Jakarta (Antara Megapolitan) -Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan saat ini masuk ke dalam rancangan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 pada nomor urut 42, di bawah RUU Larangan Minuman Beralkohol yang bernomor urut 41.

Para pendukung pengendalian tembakau menilai ada perbedaan perlakuan yang aneh antara tembakau dengan minuman beralkohol sebagai barang yang sama-sama terkena cukai.

Sebagai barang terkena cukai, seharusnya minuman beralkohol dan tembakau dikenakan perlakuan yang sama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Undang-Undang tersebut mengamanatkan cukai dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan.

Namun, DPR telah bersikap berbeda dalam membuat RUU terkait dua barang terkena cukai tersebut. DPR mengusulkan aturan tentang larangan minuman beralkohol, tetapi di sisi lain justru mendukung penguatan industri dan peningkatan konsumsi tembakau dalam RUU Pertembakauan.

Karena itu, para pegiat pendukung pengendalian tembakau mendesak agar Presiden Jokowi memerintahkan menteri-menterinya untuk tidak membahas RUU Pertembakauan bersama DPR.

"Meskipun Badan Legislasi DPR terlihat memaksakan membahas RUU Pertembakauan, tetapi masih ada harapan di Presiden," kata Koordinator Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani.

Julius mengatakan bila Presiden tidak mengeluarkan surat, maka RUU Pertembakauan tidak akan bisa dibahas DPR bersama pemerintah. Dengan begitu, RUU Pertembakauan tidak akan bisa disahkan menjadi undang-undang.

Menurut Julius, pembahasan RUU Pertembakauan oleh Baleg DPR saat ini telah melanggar prosedur yang berlaku di DPR sendiri.

Prosedur pertama pertama yang dilanggar adalah bahwa penyusunan dan penetapan Prolegnas dilakukan dengan memperhatikan prolegnas tahun sebelumnya dan tersusunnya naskah RUU serta naskah akademik.

"Namun, pengusulan RUU Pertembakauan ke dalam Prolegnas tidak mengindahkan RUU serupa yang sudah diendapkan pada Prolegnas sebelumnya. Padahal, sesuai tata tertib DPR sendiri, esensi RUU yang sudah diendapkan tidak boleh diusulkan kembali," tuturnya.

Julius mengatakan rancangan peraturan tentang tembakau sudah muncul di DPR sejak 2006, tetapi lebih mengedepankan isu pengendalian dan kesehatan masyarakat.

"RUU yang berkaitan dengan pertembakauan sudah mengalami banyak dinamika di DPR, hingga akhirnya RUU yang lebih mengedepankan pengendalian tembakau diendapkan pada akhir 2011," katanya.

Pengendapan RUU tersebut, kata Julius, terjadi secara mendadak setelah kunjungan anggota DPR ke tiga wilayah perkebunan tembakau yang sebagian besar dikuasai dan menjadi pemasok tembakau untuk industri besar.

"Informasi yang kami dapatkan, mereka di sana mendapat fasilitas dari pihak yang mengundang," ujarnya.

Tiba-tiba, pada rapat paripurna 13 Desember 2012, ada usul RUU Pertembakauan dengan nomor urut 59 tanpa naskah akademik yang jelas dan terpublikasi. RUU tersebut lebih mengedepankan kepentingan industri daripada pengendalian dan kesehatan masyarakat.

Pengusulan RUU Pertembakauan pada 13 Desember 2012 itu melanggar prosedur karena tidak ada dalam Prolegnas sebelumnya. Padahal, tata tertib DPR menyebutkan dalam keadaan tertentu hanya DPR dan Presiden yang dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.

"Keadaan tertentu apa saat itu yang membuat RUU Pertembakauan harus diusulkan. Pihak pengusul sama sekali tidak bisa menjelaskan keadaan tertentu itu," katanya.

Julius mengatakan DPR akhirnya memberi tanda bintang untuk RUU Pertembakauan yang diusulkan pada Desember 2012 tersebut. Padahal, sebelumnya tidak ada klausul "pembintangan" dalam tata tertib DPR.

"RUU Pertembakauan inilah RUU yang pertama kali mendapat tanda bintang. Sebelumnya tidak pernah ada RUU yang dibintangi. Mungkin nanti juga akan RUU yang diberi tanda-tanda lainnya di luar tata tertib," tuturnya.

Julius mengatakan "pembintangan" itu dilakukan dengan alasan masalah judul yang harus diganti dan substansi naskah yang belum jelas, hanya mendaurulang RUU Pengendalian Tembakau yang sebelumnya diendapkan.

