Yayasan Metamorfosis Menuju Inklusi mengajak seluruh perempuan yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan berani bersuara sebagai salah satu cara untuk melawan berbagai bentuk kekerasan agar pelakunya bisa mendapat hukuman setimpal.
"Sampai saat ini, wanita korban kekerasan terutama kekerasan seksual masih banyak yang enggan melapor dan takut menceritakan apa yang dialaminya tersebut baik kepada keluarga maupun aparat keamanan," kata Ketua Pembina Yayasan Metamorfosis Menuju Inklusi Moudy Cynthia melalui sambungan telepon di Sukabumi, Rabu.
Menurut Moudy, faktor lain masih banyaknya korban perempuan yang tidak berani bersuara dikarenakan pelaku kekerasan memiliki hubungan yang dekat dengan korban misalnya keluarga, tetangga, teman dan sebagainya.
Selain itu, faktor lainnya yang menyebabkan korban memilih bungkam yakni ancaman dari pelaku pun menyebabkan korban takut, kemudian malu, merasa kejadian yang dialaminya bisa menjadi aib bagi keluarga hingga korban ketergantungan ekonomi kepada pelaku.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi tersebut meembuat kasus seperti menjadi kompleks yang berujung korban tidak mau melaporkan kejadian yang dialaminya dan pelaku masih bisa berkeliaran serta tidak jera.
Maka dari itu, momen peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) pihaknya menggelar aksi kampanye melalui media sosial dan serangkaian kegiatan tatap muka termasuk talkshow. Dalam aksinya aktivis perempuan ini mengusung tema "Lawan Bersama Kekerasan Terhadap Perempuan: You are not alone".
"Minimnya pengetahuan yang dimiliki korban tentang adanya layanan hukum serta bagaimana mengaksesnya mengakibatkan banyak dari mereka yang memiih diam dan bungkam serta menelan sendiri masalah yang dialaminya itu. Padahal saat ini sudah banyak lembaga bantuan hukum (LBH), komunitas dan lain sebagainya yang bisa dimanfaatkan untuk berkonsultasi," katanya.
Metamorfosis Menuju Inklusi mengembangkan berbagai program pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) dalam upaya penguatan kapasitas kelompok-kelompok perempuan, kampanye dan promosi narasi setara gender dan anti-KBG baik dilakukan langsung tatatap muka maupun melalui daring di social media, serta advokasi kebijakan yang sensitif gender.
Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan data kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2020 total mencapai 299.911 kasus. Ini membuktikan masih sangat banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak berani menceritakan pengalamannya atau mendatangi lembaga penyedia layanan untuk meminta pertolongan.
Adanya kekosongan hukum, karena bentuk-bentuk kekerasan seksual tidak diatur dalam KUHP karena KUHP hanya memproses pemidanaan bagi pelaku dan tidak ada pemenuhan hak bagi korban.
"Definisi perkosaan didalam KUHP masih sempit. Tidak ada pemenuhan hak bagi korban kekerasan seksual seperti hak penanganan, perlindungan dan pemulihan. Saya menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), untuk itu pentingnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk segera disahkan dan agar bisa terwujud membutuhkan kerjasama dan sinergi dari berbagai pihak," katanya.
Dalam talkshow ini juga dihadiri perwakilan dari Ana Ismawati Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bogor Ana Ismawati yang sempat menyampaikan berbagai program untuk merespon situasi ini khususnya di Kota Bogor.
Program tersebut antara lain Penyelenggaraan Kota Layak Anak dan Responsif Gender, sistem pelayanan kekerasan berbasis gender yang terintegrasi melalui Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan mengembangkan pusat pembelajaran keluarga (puspaga) serta membentuk Satgas KDRT di setiap kelurahan dan aplikasi berbasis android Pojok Konseling Keluarga Unggul (Pollink-Gaul) yang akan diluncurkan dalam waktu dekat.
