak ada yang lulus SD, sedih. Karena tidak sekolah, saya dan bapak (Sarmin) tidak bisa baca tulis, bagaimana nasib anak-anak kami," katanya dengan nada berat.
Yunah menaruh harapan, pada anak bungsunya yang saat ini masih menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren di bilangan Parung, dapat lulus dan membawa pulang ijazah SD. Berharap masa depan anaknya dapat mengangkat kehidupan keluarganya.
"Kadang saya sudah capek hidup susah, sewaktu masih di kampung, saya masih bisa "ngarit" di sawah. Bisa bantu biaya sekolah, sekarang sudah tidak bekerja lagi, harapanya cuma dari bapak," kata nenek sembilan cucu itu.
Bebaskan kemiskinan
Sementara itu, Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) atau CHEPS Universitas Indonesia mengungkapkan selama sepuluh tahun terakhir konsumsi merokok meningkat dari 108 miliar batang ke 340 miliar batang.
Penerimaan cukai meningkat dari Rp32,65 triliun ke Rp139 triliun rupiah.
Namun, kesejahteraan petani dan buruh rokok tidak meningkat. Di sisi lain negara beresiko menghadapi belanja kesehatan dan kehilangan produktivitas masa depan mencapai Rp378,75 triliun paling sedikit 3,5 kali lipat dari penerimaan cukai rokok.
"Perlu diusulkan beberapa kebijakan yang harus fokus mencegah konsumsi rokok bagi yang belum merokok, memperkecil akses terhadap konsumsi rokok, dan mengurangi konsumsi rokok atau mengupayakan berhenti merokok pada mereka yang sudah merokok," kata Prof Hasbullah Thabrany, Kepala PKEKK.
Kenaikan cukai rokok diyakini dapat mengendalikan jumlah perokok, sebagaimana dicanangkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2015 bahwa cukai sebagai instrumen paling efektif untuk menurunkan jumlah perokok.
Menaikkan cukai rokok merupakan salah satu instrumen dalam Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari WHO.
Menurut, Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, tanpa adanya kebijakan pengendalian tembakau, beban merokok Indonesia sangat besar karena angka prevalensi meningkat dan jumlah penduduk yang makin besar.
"Prevalensi merokok di 14 negara yang meratifikasi FCTC menurun, di antaranya Thailand, dan Filipina. Prevalensi merokok Indonesia akan menurun bila mengikuti pertumbuhan prevalensi di kedua negara," kata Abdillah.
Hakekatnya, cukai rokok adalah pajak dosa (sin tax) yang dipungut negara dan dibebankan kepada rokok karena pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, sehingga konsumsinya perlu dikendalikan, demi keadilan dan keseimbangan.
Kehidupan petani tembakau juga tidak membaik dalam 10-20 tahun terakhir walaupun konsumsi rokok meningkat tajam. Buruh tani tembakau bekerja tujuh jam per hari, menerima upah terendah kedua setelah kopi. Rata-rata Rp15.900 atau Rp413.374 per bulan.
"Pendapatan rata-rata pekerja rokok tidak meningkat sejalan dengan konsumsi rokok di Indonesia. Upah buruh industri rokok paling rendah dibanding sektor lainnya," kata Prof Hasbullah Thabrany.
Undang-Undang Nomor 39/2007 tentang Cukai, menjelaskan cukai rokok menjadi alat pengendali konsumsi rokok yang bersifat adiksi dan merusak kesehatan.
"Kenaikan cukai rokok yang tinggi dan progresif adalah solusi yang menguntungkan semua pihak," kata Rahma Indira Wardana, peneliti dari PKEKK Universitas Indonesia.
Kenaikan cukai rokok di atas inflasi dan GDP merupakan kebijakan efektif yang paling efisien untuk melindungi rakyat dari bahaya asap rokok.
Pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran besar untuk menerapkan kebijakan tersebut dibanding dengan kebijakan larangan iklan rokok, kawasan tanpa rokok, peringatan bergambar atau terapi berhenti merokok.
Rokok bukan industri strategis, negara sesungguhnya merugi karena besaran cukai rokok yang diterima tidak sebanding dengan beban kerugian negara akibat konsumsi rokok.
Abdillah mengakui, kebijakan pengendalian tembakau akan berdampak pada masyarakat yang bekerja di sektor tersebut tetapi dalam jangka panjang.
Jumlah pekerja Industri rokok Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun 2000 hingga 2012 posisinya ada 17.600 pekerja (-19 persen). Penurunan terjadi bukan karena kenaikan cukai, tetapi, karena industri beralih ke sistem mekanisas.
"Berbeda dengan negara yang meratifikasi FCTC pertumbuhan jumlah pekerja idustri rokok meningkat seperti Malayasia 80 persen, India 18 persen, Brazil 13 persen dan Tiongkok 10 persen," katanya.
Petani tembakau miskin karena lemahnya posisi mereka dalam tata niaga tembakau. Petani tidak dapat menentukan harga, sistem ijon mengikat dan memaksa tembakau dijual sesuai kontrak meski harga pasaran tinggi.
"Tembakau adalah tanaman musiman yang hanya ditanam pada musim hujan, artinya tidak setiap saat petani bisa menanam," kata Rahma.
Kenaikan cukai rokok setinggi-tingginya dan pemanfaatan daun tembakau untuk memproduksi insulin merupakan solusi yang menguntungkan bagi negara yang ingin melindungi rakyatnya.
Tentu saja semua pihak mengharapkan ke depan para petani tembakau diuntungkan. Di sisi lain, tidak banyak lagi rakyat miskin yang "memaksakan diri" merokok meski memiliki penghasilan pas-pasan seperti keluarga Sarmin dan Yunah.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016