Dari segi substansi, Julius mengatakan RUU Pertembakauan berpotensi melanggar hak asasi manusia, paling tidak hak atas kesehatan; hak atas pekerjaan, upah dan standar kehidupan yang layak; dan hak anak.
    
           Yakin Presiden pribadi menolak

Penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dr Kartono Mohamad meyakini secara pribadi Presiden Joko Widodo akan menolak pembahasan RUU Pertembakauan yang berpotensi mengorbankan kesehatan masyarakat.

"Saya pernah bertemu Jokowi saat belum menjadi Presiden. Saat itu kami berdiskusi tentang kota ramah anak. Saya simpulkan, dia juga berpendapat bahwa rokok akan melanggar hak anak," katanya.

Namun, Kartono mengatakan, kondisi itu belum pasti akan membuat Presiden Jokowi menolak pembahasan RUU Pertembakauan di DPR karena situasi saat ini sudah berbeda.

"Mungkin pribadi Jokowi akan menolak, tetapi keputusannya akan sangat dipengaruhi oleh 'bisikan-bisikan' orang-orang di sekitarnya. Masalahnya, kabinet saat ini banyak diisi menteri-menteri yang mendukung industri rokok," tuturnya.

Sementara itu, pegiat pembangunan berkelanjutan Jalal yang selama ini juga aktif menyuarakan pengendalian tembakau mengatakan pemerintah memang sudah seharusnya menolak membahas dan mengesahkan RUU Pertembakauan menjadi undang-undang.

Pasalnya, RUU Pertembakauan sangat sarat dengan kepentingan industri rokok dan berpotensi "mengangkangi" negara dan pemerintah.

Menurut Jalal, dalam RUU Pertembakauan, isu kesehatan ditempatkan sebagai tujuan yang paling akhir. RUU tersebut juga mengamanatkan agar negara  memfasilitasi layanan kesehatan bagi penderita ketergantungan produk tembakau.

"Industri yang meracuni, tetapi negara yang harus menanggung, Karena itu, Presiden Jokowi harus menolak pengajuan dan pembahasan RUU Pertembakauan," katanya.
    
          Ditolak Menkes sebelumnya
RUU Pertembakauan sudah pernah mengalami penolakan dari pemerintahan sebelumnya, setidaknya terlihat dari surat Menteri Kesehatan (saat itu) Nafsiah Mboi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam surat tertanggal 11 Agustus 2014 tersebut, Menteri Kesehatan menyatakan telah dilakukan rapat koordinasi dengan kementerianlembaga terkait, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Kesehatan.

Dalam rapat koordinasi tersebut, disepakati bahwa Kementerian Kesehatan menjadi "leading sector" dalam persiapan pembahasan RUU Pertembakauan

Dalam rapat koordinasi lanjutan, kementerian-lembaga terkait telah sepakat dan mempertimbangkan bahwa secara filosofis substansi pokok RUU Pertembakauan tidak mencerminkan semangat mewujudkan negara kesejahteraan untuk mencerdaskan, menyehatkan dan meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia.

Hal itu karena RUU Pertembakauan hanya menitikberatkan pengaturan pada pemanfaatan produk tembakau secara jangka pendek dan lebih kepada petani tanpa mempertimbangkan dampak buruk konsumsi produk tembakau terhadap segala lapisan masyarakat, khususnya generasi muda.

Melalui surat tersebut, Menteri Kesehatan juga menyatakan secara yuridis tidak ada urgensi yang mendesak untuk mengesahkan undang-undang pertembakauan karena hampir semua pasal dalam RUU Pertembakauan terkait produksi, distribusi, industri, harga dan cukai serta pengendalian konsumsi sudah diatur dalam undang-undang lain.

Undang-Undang lain tersebut adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Apabila RUU Pertembakauan diundangkan, maka akan tumpang tindih dan menimbulkan ketidakpastian hukum di bidang perindustrian, keuangan, perdagangan, pertanian dan kesehatan serta berpotensi bertentangan dengan Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945.

Sedangkan secara sosiologis, RUU Pertembakauan juga akan memberikan keistimewaan pengaturan pada produk tembakau dan petani tembakau yang hanya merupakan bagian kecil dari produk pertanian.

Padahal, masih banyak produk-produk lain yang memengaruhi kebutuhan hidup pokok masyarakat yang harus lebih mendapat perhatian negara.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut, Menteri Kesehatan merekomendasikan kepada Presiden untuk tidak melanjutkan pengajuan dan pembahasan RUU Pertembakauan dengan DPR. (Ant).
    

Pewarta: Dewanto Samodro

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015