Sejak pemisahan wilayah dengan Kabupaten Bekasi pada 1998, Kota Bekasi menjelma menjadi kota metropolitan dengan berbagai pertumbuhan ekonomi serta pembangunan fisik yang berkembang pesat.

Situasi itu mendorong arus urbanisasi ke Kota Bekasi sebagai daerah tujuan masyarakat mencari nafkah. Tidak jarang situasi itu menjadi persoalan baru bagi pemerintah daerah dalam menangani timbulnya dampak negatif pertumbuhan penduduk yang saat ini sudah mencapai 2,5 juta jiwa lebih.

Salah satu persoalan penting yang kini mulai disoroti Pemkot Bekasi ialah perihal sulitnya mengembangkan sarana dan prasarana air limbah atau sanitasi sebagai salah satu pendukung wilayah permukiman sehat.

Berdasarkan data terakhir yang dihimpun dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi tercatat sebanyak 20 persen penduduk setempat saat ini belum terakses sarana sanitasi yang memadai dalam menunjang aspek kesehatan serta lingkungan hidup.

Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi adalah salah satu kawasan yang belum terakses fasilitas sanitasi. Sebanyak 175 warga yang terdiri atas 55 kepala keluarga (KK) di RW 26 Kelurahan Margahayu belum memiliki fasilitas sanitasi jamban di rumahnya.

Ketua Tim Kerja Masyarakat (TKM) Margahayu Madasa mengungkapkan pihaknya bekerja sama dengan warga setempat membangun fasilitas sanitasi di kelurahannya.

"Saat ini ada 2.141 jiwa dengan jumlah 480 rumah. Sekitar 55 KK atau 175 warga tidak memiliki fasilitas sanitasi jamban di rumahnya," katanya.

Untuk itu pihaknya berinisiatif membangun WC umum yang letaknya dekat dengan Saluran Tarum Barat Sungai Citarum agar bisa digunakan warga untuk mandi, cuci dan buang air.

Selain masalah jamban, warga sekitar juga dihadapkan dengan minimnya ketersediaan air bersih. Air tanah di kawasan itu berwarna kuning dan tidak layak untuk digunakan mencuci pakaian apalagi dikonsumsi.

"Jangankan untuk diminum, untuk cuci saja sudah bikin baju putih menjadi kuning," katanya.

Hasil berbagai pengamatan dan penelitian telah membuktikan bahwa semakin mudah akses penduduk terhadap fasilitas prasarana dan sarana air limbah permukiman yang disertai pemahaman tentang higienitas, maka semakin kecil kemungkinan terjadinya kasus penyebaran penyakit.

Berbasis masyarakat

Salah satu solusi dalam penyediaan prasarana dan sarana air limbah permukiman bagi masyarakat ekonomi rendah di lingkungan padat penduduk, kumuh, dan rawan sanitasi adalah kegiatan berbasis masyarakat. Kegiatan ini merupakan sebuah inisiatif untuk mempromosikan penyediaan prasarana dan sarana air limbah permukiman yang berbasis masyarakat dengan pendekatan tanggap kebutuhan.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengelolaan Air Limbah Domestik Kota Bekasi Andrea Sucipto mengatakan pihaknya saat ini tengah fokus pada kegiatan sanitasi berbasis masyarakat (Sanimas) untuk menangani air limbah rumah tangga khususnya tinja manusia.

Melalui pelaksanaan sanitasi berbasis masyarakat ini, masyarakat memilih sendiri prasarana dan sarana air limbah yang sesuai, membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), ikut aktif menyusun rencana aksi, dan melakukan pembangunan fisik serta bila perlu mengembangkannya.

Program Sanimas di Kota Bekasi mulai digulirkan pada 2011 lalu dengan memfokuskan perhatian pada 34 kawasan kumuh di 12 kecamatan Kota Bekasi yang diidentifikasi bersanitasi tidak layak, di antaranya Bantargebang, Margahayu, Medansatria, Bekasi Jaya, Kalibaru, Teluk Pucung, Pejuang.

"Wilayahnya tidak semua berdekatan dengan Daerah Aliran Sungai, melainkan permukiman padat penduduk yang lingkungannya kumuh dan mayoritas penduduknya miskin," katanya.

