Negeri kita sedang di ujung tanduk untuk menjadi "kobong", "kobong", dan "kobong". Baik "kobong" karena kebakaran hutan, "kobong" karena kehancuran ekonomi, serta tidak tertutup kemungkinan untuk menjadi "kobong" karena persoalan politik.

"Kobong" adalah sebutan dalam bahasa Jawa, yang berarti terbakar.

Alih-alih mampu bekerja, bekerja dan bekerja secara efisien dan efektif (seperti yang dicanangkan Presiden Jokowi), selama setahun ini malah banyak pihak mempertontonkan pola berpikir dan bertindak
yang sangat kontraproduktif dengan kebutuhan minimal yang diperlukan untuk menangani berbagai permasalahan dan bencana yang sedang melanda negeri kita di semua lini dan berbagai wilayah.

Jika tidak segera disadari secara bersama, maka proses "kobong" diduga kuat akan segera terjadi dalam hitungan jari.

Penyebab utamanya adalah karena kekacauan pola berpikir dan bertindak telah terjadi secara serentak pada semua lini secara vertikal dan horizontal; secara masif dan semakin kronis.

Meskipun Presiden tidak terlihat  gamang dalam menjalankan tugasnya, namun berbagai pemberitaan yang ada telah memaparkan indikator-indikator penting yang menunjukan bahwa beliau telah
kehilangan ketelitiannya dalam memilah dan memaknai informasi, serta telah pula kehilangan kehati-hatiannya dalam mengeluarkan titah.

Agar negeri kita tidak menjadi "kobong", maka barangkali ada baiknya kita mendiskusikan serta mengenali dan mencermati apa yang sesungguhnya sedang terjadi, untuk kemudian berpikir jernih agar
bisa  merapatkan dan menyatukan barisan dalam mencegah bahaya yang lebih besar, sehingga bisa mendukung proses pembangunan nusa dan bangsa yang sedang dipimpin Presiden Jokowi dengan Kabinet Kerja-nya.

           Natural Vs Cutural
Dalam konteks kebakaran hutan, perlu kita pahami bahwa peristiwa kebakaran hutan adalah dapat bersifat natural (natural forest fire) ataupun kultural (cultural forest fire). Dalam konteks natural, maka suatu proses kebakaran adalah pasti akan terjadi ketika terpenuhinya tiga (3) syarat, yaitu: tersedianya material kering (dry material),
tersedianya oksigen (02) dan terciptanya titik api (fire spot).

Setelah dilanda kekeringan berbulan-bulan, tentu mudah kita pahami bahwa berbagai material berkayu di berbagai kawasan hutan di negeri kita yang tropis ini akan terus mengering, layu, mati dan
kemudian terus memanas hingga mencapai titik hangus.

Ketika titik hangus terus diterpa panas yang tidak henti, maka material tersebut akan sangat potensial untuk menimbulkan bara api, di mana tiupan angin saja akan mampu menjadikan bara tersebut
berubah menjadi lidah api yang akan membakar material lain di sekitarnya.

Selain itu, perlu juga kita sadari bahwa gesekan dahan kering di suatu pohon yang masih hidup pun akan sangat potensial untuk menimbulkan percikan api yang akan membakar pohon hidup itu secara
keseluruhan.

Hal ini adalah karena telah sangat keringnya jaringan "xylem" (kulit pohon) yang tergesek itu. Meskipun sesungguhnya pohon itu masih hidup,  namun ketersedian air tanah yang sangat kecil akan
menjadikan suplai air dari akar pohon hingga ke pucuknya menjadi sangat kecil dan diskontinyu.

Hal ini menyebabkan hanya jaringan "xylem" bagian terdalam sajalah (yang berdekatan dengan "jaringan phloem") yang akan berkecenderungan masih tergolong basah, sedangkan jaringan luarnya
akan terus mengering dan mudah terbakar.

Hal tersebut di atas adalah gambaran sederhana proses terjadinya kebakaran hutan secara alami.

Kejadian-kejadian seperti itulah yang menyebabkan berbagai peristiwa kebakaran hutan di negara-negara maju (Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan negara lain) di mana setiap tahunnya hingga mencapai
ratusan ribu dan bahkan hingga jutaan hektare.

Musim panas yang ekstrem dan rendahnya kelembaban udara di negara subtropis dan negara empat musim telah menjadikan hutan-hutan mereka terbakar ratusan ribu hingga jutaan hektar setiap tahun.

Secara kultural, maka proses membakar lahan adalah sudah merupakan sejarah panjang dari peradaban manusia, mulai dari zaman pengumpul, zaman peramu dan seterusnya hingga zama modern ini.

Bbukan hanya di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh belahan dunia.

