Bogor, (Antara Megapolitan) - Guru Besar Teknologi Pertanian IPB Prof Khaswar Syamsu mengatakan sudah saatnya Indonesia menyiapkan kebun energi sebagai langkah antisipasi agar bahan baku untuk memproduksi energi terbarukan (biorifenery) seperti bioetanol.

Bioetanol tidak lagi berasal dari produk pati yang bersaing dengan sumber pangan manusia,kata Prof Khaswar di Bogor, Kamis.

"Kebun Energi bisa dibangun di wilayah Timur Indonesia, atau memanfaatkan lahan tidur dan lahan kritis yang tidak terpakai," katanya.

Khaswar mengatakan, sebagai sumber energi, persediaan bahan bakar minyak bumi yang tidak dapat diperbaharui sudah mulai menipis dengan konsekuensi harga yang semakin mahal.

Bioetanol menjadi salah satu solusi energi alternatif yang perlu dikembangkan dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui.

Perkembangan bahan bakar nabati bioetanol sampai saat ini belum menggembirakan karena harganya yang kurang kompetitif dipasaran dibanding harga BBM. Hal ini karena kebanyakan bioetanol berasal dari pati yang merupakan sumber pangan manusia.

"Perlu dicari bahan baku murah, mudah didapat, dan tersedia dalam jumlah berlimpah, pencarian strain mikroba unggul yang memiliki produktifitas tinggi, pengembangan teknologi lebih produktif dan efisien untuk menghasilkan bioetanol," katanya.

Menurut Prof Khaswar, kebun energi ini bisa disiapkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi "kiamat" minyak bumi. Karena persoalan energi sudah menjadi isu internasional, seiring semakin defisitnya jumlah BBM dari fosil.

"Berbagai jenis tanaman yang menjadi sumber energi alternatif dapat ditanam di kebun energi. Ini perlu disiapkan, karena berbicara teknologi memerlukan waktu cukup lama. Jangan sampai ketika kiamat minyak bumi kita belum siap," katanya.

Prof Khaswar mengatakan, ia telah mengembangkan produktivitas fermentasi bioetanol menggunakan substrat nira sorgum pada kultivasi sinambung dua tahap respiratif-fermentatif 5,7 kali lebih tinggi daripada produktivitas kultivasi batch yang dipraktekkan selama ini.

"Dan 1,7 kali lebih tinggi dibandingkan produktivitas kultivasi sinambung tanpa rakayasa bioproses pada volume bioreaktor yang sama," katanya.

Selain mendorong untuk memproduksi energi terbarukan yang ramah lingkungan melalui bioetanol, Prof Khaswar juga mengembangkan bioproduksi ramah lingkungan untuk minimalisasi kerusakan alam yakni bioplastik, dan bioselulosa.

Ia mengatakan, selulosa kayu paling dominan digunakan sebagai bahan utama pembuatan kayu, padahal kerta bisa dibuat dari bahan setengah jadi (pulp) yang mengandung selulosa. Selulosa mikrobial dapat menjadi alternatif pengganti kayu yang memiliki kelebihan tingkat kemurnian tinggi karena terbebas dari kandungan lignin, proses isolasi yang mudah, memiliki kristalinitas dan produktivitas selulosa yang tinggi dan berwarna cenderung bening atau putih (sehingga tidak perlu bahan pemutih).

"Riset pulp selulosa mikrobial dari nata atau campuran dengan pulp kayu telah teruji bisa digunakan sebagai bahan pembuatan kertas yang kuat dan ramah lingkungan," katanya.

Prof Khaswar juga mengembangkan bioplastik ramah lingkungan dengan memanfaatkan mikroba. Plastik ramah lingkungan nanofiber selulosa asetat dari tandan kosong kelapa sawit merupakan penelitian yang paling mutakhir saat ini.

Dijelaskannya, selulosa tandan kosong kelapa sawit diasetilasi dengan asetat anhibrida untuk menghasilkan selulosa asetat. Selulosa asetat memiliki kualitas sangat baik dengan transparansi yang baik, kekuatan tarik tinggi, tahan panas, daya serap air rendah dan mudah terdegradasi secara alami sehingga cocok digunakan sebagai bahan bioplastik.

"Karakteristik bioplastik lebih baik dari PHA dan LDPE serta lebih mendekati kekuatan PVC yakni 20 Mpa. Bisa digunakan pada kemasan seperti plastik pembungkus sekali pakai langsung buang," katanya. *

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015