Andrea menyebutkan dasar penetapan sebuah wilayah dijadikan target pelaksanaan program Sanimas dilakukan melalui dua metode, yakni berdasarkan usulan masyarakat yang merasa lingkungannya butuh fasilitas sanitasi yang layak serta hasil pemetaan internal yang dilakukan Bappeda.

"Namun pelaksanaan di Kota Bekasi kesemuanya merupakan hasil intervensi Bappeda karena usulan yang datang dari masyarakat nihil. Ini memperlihatkan masyarakat memang masih belum menganggap penting perihal sanitasi. Bukti lainnya bisa terlihat dari setiap kali pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan, tidak pernah ada masyarakat yang mengusulkan pengadaan fasilitas sanitasi, fokus mereka lebih banyak berkutat pada infrastruktur jalan, saluran, atau bahkan kantor RW," katanya.

Program Sanimas tidak hanya berupa pendirian sarana Mandi Cuci Kakus yang layak, tapi juga mendesain kawasan permukiman tersebut menjadi lebih baik. Di sana dibangun juga septic tank komunal, digalakkan metode pengolahan sampah melalu metode 3R ("reuse, reduce, recycle"), rehabilitasi rumah tidak layak huni, perbaikan jalan, drainase, dan penerangan jalan umum, serta penataan ruang terbuka hijau.

Wilayah yang menjadi sasaran program Sanimas setidaknya terdiri dari 50-100 kepala keluarga. Mereka yang nantinya akan menyusun rencana kerja penataan lingkungannya, menikmati fasilitas yang telah terbangun, serta mengelolanya secara mandiri.

Andrea pun mencontohkan kegiatan yang dilaksanakan di RW 8 Kelurahan Medansatria Kecamatan Medansatria. Wilayah seluas 375.600 hektare itu dihuni 93 kepala keluarga dengan jumlah penduduk berkisar 372 jiwa. Sebanyak 55 persen di antaranya memiliki septic tank, sedangkan sisanya tidak memiliki septic tank.  

Kemudian semua rumah yang berlokasi di lingkungan tersebut tidak memiliki Sarana Pengolahan Air Limbah sama sekali. Fasilitas 'MCK Plus+' yang didirikan melalui program Sanimas dimanfaatkan oleh 72 kepala keluarga dengan struktur pengelolaannya dipegang oleh Kelompok Swadaya Masyarakat beranggotakan 32 orang.

Sepanjang program Sanimas bergulir hingga tahun 2014, telah terbangun fasilitas sanitasi di 13 lokasi yang berupa 11 MCK Plus+ dan dua unit Instalasi Pengolahan Air komunal.

Lebih lanjut Andrea mengatakan, program Sanimas itu kemudian akan dipanatu pihaknya untuk mengetahui ada tidaknya perubahan pola hidup masyarakat sekitar terhadap kebiasaan buang air pada tempatnya. Sebab berdasarkan pengamatan kasar, ada warga yang lingkungannya telah memperoleh fasilitas sanitasi dari program Sanimas, tapi kembali lagi ke kebiasaannya hidup jorok.

"Ini tidak terlepas dari faktor warganya yang mayoritas kaum urban. Yakni mereka yang datang ke Kota Bekasi hanya untuk sekadar tinggal tanpa mau memperhatikan lingkungan sekitar. Dalam kasus seperti ini, dibutuhkan peran kearifan lokal dari wilayah tersebut. Pada suatu lingkungan permukiman, perlu dikuatkan adat istiadat yang bisa mengatur masyarakat yang tinggal di sana,” katanya.

Lebih lanjut Andrea mengungkapkan, data perihal penduduk yang belum terakses sanitasi layak di wilayah itu pada dasarnya tidak seluruhnya merujuk pada kepemilikan fasilitas jamban. Akan tetapi ada kategori lain yang dapat mengelompokkan warga pada golongan yang tidak terakses sanitasi layak.

"Mereka yang buang air sembarangan serta tidak punya jamban tentu saja ikut tergolong pada kelompok tersebut. Selain itu, warga yang memiliki jamban tapi tidak terkoneksi pada septic tank atau septic tank yang ada tidak pernah dikuras pun turut tergolong pada kelompok itu," katanya.

