Jakarta (Antara Megapolitan) - Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI) menunjukkan hasil bahwa faktor ekonomi mendominasi alasan ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

"Sebagian besar masyarakat merasa tidak puas dengan bidang ekonomi, dengan persentase mencapai 71,9 persen dari total 384 responden," kata juru bicara Kedai KOPI Hendri Satrio dalam sebuah kegiatan diskusi politik di Jakarta, Minggu.

Pada urutan selanjutnya, ketidakpuasan masyarakat jatuh pada bidang hukum yang mencapai 50,8 persen. Lalu diikuti bidang politik sebanyak 50,3 persen dari jumlah responden yang sama.

"Satu yang diapresiasi masyarakat, yaitu kemaritiman sebanyak 57,0 persen. Responden yang tidak puas di bidang tersebut hanya 33,9 persen," ujar Hendri memaparkan.

Dia pun menegaskan, masyarakat memang memberikan sorotan khusus pada beberapa menteri yang terkait dengan harga bahan pokok, rupiah, kabut asap, dan bahan bakar minyak (BBM).

Survei tersebut dilakukan terhadap 384 responden yang tersebar secara proporsional di seluruh Indonesia, dengan perbandingan 52 persen di Pula Jawa dan 48 persen dari luar Jawa.

Proses pengumpulan data dilaksanakan tanggal 14-17 September melalui wawancara telepon. Dengan menggunakan 384 responden, "margin of error" kurang lebih lima persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, jelasnya menambahkan.

Dalam pemaparan survei yang sama, diketahui juga bahwa sebagian besar masyarakat tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

"Dari survei yang telah kami lakukan sebanyak 54,7 persen masyarakat tidak puas terhadap kinerja Jokowi-JK," ujarnya.

Menurut informasi yang dia berikan, survei tersebut dilakukan dalam rangka menghitung tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah menjelang masa satu tahun pada 20 Oktober mendatang.

Lebih lanjut ia menjelaskan, sebagian besar responden merasa tidak puas pada tiga hal, antara lain harga pokok yang tinggi (35,5 persen), pelemahan nilai tukar rupiah (23,7 persen), dan lambannya penanganan kabut asap (11,8 persen).

"Sisanya publik merasa tidak puas karena harga BBM yang mahal, susahnya lapangan kerja, kinerja menteri yang tidak bagus, biaya kesehatan yang tidak terjangkau, dan sebagainya," ujarnya memaparkan. 

Pewarta: Roy Rosa Bachtiar

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015