Kais, Papua (Antara Megapolitan) - Pakar Bioteknologi dan Agroteknologi Nadirman Haska mengatakan sagu mampu menjadi solusi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada pangan.
"Sagu tidak memerlukan lahan yang luas dan mampu tumbuh tanpa perawatan intensif, yang terpenting adalah memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, mudah dicerna," kata Nadirman kepada Antara di Kais, Papua, Kamis.
Ia menjelaskan bahwa untuk menjadikan sagu sebagai makanan pokok seluruh Indonesia memang tidak mudah, namun jika sudah dibiasakan maka kualitasnya sebenarnya lebih bagus daripada nasi, karena mudah dicerna.
Nadirman yang sudah bertahun-tahun meneliti sagu ini, berpendapat bahwa, setidaknya untuk wilayah Indonesia timur saja, jika semua mengonsumsi sagu maka swasembada pangan bisa tercapai.
"Tidak perlu mengirim beras miskin ke timur, khususnya Papua, karena biaya mahal dan kualitas beras kurang bagus, lebih baik dana tersebut untuk mengembangkan sagu menjadi kualitas baik," katanya.
Menurut data sebanyak 1,4 juta hektare ada di Indonesia dari sebaran 2,2 juta sagu yang ada di dunia, dan khususnya 1,2 juta pohon sagu tumbuh di Papua.
"95 persen sagu di Papua tumbuh secara alami dan belum dimanfaatkan, sedangkan lima persennya yang sudah dimanfaatkan," katanya.
Provinsi Papua sendiri, kata Konsultan Bioteknologi dan Agroteknologi Nadirman Haska, memiliki potensi sebanyak delapan juta ton sagu alami (tumbuh tanpa dirawat petani) yang belum dimanfaatkan untuk diolah sebagai makanan pokok ataupun tepung.
Nadirman menjelaskan sagu alami tersebut berkualitas baik dan bisa diolah menjadi berbagai produk pangan dengan kandungan karbohidrat tinggi.
Nadirman bekerja sama dengan Perum Perhutani untuk membangun salah satu pabrik pengolah sagu secara moderen di Papua, karena melihat potensi sagu yang melimpah.
Dengan adanya pabrik pengolah sagu di Kais, ia menjelaskan dapat memproduksi sebanyak 100 ton tepung sagu per hari.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Sagu tidak memerlukan lahan yang luas dan mampu tumbuh tanpa perawatan intensif, yang terpenting adalah memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, mudah dicerna," kata Nadirman kepada Antara di Kais, Papua, Kamis.
Ia menjelaskan bahwa untuk menjadikan sagu sebagai makanan pokok seluruh Indonesia memang tidak mudah, namun jika sudah dibiasakan maka kualitasnya sebenarnya lebih bagus daripada nasi, karena mudah dicerna.
Nadirman yang sudah bertahun-tahun meneliti sagu ini, berpendapat bahwa, setidaknya untuk wilayah Indonesia timur saja, jika semua mengonsumsi sagu maka swasembada pangan bisa tercapai.
"Tidak perlu mengirim beras miskin ke timur, khususnya Papua, karena biaya mahal dan kualitas beras kurang bagus, lebih baik dana tersebut untuk mengembangkan sagu menjadi kualitas baik," katanya.
Menurut data sebanyak 1,4 juta hektare ada di Indonesia dari sebaran 2,2 juta sagu yang ada di dunia, dan khususnya 1,2 juta pohon sagu tumbuh di Papua.
"95 persen sagu di Papua tumbuh secara alami dan belum dimanfaatkan, sedangkan lima persennya yang sudah dimanfaatkan," katanya.
Provinsi Papua sendiri, kata Konsultan Bioteknologi dan Agroteknologi Nadirman Haska, memiliki potensi sebanyak delapan juta ton sagu alami (tumbuh tanpa dirawat petani) yang belum dimanfaatkan untuk diolah sebagai makanan pokok ataupun tepung.
Nadirman menjelaskan sagu alami tersebut berkualitas baik dan bisa diolah menjadi berbagai produk pangan dengan kandungan karbohidrat tinggi.
Nadirman bekerja sama dengan Perum Perhutani untuk membangun salah satu pabrik pengolah sagu secara moderen di Papua, karena melihat potensi sagu yang melimpah.
Dengan adanya pabrik pengolah sagu di Kais, ia menjelaskan dapat memproduksi sebanyak 100 ton tepung sagu per hari.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015