Rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membentuk Badan Otoritas Pariwisata di 10 destinasi di Indonesia di satu sisi dapat dikatakan sebagai indikator semakin kuatnya "good will" pemerintah untuk secara serius meninggalkan konsep "Bali First Policy" yang sudah berjalan puluhan tahun di Indonesia.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli (24/11) mengumumkan bahwa pemerintah akan mengukuhkan Badan Otoritas Pariwisata yang bertanggung jawab dalam pengembangan sektor ekonomi
dan sosial di 10 destinasi wisata utama sebelum akhir 2015.

Selain itu, kehadiran Badan Otoritas Pariwisata itu juga dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari taktik Kabinet Kerja dalam berusaha mencapai target 20 juta wisatawan mancanegara selama empat tahun ke depan.

Dalam perspektif itu, tentunya rencana pemerintah tersebut patut untuk didukung dan dikawal bersama.

Namun di sisi lain, rencana pemerintah tersebut juga dapat dipandang sebagai suatu proses delegitimasi yang semakin serius terhadap eksitensi Kementerian Pariwisata.

Perubahan nomenklatur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi Kementerian Pariwisata saja di Kabinet Kerja sudah merupakan proses delegitimasi yang sangat serius terhadap kementerian tersebut, apalagi ditambah dengan pembentukan Badan Otoritas
Pariwisata yang sedang digaungkan beberapa hari belakangan ini.

Proses delegitimasi melalui proses perubahan nomenklatur kementerian tersebut sesungguhnya barangkali dapat kita pahami sebagai salah satu wujud "ketidakpuasan" Presiden Jokowi atas kinerja
kementerian tersebut selama beberapa kabinet yang lalu.

Namun demikian, kita harus jujur pula untuk mengatakan bahwa tampaknya Kabinet Kerja pun tidak mempunyai konsep yang andal dan terukur dalam memajukan dunia kepariwisataan di negeri kita ini.

Setelah setahun bekerja, kita sama-sama tahu bahwa belum ada kinerja yang signifikan yang telah dihasilkan oleh Kementerian Pariwisata dalam waktu setahun Kabinet Kerja.

Alih-alih mampu untuk mengurangi minusnya neraca pariwisata dalam beberapa tahun lalu, berbagai data yang ada malah menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah wisatawan mancanegara ke beberapa destinasi utama dalam tahun 2015 ini.

                       Dukung dan kawal

Terlepas dari pro dan kontra tentang kinerja yang telah ditunjukkan oleh Kementerian Pariwisata selama ini, maka rencana Presiden Jokowi untuk membentuk Badan Otoritas Pariwisata perlu kita dukung dan kawal secara kritis.

Berbagai rencana pembangunan yang sedang dipersiapkan pada 10 destinasi unggulan yang akan menjadi tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) utama dari Badan Otoritas tersebut perlu kita teropong secara jeli agar tidak menyebabkan berbagai kerugian nantinya bagi bangsa dan negara kita.

Beberapa hal penting yang perlu kita cermati tentang rencana sepak terjang Badan Otoritas Pariwisata nantinya di antaranya adalah (1) Eksistensi Masyarakat Lokal, (2) "Capital Flight", dan (3)
Inklusifitas.

Selain tiga hal itu, maka kita juga perlu mempertanyakan status dan posisi Badan Otoritas tersebut dalam tatanan Lembaga Negara.

Dalam konteks eksistensi masyarakat lokal, maka Badan Otoritas Pariwisata harus kita pastikan mampu melindungi masyarakat lokal kita dari berbagai bentuk "pemaksaan" dan "tipu daya" para calon investor, baik dalam konteks okupasi lahan melalui proses jual-beli maupun melalui proses kontrak penggunaan lahan.

Badan Otoritas Pariwisata malah juga harus kita bebani untuk melahirkan suatu model penyertaan dana masyarakat lokal untuk berbagai kebutuhan dana investasi yang diperlukan pada setiap destinasi.

Masyarakat lokal bukan hanya perlu kita jaga dari proses okupasi lahan oleh para investor (baik dalam bentuk jual-beli maupun sewa lahan) melainkan harus kita pastikan mempunyai kesempatan dan kemampuan sebagai pemilik saham dari berbagai investasi yang
diperlukan.

Perlu pula kita pastikan bahwa penyertaan modal masyarakat lokal tersebut juga tidak boleh hanya bersifat superfisial dan menjadi objek akuisisi oleh pemegang saham mayoritas nantinya.

Sejalan dengan kebutuhan eksistensi masyarakat lokal, maka berbagai kegiatan pembangunan di 10 destinasi utama tersebut juga tidak boleh menjadi sumber maraknya dinamika "capital flight" dalam
berbagai bentuk.

Pengusaha pariwisata nasional harus pula diberi ruang untuk memiliki saham secara signifikan dalam berbagai kegiatan pembangunan yang akan dilakukan.

