Lantai satu kantor Perdana Menteri Malaysia ditata untuk jamuan makan siang, Senin (30/5).

Tamu dalam jamuan ini yaitu kami, lima belas petinggi redaksi media Indonesia dan tiga pendiri Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (ISWAMI).

Sekitar pukul 13.00, Perdana Menteri Dato’ Sri Ismail Sabri Yaakob masuk dan menyapa.

Di meja utama, Asro Kamal Rokan sebagai Presiden ISWAMI Indonesia, Ilham Bintang sebagai pendiri/penasihat ISWAMI, Atal S Depari sebagai Ketua Umum PWI Pusat, Arifin Asydhad sebagai Pemred Kumparan dan Ketua Forum Pemimpin Redaksi, Datuk Mokhtar Hussain selaku Presiden ISWAMI Malaysia, dan Roslan Arifin sebagai CEO Kantor Berita Bernama Malaysia berbincang bersama PM Ismail Sabri.

Suasana begitu akrab. Tidak ada sekat protokoler. Sesuai etika Melayu menyambut tamu, PM Ismail Sabri juga cepat akrab dengan siapa pun.

Ini mungkin latar belakang hidupnya, dari keluarga sederhana. Ayahnya, Yaakob bin Abdul Rahman bekerja sebagai penyadap (penderes) karet di Kampung Bukit Tingkat, Temerloh, Pahang.

Ismail, lahir pada 18 Januari 1960, meniti karier dari bawah, sebagai pengacara dan politisi United Malays National Organisation (UMNO).

Anak bungsu dari enam bersaudara ini dipercaya sebagai menteri kabinet sejak masa PM Abdullah Badawi.

Ia menjadi PM sejak Agustus 2021, dalam situasi politik bergolak, menggantikan seniornya Muhyiddin Yasin.

Selesai makan siang, dilanjutkan dengan sambutan Datuk Mokhtar dan Presiden ISWAMI Indonesia.

Kemudian, PM Ismail Sabri memberikan buku berjudul “Ismail Sabri Yaakob, Teraju Keselamatan”.

Dalam suasana yang cair, semua delegasi Indonesia meminta PM Ismail membubuhkan tanda tangannya di buku yang baru saja dicetak terbatas.

PM Ismail menandatangani buku untuk delegasi Indonesia, satu per satu.

Dalam sambutan, Presiden ISWAMI menyampaikan dukungan atas gagasan PM Ismail, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua ASEAN.

Isu ini sempat menghangat di Indonesia karena perbedaan pemahaman. Bahasa Melayu, yang dimaksud PM Ismail, adalah bahasa Melayu yang digunakan di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, Timor Leste, dan sebagian Kamboja serta Vietnam.

Jadi, bukan bahasa Melayu Malaysia, seperti reaksi Mendikbud Nadiem Makarim. Jumlah pengguna bahasa Melayu di kawasan ASEAN diperkirakan 300 juta hingga 400 juta penduduk.

Gagasan PM Ismail intinya adalah Indonesia tetap dengan bahasa Indonesia, begitu pula Malaysia dan negara lain. Akar bahasanya sama-sama Melayu.

Penyambutan PM Ismail semakin mengesankan. Usai makan siang, rombongan diajak ke ruang terbuka di pelataran kantor Perdana Menteri.

Di sini, sudah terpasang tenda dan durian yang diberi nama udang merah, horlor, duri hitam, dan Musang King, jenis durian khas Malaysia dan tentu saja PM Sabri menemani rombongan semua.

Tidak ada ajudan yang mendampingi atau mencolek tubuh rombongan agar sedikit menjauh, suasana begitu akrab dan bebas.

Bahkan, PM Ismail menunjukkan cara menghilangkan aroma durian setelah dimakan, dengan cara menuangkan air putih di ruas durian dan meminumnya. Para undangan pun mencobanya dan hasilnya benar, aroma durian serta merta hilang.

Ini kelima kali Presiden ISWAMI bertemu Perdana Menteri Malaysia di Perdana Putra. Sebelumnya dua kali dengan PM Abdullah Badawi, kemudian PM Najib Razak, PM Mahatir Muhammad, dan PM Ismail Sabri.

Kini dengan Ismail Sabri suasana terasa berbeda. Keakraban, suasana yang terbangun, menimbulkan rasa nyaman. Waktu pun bergerak cepat, sekitar dua jam. Tidak terasa rombongan harus berpisah dan membawa kenangan.

Hawana 2022

Pertemuan dengan PM Ismail Sabri merupakan rangkaian Hari Wartawan Nasional (Hawana) 2022 Malaysia, sehari sebelumnya di Melaka. PM Ismail hadir dan menyampaikan pemikirannya tentang kebebasan media.