Menurutnya, saat ini masih banyak warga yang tidak mementingkan pengurasan septic tank secara teratur. Padahal hal tersebut akan mempengaruhi kualitas air tanah yang mayoritas dimanfaatkan warga sebagai sumber air bersih yang utama.

Pengolahan tinja

Idealnya, minimal dalam dua tahun sekali, pengurasan septic tank rutin dilakukan. Namun pada kenyataannya, belum banyak warga yang berinisiatif melakukannya. Salah satu indikatornya adalah masih minimnya kendaraan pemilik usaha sedot WC yang membuang hasil kurasan septic tank dari permukiman warga ke Instalasi Pengolahan Limbah Tinja di area Tempat Pembuangan Akhir Sumurbatu.

Sesuai prosedur, tinja yang disedot truk-truk pengangkut dibuang ke bak anaerob. Di dalam bak tersebut, limbah tinja akan menjalani dua proses pengolahan. Limbah tinja cair akan masuk ke kolam fakultatif, kemudian masuk ke dalam kolam maturasi untuk diolah dengan sistem sinar matahari sebelum dibuang ke sungai setelah kandungannya sesuai standar baku mutu air. 

Sementara limbah tinja padat akan masuk ke bak “sluge drying bed” yang diolah selama 21 hari hingga menyisakan lumpur yang dapat digunakan kembali sebagai pupuk.

“Bilamana proses tersebut dilaksanakan, sungai-sungai yang menjadi pembuangan sisa proses pengolahan limbah tinja tidak akan mengalami pencemaran," katanya.

Namun sejak tahun 2009, proses tersebut tidak berjalan karena kerusakan sistem pengolahan. Akhirnya, limbah tinja yang dibuang ke IPLT Sumurbatu langsung dibuang ke kolam pengolahan limbah cair tanpa melalui proses untuk kemudian dibuang ke saluran pembuang yang bermuara di Kali Bekasi.

"Berdasarkan data pengelola, dalam sehari rata-rata mobil tinja yang datang untuk membuang limbah hanya sekitar empat unit. Jumlah ini tentu sangat jauh bila dibandingkan dengan jumlah rumah yang ditinggali 2,5 juta penduduk Kota Bekasi," katanya.

Sesuai prosedur, tinja yang disedot truk-truk pengangkut dibuang ke bak anaerob. Di dalam bak tersebut, limbah tinja akan menjalani dua proses pengolahan. Limbah tinja cair akan masuk ke kolam fakultatif, kemudian masuk ke dalam kolam maturasi untuk diolah dengan sistem sinar matahari sebelum dibuang ke sungai setelah kandungannya sesuai standar baku mutu air. 

Sementara limbah tinja padat akan masuk ke bak “sluge drying bed” yang diolah selama 21 hari hingga menyisakan lumpur yang dapat digunakan kembali sebagai pupuk.

"Bilamana proses tersebut dilaksanakan, sungai-sungai yang menjadi pembuangan sisa proses pengolahan limbah tinja tidak akan mengalami pencemaran. Namun sejak tahun 2009, proses tersebut tidak berjalan karena kerusakan sistem pengolahan. Akhirnya, limbah tinja yang dibuang ke IPLT Sumur Batu langsung dibuang ke kolam pengolahan limbah cair tanpa melalui proses untuk kemudian dibuang ke saluran pembuang yang bermuara di Kali Bekasi," katanya.

Gambaran tersebut mendorong pihaknya merancang sebuah aplikasi berbasis teknologi yang memungkinkan untuk "memaksa" semua penduduk Kota Bekasi untuk menguras septic tank-nya secara rutin.  
 
Sistem kerja aplikasi itu nantinya akan mendata lingkungan permukiman di Kota Bekasi untuk kemudian dikeluarkan jadwal pengurasan septic tank secara rutin dan terencana.

Pada jadwal yang sudah ditentukan, pemilik atau penghuni rumah wajib melakukan pengurasan yang dijadwalkan sekali dalam dua tahun.

"Tentunya harus dibarengi dengan penyusunan peraturan daerah atau peraturan wali kota agar aturan ini mengikat warga. Bilamana sistem ini telah berjalan, selain bisa menyelamatkan lingkungan dari degradasi akibat perilaku warga yang hidup jorok, pemerintah pun bisa memperoleh tambahan pendapatan yang masuk ke kas daerah," katanya.

Pewarta: Andi Firdaus

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016