Proses membakar lahan secara kultural, bisa terjadi dalam banyak dinamika, seperti: (a). hanya dalam dinamika sangat sederhana berupa membakar sampah atau rumput dan ilalang saat proses membersihkan halaman belakang rumah (back yard fire), (b). membakar jerami hasil panen di ladang (taloon-fire), maupun dalam
bentuk yang lebih kompleks berupa perladangan berpindah (shifting cultivation).

Perjalanan sejarah antrologi dan etnologi inilah yang bisa kita maknai sebagai dasar mengapa ada UU dan peraturan menteri (Permen) ataupun peraturan daerah (Perda) dan peraturan gubernur (Pergub)
yang mengizinkan masyarakat lokal melakukan proses pembakaran dalam mengolah ladang pertaniannya.


           "Criminal Forest Fire".
Sejalan dengan telah berkembangnya kejahatan manusia sejak zaman Adam dan Hawa, tentunya kita juga tidak boleh menutup mata atas kemungkinan terjadinya kejahatan membakar hutan (criminal forest
fire), di mana sesungguhnya Indonesia pun sudah punya pengalaman panjang dalam hal kejahatan ini sejak zaman penjajahan ratusan tahun lalu.

Banyak literatur telah menuliskan bagaimana sikap para penjajah dalam membakar perkebunan-perkebunan rakyat dan bahkan rumah serta
penghuninya hidup-hidup di zaman penjajahan dulu.

Sejak akhir zaman Orde Baru, kita juga telah kenyang mendengar isu mafia pembakar yang bekerja mulai dari tengah hutan hingga perkotaan dan bahkan di Jakarta.

Mulai dari membakar-bakar pasar-pasar rakyat secara terencana, membakar perkampungan-perkampungan yang dianggap kumuh, hingga membakar-membakar lahan hutan, untuk menjadi jalan agar terbukanya alasan untuk menyatakan perlunya peremajaan pasar dan
perkampungan, serta alasan untuk mengajukan pengalihan fungsi kawasan hutan.

Dalam konteks kehutanan, maka perlu kita ketahui bahwa wewenang pengalihan fungsi lahan adalah terletak di tangan pemerintah, yaitu diajukan oleh pemerintah daerah,  dinilai oleh tim terpadu yang
dibentuk Kementerian Kehutanan untuk  kemudian hasilnya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, baik dalam bentuk Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)
pada zaman sebelum reformasi) ataupun dalam bentuk Padu Serasi TGHK (di masa setelah reformasi).

Celah kejahatan melalui konsep TGHK di akhir zaman Orde Baru telah diperburuk oleh celah proses penetapan Rencana Tata Ruang (pada semua tingkat) di era Reformasi.

                 Dampak Kejahatan.
Hingga di sini, maka tentunya kita bisa merenungkan siapa saja sebenarnya aktor yang berpeluang untuk mempunyai motivasi sebagai
pelaku kriminal pembakaran hutan.

Tinggal kita maknai dan simpulkan "siapa" mempunyai "motivasi apa", "berbuat apa", serta berapa besar kontribusinya terhadap bencana asap yang sedang melanda negeri kita saat ini.

Negara dan pemerintah telah lalai mengantisipasi faktor eksternalitas dalam menetapkan undang-undang dan peraturan terkait, dan juga telah lalai dalam menentukan kecepatan serta metoda bertindak dalam mengatasi bencana.

Setelah bertahun-tahun negeri ini mengalami bencana kebakaran hutan, ternyata negara dan pemerintah dapat dikatakan hanya mengandalkan turunnya  hujan untuk menghentikan kebakaran yang terjadi.

Negara kita tidak memiliki "action plan" yang terukur, serta juga tidak mempersiapkan diri dengan berbagai infrastrutur dan fasilitas yang memadai dalam menghadapi kebakaran hutan yang telah
terjadi selama puluhan tahun.

Rakyat marjinal di pelosok-pelosok negeri juga berpeluang untuk dipetakan melakukan kelalaian yang menyebabkan kebakaran hutan yang lebih besar.

Meskipun mereka pada dasarnya hanya bermaksud mencari hidup, namun keterbatasan mereka dalam banyak hal telah menyebabkan mereka menjadi bisa digolongkan lalai dalam memprediksi dinamika
kebakaran yang bisa terjadi dari niat mereka untuk membuka 0,25 - 0,5 hektare lahan dalam suatu musim tanam.

Perusahaan terkait tentunya juga berpeluang untuk melakukan kelalaian yang menjadi penyebab kebakaran hutan di areal kerjanya.

Jika kita membiarkan diri kita terperangkap  "traumatic-memory" dari kejahatan kehutanan di masa lalu, maka tentunya kita akan menjadi serta merta bersikap apripori serta tendensius untuk
mengarahkan tuduhan kepada perusahaan terkait.

