Bogor, (Antara Megapolitan) - Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Dodi Nandika menilai pembuatan peta bahaya rayap dapat mencegah kerugian yang ditimbulkan hewan pengurai tersebut.

"Saat ini peta bahaya rayap baru dimiliki oleh DKI Jakarta. Peta ini dibuat karena kekhawatiran Gubernur Jakarta kala itu Joko Widodo dan mengeluarkan Pergub Nomor 35 Tahun 2013," katanya kepada wartawan dalam kegiatan bincang-bincang praorasi tiga guru besar di Kampus IPB Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin.

Pakar rayap itu mengatakan, kekhawatiran Gubernur DKI Jakarta kala itu karena bahaya rayap telah menimbulkan kerugian merusak bangunan rumah, sekolah, kantor pemerintahan, gedung dan lainnya. Oleh karena itu, Pergub DKI Jakarta mengamanatkan semua gedung wajib mengunakan antirayap.

Dikatakannya, IPB membantu memetakan sebaran rayap di DKI Jakarta dengan menggunakan tiga pendekatan yakni mengumpan rayap untuk diperiksa jenisnya, tipenya. Berikutnya, pendekatan tanahnya, apakah pH nya masih bagus dan haranya, serta beberapa parameter lainnya, lalu pendekatan cuaca.

"Dari hasil pemetaan terdapat empat spesies rayap di wilayah DKI Jakarta. Dan, di Jakarta Selatan, terdapat jenis rayap yang sangat ganas, dan termasuk kelas I rawan rayap," katanya.

Menurut Dodi, tidak hanya Jakarta, Bogor juga dengan kondisi geografis berada di kawasan ketinggian, serta dikelilingi gunung dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi juga menjadi surga para rayap.

Banyaknya pohon tumbang, salah satunya juga karena rayap seperti kejadian di Kebun Raya Bogor, begitu juga peristiwa ambruknya SD Bondongan 4 karena rayap.

"Bogor sudah ada peta penyebaran rayapnya, tetapi belum terstruktur," katanya.

Ia mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki iklim tropis yang hangat sepanjang tahun disertai kelembaban udara yang tinggi (70-90 persen) dan tanah yang pada umumnya kaya bahan organik.

Kondisi iklim dan tanah termasuk banyaknya ragam spesies tumbuhan sangat mendukung kehidupan rayap.

"Hampir 49 persen dari luas daratan Indonesia (93,92 juta ha) merupakan kawasan hutan yang menjadi habitat alami rayap," katanya.

Kondisi ini, lanjut Dodi, tidak mengherankan jika Indonesia memiliki 300 spesies rayap atau sekitar 13 persen dari kekayaan spesies rayap di dunia. Bahkan keberadaan berbagai spesies rayap di Indonesia telah dilaporkan sekurang-kurangnya di 45 kota.

Selain itu, rayap juga mampu bermigrasi dengan perantaran media tanah. Seperti kejadian di Jakarta Utara, pada tahun sekitar 1980an kawasan tersebut masih dikategorikan aman dari rayap. Namun, saat ini serangan rayap dilaporkan telah terjadi.

"Karena ada pembangunan, kawasan yang dulunya hutan, digali dan ditimbun tanah yang dikirim dari Bogor. Jadi ada perpindahan tanah dari Bogor menjadi migrasi rayap. Pembangunan juga membuat kadar garam di kawasan tersebut menjadi menurun," katanya.

Dodi menyebutkan, diduga kerugikan ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan rumah di Indonesia pada tahun 2015 ini bisa mencapai Rp8,7 triliun. Pada tahun sebelumnya, 1995 nilai kerugian sebesar Rp1,67 triliun. Di tahun 2000 meningkat menjadi Rp2,79 triliun dan tahun 2010 sebesar Rp5,17 triliun.

Menurut Dodi, selain pemetaan bahaya rayap, upaya lain yang dapat dilakukan mencegah serangan rayap adalah dengan teknologi pengawetan kayu secara alami. Saat ini IPB telah memiliki teknologi kayu terpadatkan anti rayap.

"Pemadatan kayu adalah salah satu teknik untuk meningkatkan kualitas kayu yang dilakukan dengan cara meningkatkan kepadatan kayu baik melalui proses impregnasi, pengempaan, atau kompregnasi," katanya.

Dodi menambahkan, kearifan lokal masyarakat Indonesia tempo dulu dengan membangun rumah panggung salah satu cara tercegah dari serangan rayap. Namun, di era saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan kayu yang telah diawetkan secara alamiah.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015