Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan bahwa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat jaminan hari tua (JHT) dibuat berdasarkan rekomendasi dari pemangku kepentingan terkait.
Siaran pers dari kementerian yang diterima di Jakarta, Kamis, menyebutkan bahwa para pemangku kepentingan terkait antara lain menyampaikan rekomendasi mengenai ketentuan tersebut dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI pada 28 September 2021.
Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, Direksi BPJS Ketenagakerjaan, Pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan Pengurus Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
Baca juga: Pembayaran klaim BPJAMSOSTEK Bekasi Cikarang mencapai Rp352 miliar
Menaker mengatakan bahwa dalam rapat tersebut para pemangku kepentingan terkait mendorong pemerintah menetapkan kebijakan yang mengembalikan Program Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai dengan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dalam rapat dengar pendapat Kementerian Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR RI pada 28 September 2021, pemangku kepentingan terkait merekomendasikan kementerian meningkatkan manfaat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja informal serta menyelaraskan regulasi jaminan sosial, terutama regulasi mengenai klaim manfaat JHT dan Program Jaminan Pensiun.
Menaker menjelaskan pula bahwa peraturan tentang pembayaran manfaat JHT merupakan hasil pokok-pokok pikiran Badan Pekerja Lembaga Tripartit Nasional pada 18 November 2021 dalam forum pembahasan perubahan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Baca juga: Klaim JHT di BPJamsostek Bogor capai Rp1,1 Triliun
Forum itu merekomendasikan pengembalian filosofi penyelenggaraan Program JHT sebagai program jangka panjang untuk memberikan kepastian tersedianya sejumlah dana bagi tenaga kerja pada saat yang bersangkutan tidak produktif lagi, yaitu ketika memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Ida menjelaskan, meski JHT ditujukan untuk perlindungan pekerja pada hari tua, saat memasuki masa pensiun, atau meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap namun menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 jo PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program jaminan hari tua dalam jangka waktu tertentu peserta program yang membutuhkan dapat mengajukan klaim sebagian manfaat JHT.
Baca juga: BPJAMSOSTEK Bogor Kota lakukan pendampingan JKK pada empat peserta
"Berdasarkan PP 46/2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mempunyai masa kepesertaan paling sedikit 10 tahun dalam program JHT," kata Ida.
Dalam hal ini peserta program dapat mengambil maksimal 30 persen dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah atau maksimal 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
Siaran pers dari kementerian yang diterima di Jakarta, Kamis, menyebutkan bahwa para pemangku kepentingan terkait antara lain menyampaikan rekomendasi mengenai ketentuan tersebut dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI pada 28 September 2021.
Rapat tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, Direksi BPJS Ketenagakerjaan, Pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan Pengurus Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
Baca juga: Pembayaran klaim BPJAMSOSTEK Bekasi Cikarang mencapai Rp352 miliar
Menaker mengatakan bahwa dalam rapat tersebut para pemangku kepentingan terkait mendorong pemerintah menetapkan kebijakan yang mengembalikan Program Jaminan Hari Tua (JHT) sesuai dengan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dalam rapat dengar pendapat Kementerian Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR RI pada 28 September 2021, pemangku kepentingan terkait merekomendasikan kementerian meningkatkan manfaat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja informal serta menyelaraskan regulasi jaminan sosial, terutama regulasi mengenai klaim manfaat JHT dan Program Jaminan Pensiun.
Menaker menjelaskan pula bahwa peraturan tentang pembayaran manfaat JHT merupakan hasil pokok-pokok pikiran Badan Pekerja Lembaga Tripartit Nasional pada 18 November 2021 dalam forum pembahasan perubahan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Baca juga: Klaim JHT di BPJamsostek Bogor capai Rp1,1 Triliun
Forum itu merekomendasikan pengembalian filosofi penyelenggaraan Program JHT sebagai program jangka panjang untuk memberikan kepastian tersedianya sejumlah dana bagi tenaga kerja pada saat yang bersangkutan tidak produktif lagi, yaitu ketika memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Ida menjelaskan, meski JHT ditujukan untuk perlindungan pekerja pada hari tua, saat memasuki masa pensiun, atau meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap namun menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 jo PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program jaminan hari tua dalam jangka waktu tertentu peserta program yang membutuhkan dapat mengajukan klaim sebagian manfaat JHT.
Baca juga: BPJAMSOSTEK Bogor Kota lakukan pendampingan JKK pada empat peserta
"Berdasarkan PP 46/2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mempunyai masa kepesertaan paling sedikit 10 tahun dalam program JHT," kata Ida.
Dalam hal ini peserta program dapat mengambil maksimal 30 persen dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah atau maksimal 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022