Namun demikian, perlu kita ketahui bahwa  untuk bisa memasarkan produk mereka secara internasional, maka dalam lima tahun terakhir, perusahaan perkebunan dan kehutanan sudah tidak berpeluang lagi untuk melakukan berbagai bentuk pelanggaran lingkungan.

Perusahan perkebunan dan kehutanan telah dipasung oleh berbagai peraturan (nasional dan global) yang  mencekik perusahaan perkebunan dan kehutanan untuk memperhatikan aspek lingkungan.
Mulai dari berbagai sertifikasi lingkungan hingga sertifikasi merek dagang  harus mereka penuhi dalam berusaha untuk menghasilkan devisa bagi bangsa dan negara kita.

Dalam konteks pengaruh politik lingkungan terhadap ekonomi global, sungguh tidak mudah bagi pengusaha kehutanan dan perkebunan saat ini untuk bisa menjadi besar dalam persaingan dagang secara
global.

Mereka dicekik oleh berbagai aturan sertifikasi lingkungan yang secara global diberlakukan "international agency" (lembaga internasional).

Selain penuh dengan kriteria dan indikator yang rumit, sertfikat membutuhkan biaya yang sangat besar pula untuk memenuhinya.

Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum  pula bahwa "darah" perusahaan pun  tidak henti-hentinya dihisap oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (NGO) baik nasional maupun internasional.

Bahkan oleh berbagai lembaga pembangunan internasioanl (international development agency) yang selalu "memeras" perusahaan dengan berbagai macam bentuk proposal dan ancaman serta intimidasi
melalui pembentukan opini publik yang sangat subjektif dan tendensius, atau melalui isu lingkungan yang tidak henti-hentinya diputar serta dipelintir untuk mencari jalan mengeruk keuntungan
finansial dari perusahaan.

Lebih lanjut, jika kita pelajari sejarah kejahatan korporasi yang berkaitan dengan kebakaran di dunia, sebagian besar kejahatan kebakaran yang terjadi adalah selalu berkaitan dengan klaim
asuransi atau penghancuran agunan kredit untuk meminta status pailit.

Adapun di negeri kita, hingga hari ini tidak ada satupun peraturan yang mengizinkan perusahaan perkebunan dan kehutanan untuk menjadikan tegakan perkebunan/kehutanan mereka sebagai agunan/kolateral dalam mendapatkan kredit komersial perbankan.

Demikian juga halnya perihal asuransi, perusahaan adalah tidak bisa mengasuransikan tegakan perkebunan dan kehutanan yang mereka miliki.

Atas hal itu, maka barangkali menjadi penting bagi kita untuk berhati-hati dalam mengarahkan kecurigaan dan tuduhan yang bersifat tendensius serta akan berdampak matinya industri perkebunan dan kehutanan negeri kita.

Sebagai anak bangsa, mestinya kita bisa mencibirkan Singapura yang telah memboikot produk negeri kita.

Jika kita belum bisa berfikir jernih dalam kekacauan berita, serta kalau kita tidak bisa membela industri perkebunan dan kehutanan kita,
maka sebaiknya janganlah memperburuk situasi dan menghancurkan citra industri perkebunan dan kehutanan kita.

Ingatlah berapa puluh juta jiwa yang menggantungkan hidupnya dari dua  industri itu, dan ingat pula lah tentang efek negatif berganda (domino effect) yang akan timbul jika dua industri itu
hancur oleh kegegabahan kita bersama.

Terakhir, berbagai data yang ada yang berkaitan dengan peristiwa kebakaran yang terjadi dari tahun ke tahun malah menunjukan bahwa intensitas kebakaran terbesar adalah di luar areal usaha perkebunan dan usaha kehutanan.

Sebagai salah satu contoh, untuk tahun 2015 data Global Forest Watch menunjukkan bahwa kebakaran hutan di luar areal usaha adalah lebih tinggi dari yang terjadi di dalam areal usaha.

Bahkan informasi dari berbagai wilayah mengindikasikan bahwa tidak sedikit areal usaha perkebunan dan kehutanan yang sesungguhnya menjadi korban dari kebakaran di luar areal usaha mereka.

                  "Fire Mafia"
Lebih lanjut,  tentu saja kita juga tidak boleh melupakan hadirnya mafia api yang juga berpotensi terwujud dari kolaborasi banyak pihak, yaitu otak kejahatan (intelectual actors) dan peserta kejahatan (contributor actors).