“Saya akui bahwa profesi wartawan harus bebas dan berfungsi tanpa gangguan dan campur tangan pihak lain bagi menjamin kebebasan bersuara di negeri ini,” kata Ismail dalam sambutannya saat puncak Hawana 2022 di Melaka, Minggu (29/05).

Pernyataan Ismail Sabri ini jawaban atas Deklarasi Wartawan Malaysia, yang dibacakan para wartawan senior sebelum Ismail Sabri memberi sambutan.
 

Deklarasi tersebut antara lain soal penghormatan terhadap hak dan kebebasan wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Ini tuntutan sejak lama. Pada Hawana I/2018 di Kuala Lumpur soal ini mengemuka.

Wartawan senior, Tan Sri Johan Jaaffar, dalam orasinya, menyerukan kebebasan media itu. "Beri ruang sebanyaknya kepada wartawan supaya mereka bekerja bebas, tanpa ragu dan takut dalam menyuarakan kritikan,” tegasnya.

Seruan Pemimpin Redaksi Utusan Malaysia 1992-1998 itu, seperti jalan tanpa ujung.

PM Najib mungkin lebih fokus menghadapi Pilihan Raya 2018 daripada memikirkan kebebasan media.

Sebulan setelah Hawana I, koalisi Barisan Nasional (BN) kalah. Berakhirnya pemerintahan Najib, tidak berarti gerbang kebebasan media terbuka luas.

Tun Mahathir Mohammad dari koalisi oposisi dan penggantinya Tan Sri Muhyiddin Yassin pun disibukan konflik politik. Demokrasi dan kebebasan media seakan dua hal berbeda.

Kini, Ismail Sabri memberi jawaban. Ia juga mendorong pembentukan Persatuan Wartawan Malaysia, yang bertujuan memperjuangkan kebebasan media seluruh Malaysia. Langkah yang penting yang harus diapresiasi, sebelum kenyataan sesungguhnya tiba.

Hawana 2022 di Melaka ini dihadiri pengurus ISWAMI Indonesia dan para pemimpin media arus utama Jakarta. Ada Ilham Bintang, Prof Dr OK Saidin, Syamsuddin Ch Haesy, Faris Saleh Bashel (ISWAMI Indonesia), Atal S Depari (Ketua Umum PWI Pusat), Arifin Asydhad (Pemred Kumparan/Ketua Forum Pemred), Akhmad Munir (Direktur Pemberitaan LKBN Antara), Tri Agung Kristanto (Wakil Pemred Kompas/Anggota Dewan Pers), Alfito Deanova (Pemred detik.com), Taufiqurahman (Pemred Jakarta Post), Setri Yasa (Pemred Majalah Tempo), Teguh Santosa (Pemred RMOL/Ketua Umum JMSI), Pung Purwanto (Pemred Sindo), Nur Hasan Murtiaji (Wakil Pemred Republika), Budiyanto (MetroTV), dan Ecep Suwardaniasa (TVOne).

Sementara pada Hawana I tahun 2018 di Kuala Lumpur, Presiden ISWAMI memberi saran untuk memperjuangkan kebebasan media dan pembentukan Majelis Media Malaysia (MMM), semacam Dewan Pers di Indonesia, melalui undang-undang, sehingga pihak mana pun yang berkuasa, akan terikat undang-undang kebebasan media.

Di Indonesia, Undang-undang Pers 40/1999 di antaranya menegaskan bahwa pendirian perusahaan media tidak lagi melalui persetujuan pemerintah. Tidak ada lisensi dari pemerintah.

Pada masa Orde Baru, mendirikan media harus izin Menteri Penerangan. Ini menyebabkan, setiap saat, apabila pemerintah tidak berkenan atas berita media, izinnya dapat dicabut dan media tersebut bubar.

Datuk Zulkifla Salleh, Presiden ISWAMI Malaysia saat itu sangat bersemangat mewujudkan MMM, setelah mendengar pemaparan anggota Dewan Pers, Hendry Ch Bangun dan Agus Sudibyo, yang hadir saat Hawana I/2018.

Namun gejolak politik, menyusul kekalahan PM Najib Razak, dan pendemi COVID19, gagasan MMM belum terealisasi. Mungkin dalam proses.

Undang-undang memang tidak sepenuhnya menjamin kebebasan media. Kebebasan terkadang ditentukan tafsir pihak berkuasa. Selalu ada celah untuk mereka siasati. Tapi dengan undang-undang, ada legalitas, ada aturan yang jadi pegangan, dan harusnya sangat mengikat – siapa pun berkuasa.

PM Ismail Sabri melalui pidatonya, telah membuka ruang kebebasan, yang tidak terjadi masa pemerintahan demokrasi sebelumnya.

Ini kado indah Hawana 2022 di Melaka, kota bersejarah. Selamat Hari Wartawan Malaysia.

*Asro Kamal Rokan adalah Presiden Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia (ISWAMI) Indonesia
 

Pewarta: Asro Kamal Rokan*

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022