Selain itu, penggunaan kandungan lokal/nasional juga harus diutamakan, baik dalam tahap pembangunan maupun dalam fase operasional nantinya.

                  Lindungi masyarakat
Badan Otoritas Pariwisata juga harus mampu menjaga dan melindungi eksistensi masyarakat lokal dari berbagai dinamika komodifikasi seni dan budaya, serta dari berbagai "demonstration effect" yang sering terjadi dalam pembangunan dan pengembangan suatu destinasi.

Selain itu, kehidupan masyarakat lokal juga harus dilindungi dari "efek kemahalan" yang suka tidak suka pasti akan terjadi pada suatu destinasi yang berkembang, baik dalam bentuk "efek kemahalan"
dalam "life style" maupun dalam sandang, pangan dan papan.

Dalam hal inklusifitas, maka Badan Otoritas Pariwisata harus bisa memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati jasa wisata yang ditawarkan pada setiap destinasi.

Perlu diingat bahwa pembangunan pariwisata adalah mempunyai tanggung jawab sosial dalam hal pemenuhan kebutuhan rekreasi bagi seluruh lapisan rakyat.

Jika pun ada bagian ruang tapak yang diperuntukkan bagi suatu kegaiatan dan jasa yang bersifat eksklusif, maka Badan Otoritas Pariwisata juga harus memastikan bahwa ruang eksklusif tersebut tidaklah mendominasi destinasi yang dibangun.

Selain itu, berbagai jasa eksklusif yang ditawarkan harus pula dijamin oleh Badan Otoritas Pariwisata untuk tidak bersifat melanggar etika dan norma-norma kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adapun judi dan prostitusi hendaknya harus  disepakati dari awal sebagai jasa wisata yang harus diharamkan untuk dibangun dan disediakan di berbagaidestinasi yang akan dibangun tersebut.

Lebih lanjut, posisi Badan Ototitas tersebut di dalam tatanan Lembaga Negara juga perlu kita cermati.

Jika lembaga tersebut bersifat "ad-hoc", maka perlu kita pertanyakan masa kerjanya, cara kerjanya dan ukuran-ukuran serta kriteria kinerjanya.

Sedangkan jika lembaga tersebut ditujukan untuk dibuat secara permanen, maka tentunya perlu kita tilik terlebih dahulu peraturan perundangan yang akan menjadi plaftform keberadaannya.

Jika Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Jokowi memang serius ingin membenahi pembangunan pariwisata nasional, maka perlu juga kita usulkan agar beliau segera melakukan perubahan atas UU No.
10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Nasional, dan PP No. 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (Ripparnas).

Kedua produk perundang-undangan tersebut adalah terlampau sarat dengan "pemikiran abal-abal" yang tidak saja sulit dimengerti visi pembangunannya, melainkan juga sangat tidak masuk akal untuk
diimplementasikan.

Di dalam PP Nomor 50 tentang Ripparnas, negara telah dibebani (hingga tahun 2025 nanti) untuk menyelesaikan ratusan dokumen perencanaan pembangunan pariwisata, yakni 50 DPN (Destinasi Pariwisata Nasional), 88 KSPN (Penetapan Kawasan Pariwisata Nasional), 222 KPPN (Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional) serta puluhan KEK (Kawasan
Ekonomi Khusus) yang sungguh tidak masuk akal nomenklatur dan hirarki serta strategi pembangunannya.

Jangankan untuk menyelesaikan proses pembangunan jangka panjang yang diisyaratakan oleh PP tersebut, untuk menyelesaikan dokumen-dokumen perencanaannya saja negara belum akan tentu bisa.

Semua itu adalah bukan kesalahan Presiden atau pemerintah terdahulu, melainkan adalah cerminan lemahnya kompetensi dari birokrat, akademisi serta pelaku usaha pariwisata yang membidangi dua
produk hukum tersebut.

Atas hal itu,  kalau perlu Presiden Jokowi tidak perlu takut untuk melarang Menteri Pariwisatanya agar tidak lagi memakai "pemikiran abal-abal" dan tentunya tidak boleh pula ikut melahirkan
"pemikiran abal-abal" yang dilandaskan pada jargon-jargon manajemen ataupun berbagai "tag line" yang banyak beredar di Kementerian Pariwisata setiap hari lama setahun belakangan ini.

Secara objektif, Indonesia terlalu kaya dengan sumberdaya pariwisata, dan mempunyai pangsa pasar yang sangat besar. Namun, sayangnya selama ini pembangunan pariwisata kita lebih banyak didikte
dan dikuasai oleh pemikiran-pemikiran pragmatis dan amatiran dari para "opportunis"  yang berada di lingkaran satu pimpinan kementerian tersebut.

Agar kekeliruan dan kekurangan kita bersama tidak terulang, maka mari kita rapatkan barisan untuk membangun potensi pariwisata dengan sepenuh hati.

*): Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

 

  

Pewarta: Dr der Forst Ir Ricky Avenzora MSc F Trop *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015