Bogor, (Antara Megapolitan) - Institut Media Sosial dan Diplomasi Komunikonten menilai Surat Edaran Kapolri terkait ujaran kebencian atau "hate speech" merupakan isu keamanan di media sosial, yang bertujuan memberikan rasa aman bagi siapapun.
"Intinya apa yang tidak boleh dilakukan di dunia nyata, jangan dilakukan di dunia maya," kata Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria, dalam siaran pers kepada Antara di Bogor, Senin.
Menurut dia satu postingan bohong bisa membuat kerusuhan di darat, satu poster fitnah bisa meruntuhkan bangunan NKRI. Hati-hati juga adu domba antar golongan di media sosial.
Hariqo mengatakan, larangan konten kebencian boleh saja dilakukan, jangan sampai hanya untuk membungkam atau menakut-nakuti orang yang mengkritik pemerintah, tetapi harus memberikan rasa aman bagi siapapun.
Dikatakannya, bahaya ujaran kebencian di media sosial bukanlah hal baru, larangan ini juga sudah dilakukan oleh Twitter. Larangan tersebut dapat dibaca dalam aturan media sosial tersebut.
"Twitter juga melarang promosi konten kebencian, topik sensitif, dan kekerasan secara global," katanya.
Ia menjelaskan, konten kebencian yang dimaksudkan dalam kebijakan tersebut adalah kontek yang menghasut individu, organisasi, atau grup berdasarkan ras, suku bangsa, asal negara, warna kulit, agama, ketidakmampuan fisik ataupun mental, usia, jenis kelamin, dan lainnya.
"Terkait larangan ini bisa dibaca lengkap di https://support.twitter.com/articles/20172302," katanya.
Hariqo menambahkan, persoalan yang muncul saat ini, kebanyakan orang membuat media sosial dengan cepat, tanpa membaca aturan yang dibuat oleh media sosial tersebut. Karenanya, sebelum membuat akun media sosial, lebih baik membaca dulu aturan, jangan asal centang "agree" saja.
"Ini mirip dengan kita membeli barang elektronik atau obat, tidak kita membiasakan diri membaca buku petunjuk penggunaan, kebanyakan memilih mendengarkan dari mereka yang sudah menggunakan, meskipun yang sudah menggunakan belum tentu membaca buku petunjuk," katanya.
Ia menambahkan, guru, orang tua, para pemuka agama juga harus sering mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dengan menggunakan sosial media dan kritis terhadap informasi yang ada di dalamnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Intinya apa yang tidak boleh dilakukan di dunia nyata, jangan dilakukan di dunia maya," kata Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria, dalam siaran pers kepada Antara di Bogor, Senin.
Menurut dia satu postingan bohong bisa membuat kerusuhan di darat, satu poster fitnah bisa meruntuhkan bangunan NKRI. Hati-hati juga adu domba antar golongan di media sosial.
Hariqo mengatakan, larangan konten kebencian boleh saja dilakukan, jangan sampai hanya untuk membungkam atau menakut-nakuti orang yang mengkritik pemerintah, tetapi harus memberikan rasa aman bagi siapapun.
Dikatakannya, bahaya ujaran kebencian di media sosial bukanlah hal baru, larangan ini juga sudah dilakukan oleh Twitter. Larangan tersebut dapat dibaca dalam aturan media sosial tersebut.
"Twitter juga melarang promosi konten kebencian, topik sensitif, dan kekerasan secara global," katanya.
Ia menjelaskan, konten kebencian yang dimaksudkan dalam kebijakan tersebut adalah kontek yang menghasut individu, organisasi, atau grup berdasarkan ras, suku bangsa, asal negara, warna kulit, agama, ketidakmampuan fisik ataupun mental, usia, jenis kelamin, dan lainnya.
"Terkait larangan ini bisa dibaca lengkap di https://support.twitter.com/articles/20172302," katanya.
Hariqo menambahkan, persoalan yang muncul saat ini, kebanyakan orang membuat media sosial dengan cepat, tanpa membaca aturan yang dibuat oleh media sosial tersebut. Karenanya, sebelum membuat akun media sosial, lebih baik membaca dulu aturan, jangan asal centang "agree" saja.
"Ini mirip dengan kita membeli barang elektronik atau obat, tidak kita membiasakan diri membaca buku petunjuk penggunaan, kebanyakan memilih mendengarkan dari mereka yang sudah menggunakan, meskipun yang sudah menggunakan belum tentu membaca buku petunjuk," katanya.
Ia menambahkan, guru, orang tua, para pemuka agama juga harus sering mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dengan menggunakan sosial media dan kritis terhadap informasi yang ada di dalamnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015