Bogor, 11/10 (ANTARA) - Pertumbuhan kota akibat urbanisasi global selain mendorong manusia untuk beradaptasi juga mendorong kelangkaan burung, kata Bird Conservation Officer Dwi Mulyawati, Selasa.

"Perubahan kota memang tidak dapat dihindari. Bukan hanya manusia yang harus beradaptasi dengan perubahan tersebut burung juga," katanya yang aktif memberikan perhatian bagi konservasi burung di Indonesia.

Aktivis lembaga yang menjadi bagian dari kemitraan global Bird Life International ini mengungkapkan, agar dapat bertahan hidup burung harus merubah polah perilakunya mulai dari perilaku sarang, mencari makan, hingga mengenali jenis-jenias ancaman baru yang sebelumnya tidak pernah ditemui.

Pertumbuhan kota telah memberi pengaruh besar terhadap perubahan iklim. Berdasarkan laporan dari UN Habitat 2011 Global Report on Human Settlement, kota telah menyumbang 70 persen polusi melalui emisi gas rumah kaca yang subernya berasal dari konsumsi bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, industri dan sampah.

Keberadaan gedung pencakar langit turut memakan korban burung.

"Tidak semua jenis burung dapat mengadopsi perkotaan sebagai rumah kedua," kata Dwi.

Lebih lanjut Dwi mengatakan, tidak heran burung yang menjadi maskot DKI Jakarta ini justru tidak bisa bertahan hidup di belantara kota Jakarta.

Sekitar empat persen saja burung hutan yang dapat beradaptasi, selebihnya sangat sulit. Bahkan jenis-jenis seperti rangkong, ayam-ayaman, dan kelompok burung peladuk tidak dapat beradaptasi sama sekali dengan lingungan yang dipenuhi rimba beton kota.

Berdasarkan kajian Jared M Diamond pengenai adaptasi burung terhadap perkembangan kota di Papua Niugini (1986) dapat menjelaskan, kacamata laut (Zosterops chloris) memerlukan waktu 50 tahun untuk memperluas wilayah jelajah hingga ke Kota Wau.

Artinya burung membutuhkan waktu lima dasawarsa untuk beradaptasi sejak dibentuknya kota tersebut.

"Begitu juga dengan elang bondol (Haliastur indus) yang pada 1983 mulai makan bangkai hewan pengerat yang mati tertabrak kendaraan sepeda motor," kata Dwi.

Sebelumnya, lanjut Dwi, elang bondol, harus belajar untuk tidak menjadi korban dengan cara beradaptasi dengan kendaraan bermotor.

Jika mereka tetap ngotot menyantap ikan lezat yang menjadi makanan favoritnya, tidak ada pilihan lain, elang bondol harus menyingkir ke tempat dimana masih tersedia ikan di perairan yang cukup bersih.

"Mereka kini hanya bisa bertahan hidup di beberapa pulau kecil di Kepulauan Seribu," katanya.

Sementara itu, lanjut Dwi, menurut NYC Audubon, lembaga pemerhati burung liar dan habitatnya di New York, lampu yang terlalu terang membuat burung disorientasi saat terbang sehingga mengganggu sistem navigasi.

NYC Audubon memperkirakan, sebanyak 90 ribu burung mati setiap tahunnya akibat menabrak dinding kaca gedung.

Lebih lanjut Dwi menjelaskan bahwa perubahan iklim yang berlangsung sangat cepat juga membuat burung kesulitan menyesuaikan diri.

Ada burung yang bergantung pada rentang suhu tertentu. Dengan hutan kota yang sehat, yang menyediakan relung hidup yang lebih beragam, burung-burung akan mampu bertahan di antara belantara beton.

"Jakarta perlu terus berjuang mengembangkan ekosistem kota yang lebih baik, antara lain dengan meningkatkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang saat ini belum mencapai sepuluh persen dari luas wilayahnya," kata Dwi.

Ia menambahkan, RTH privat serta pekarangan rumah menjadi benteng terakhir bagi Jakarta dalam mempertahankan kawasan hijaunya.

Kehijauan di area terbuka ini berfungsi tidak hanya mengurangi emisi, namun juga memungkinkan hidupan liar, seperti burung dan kupu-kupu, dapat hadir kembali

Laily R.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2011