Talkshow tatap muka dan juga ditayangkan langsung melalui sejumlah media sosial ini dipandu langsung Diektur Metamorfosis Menuju Inklusi Sofiah dengan menghadirkan sejumlah narasumber dari dinas terkait di Kota Bogor.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021
"Sampai saat ini, wanita korban kekerasan terutama kekerasan seksual masih banyak yang enggan melapor dan takut menceritakan apa yang dialaminya tersebut baik kepada keluarga maupun aparat keamanan," kata Ketua Pembina Yayasan Metamorfosis Menuju Inklusi Moudy Cynthia melalui sambungan telepon di Sukabumi, Rabu.
Menurut Moudy, faktor lain masih banyaknya korban perempuan yang tidak berani bersuara dikarenakan pelaku kekerasan memiliki hubungan yang dekat dengan korban misalnya keluarga, tetangga, teman dan sebagainya.
Selain itu, faktor lainnya yang menyebabkan korban memilih bungkam yakni ancaman dari pelaku pun menyebabkan korban takut, kemudian malu, merasa kejadian yang dialaminya bisa menjadi aib bagi keluarga hingga korban ketergantungan ekonomi kepada pelaku.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi tersebut meembuat kasus seperti menjadi kompleks yang berujung korban tidak mau melaporkan kejadian yang dialaminya dan pelaku masih bisa berkeliaran serta tidak jera.
Maka dari itu, momen peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) pihaknya menggelar aksi kampanye melalui media sosial dan serangkaian kegiatan tatap muka termasuk talkshow. Dalam aksinya aktivis perempuan ini mengusung tema "Lawan Bersama Kekerasan Terhadap Perempuan: You are not alone".
"Minimnya pengetahuan yang dimiliki korban tentang adanya layanan hukum serta bagaimana mengaksesnya mengakibatkan banyak dari mereka yang memiih diam dan bungkam serta menelan sendiri masalah yang dialaminya itu. Padahal saat ini sudah banyak lembaga bantuan hukum (LBH), komunitas dan lain sebagainya yang bisa dimanfaatkan untuk berkonsultasi," katanya.
Metamorfosis Menuju Inklusi mengembangkan berbagai program pencegahan kekerasan berbasis gender (KBG) dalam upaya penguatan kapasitas kelompok-kelompok perempuan, kampanye dan promosi narasi setara gender dan anti-KBG baik dilakukan langsung tatatap muka maupun melalui daring di social media, serta advokasi kebijakan yang sensitif gender.
Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan data kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2020 total mencapai 299.911 kasus. Ini membuktikan masih sangat banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak berani menceritakan pengalamannya atau mendatangi lembaga penyedia layanan untuk meminta pertolongan.
Adanya kekosongan hukum, karena bentuk-bentuk kekerasan seksual tidak diatur dalam KUHP karena KUHP hanya memproses pemidanaan bagi pelaku dan tidak ada pemenuhan hak bagi korban.
"Definisi perkosaan didalam KUHP masih sempit. Tidak ada pemenuhan hak bagi korban kekerasan seksual seperti hak penanganan, perlindungan dan pemulihan. Saya menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), untuk itu pentingnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk segera disahkan dan agar bisa terwujud membutuhkan kerjasama dan sinergi dari berbagai pihak," katanya.
Dalam talkshow ini juga dihadiri perwakilan dari Ana Ismawati Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bogor Ana Ismawati yang sempat menyampaikan berbagai program untuk merespon situasi ini khususnya di Kota Bogor.
Program tersebut antara lain Penyelenggaraan Kota Layak Anak dan Responsif Gender, sistem pelayanan kekerasan berbasis gender yang terintegrasi melalui Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan mengembangkan pusat pembelajaran keluarga (puspaga) serta membentuk Satgas KDRT di setiap kelurahan dan aplikasi berbasis android Pojok Konseling Keluarga Unggul (Pollink-Gaul) yang akan diluncurkan dalam waktu dekat.
Talkshow tatap muka dan juga ditayangkan langsung melalui sejumlah media sosial ini dipandu langsung Diektur Metamorfosis Menuju Inklusi Sofiah dengan menghadirkan sejumlah narasumber dari dinas terkait di Kota Bogor.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021