Secara teoritis, otak kejahatan bisa merupakan: (a). kejahatan individu (individual criminal), (b). kelompok makelar tanah, (c). kelompok rakyat yang terhasut dalan khilaf dalam mencari uang untuk makan, (d) kelompok pesiteru/kompetitor (baik usaha ataupun sosial-kemasyarakatan),  dan seterusnya hingga (e). kelompok teroganisir yang melibatkan  banyak unsur pelaku..

Untuk memahami kompleksitas hal ini, cobalah cermati tentang rusaknya Taman Buru Pulau Rempang di wilayah Barelang Kepulauan Riau.

Tanyakanlah kepada Kementerian LHK mengapa tanah-tanah di Taman Buru tersebut dijual dan diiklankan secara terbuka oleh mafiatanah. Minta pula lah Kementerian LHK untuk menjelaskan dan
bertanggung jawab mengapa Taman Buru tersebut menjadi hancur, dan tanyakanlah pada nelayan lokal siapa saja oknum mafia dari negara tetangga yang memainkan peran dalam penguasaan pulau yang sesungguhnya berstatus Taman Buru tesebut.

Teruslah telusuri sepak terjang oknum mafia asing tersebut hingga ke Riau daratan dan berbagai pulau lain di Indonesia, kenali topeng-topeng wajahnya, dan cermati pula pola tindakannya.

Agar kita bisa bertambah paham, lalu  minta pula lah Kementerian LHK untuk mengungkap berapa banyaknya perubahan fungsi lahan yang telah diajukan  daerah sejak reformasi dan sejak diberlakukannya
UU Tata Ruang, serta tanyakan pula berapa banyak dan luas  yang telah disetujui.

Lalu, segarkan pulalah ingatan kita bahwa di negeri ini pernah ada beberapa pejabat negara  yang tergelincir dalam kasus alih fungsi lahan.

Jika semua dinamika tersebut di atas kita renungkan maka tentu akan mudah bagi kita untuk menyadari bahwa sesungguhnya kita telah lalai menyadari kehadiran mafia api yang telah secara sistematis membakar kawasan hutan dan lahan-lahan di negara kita secara sistematis dan terencana.

Kita semua telah dihancurkan dan diadu domba oleh mafia api dan mereka telah menggiring opini publik untuk menyalahkan perusahaan-perusahaan tertentu untuk mengaburkan siapa sesungguhnya aktor intelektual yang telah menjadi dalang dan mafia
api hutan selama ini.

Unsur-unsur kelalaian yang dimiliki  para-pihak (seperti telah dijelaskan di atas) telah dipelintir-pelintir dan di scale-up oleh para mafia kebakaran untuk berbagai kepentingan.

                   Pola Kejadian
Mencermati pola kejadian kebakaran yang meloncat-loncat secara acak di seluruh wilayah negeri kita, maka sebagai anak bangsa tentunya kita
juga perlu berfikir keras dan meningkatkan kewaspadaan atas kemungkinan adanya gerakan-gerakan tersembunyi pihak tertentu yang bermaksud
meruntuhkan eksistensi negara dan pemerintah melalui penciptaan penderitaan dan kemarahan rakyat dari bencana alam (natural disaster") dalam hal ini adalah kebakaran hutan dan kehancuran ekonomi negara.

Cobalah membayangkan rantai kejadiannya dan kondisi yang mengancam bangsa dan negara kita.

Kebakaran belum bisa di atasi, kabut asap terus menebal dan meningkatkan intensitas masalah kesehatan yang semakin banyak merenggut nyawa anggota masyarakat.

Perhubungan antarwilayah yang terus terputus akan secara pasti menyebabkan terhentinya roda ekonomi.

Kekuatan TNI terus dikuras untuk menjadi salah satu tulang punggung utama dalam mengatasi bencana, sedangkan Polri terus disibukkan dan disudutkan untuk mengejar pelaku yang tidak jelas
bayangannya.

Pengusaha terus diopinikan dan dituduh sebagai pelaku kriminal, sedangkan perusahaannya atas nama hukum dipaksakan untuk ditutup dan dihentikan.

Semua dinamika kejadian tersebut adalah sangat potensial sebagai pemicu terciptanya kekacauan yang bersifat fatal di negeri kita.

Agar tidak terlalu panjang,  kita cukupkan dahulu diskusi hingga di sini.

Selamat merenung dan mencermati, semoga kita bisa berfikiran jernih dan punya hati nurani untuk menjaga perekonomian serta eksitensi negara, nusa dan bangsa kita sendiri.

Sedangkan sebagai umat beragama, maka barangkali ada baiknya juga jika kita semakin khusyuk berdoa ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya tidak mengazhab bangsa kita seperti yang tertulis
dalam kitab suci Al Qur'an (Surat 44, Ayat 10-11).


*) Penulis adalah Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).
 
 

Pewarta: Dr der Forst Ir Ricky Avenzora MSc F *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015