Bogor, 1/5 (ANTARA) - Pakar padi Institut Pertanian Bogor Dr Ir Sugiyanta, MSi mengemukakan bahwa salah satu ancaman terbesar kedaulatan pangan adalah konversi lahan sawah untuk kepentingan non-pertanian.
"Apalagi jika pertumbuhan penduduk bertambah, sementara lahan untuk pangan semakin berkurang, sehingga dibutuhkan langkah tepat untuk mengatasinya," katanya disela-sela simposium bertajuk "Mendukung
Kedaulatan Pangan dan Energi Yang Berkelanjutan" di IPB International Convention Center (IICC) Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan bersama Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB bekerja sama dengan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI), Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI), Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), dan Himpunan Ilmu Gulma Indonesia (HIPI), ia menjelaskan perlunya solusi bersama, terkait ancaman dimaksud.
"Karenanya, dibutuhkan pembukaan sawah-sawah baru di luar pulau Jawa karena adanya konversi-konversi lahan produktif pertanian, sehingga mengurangi produksi yang ada," katanya.
Selain itu, kata dia, juga dibutuhkan teknologi yang bisa memproduksi dalam jumlah tinggi produksi komoditas pertanian, khususnya padi sebagai makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia.
Menurut dia, peningkatan populasi penduduk menyebabkan peningkatan permintaan bahan pangan energi dan lahan.
Ia merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, yang menyebutkan dengan laju pertumbuhan penduduk berkisar 1,49 persen, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai angka 237.641,326 jiwa, dan akan terus bertambah pada tahun berikutnya.
Di sisi lain, penyediaan pangan akhir-akhir ini lebih besar dengan semakin besarnya laju konversi lahan pertanian tanaman pangan, degradasi sumber daya lahan, tidak terjadi peningkatan produktivitas
(leveling off), dan adanya dampak perubahan iklim global.
Ia mengatakan, mesti diakui Indonesia belum dapat mewujudkan kedaulatan pangan secara berkelanjutan.
"Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, dan merupakan prasyarat dari sebuah ketahanan pangan," kata Sugiyanta, yang juga Sekretaris Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Teknologi baru
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja produksi pangan, kata dia, adalah peningkatan produktivitas dengan teknologi baru.
Kemudian, perakitan varietas baru, perbaikan sarana dan prasarana produksi pertanian, menekan laju konversi lahan pangan, serta mencetak sawah baru.
Ia mengemukakan, pada masa mendatang, persaingan juga mungkin terjadi antara sektor pangan dengan sektor lain yang juga makin kritis, yakni energi.
"Upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan harus bersinergi dengan upaya pengembangan bio-energi," kata Sugiyanta, yang juga ketua simposium tersebut.
Hal itu, katanya, mesti dilakukan agar kebijakan yang terkait pengembangan bio-energi tidak mengancam produksi pangan.
Untuk itulah, kata dia, guna mengakomodasi dan mengkomunikasikan masalah krusial tersebut, di berbagai kalangan, maka PERAGI, PERHORTI, PERIPI dan HIGI melakukan simposium dan seminar bersama
hingga Rabu (2/5).
Karena itu, menurut dia, lebih kurang 300 orang dari kalangan akademisi, praktisi, maupun pengambil kebijakan dari Aceh hingga Papua berdiskusi untuk merumuskan langkah-langkah penelitian, kebijakan, maupun teknologi terapan guna mendukung kedaulatan pangan dan energi, dengan peningkatan produksi pertanian yang berkelanjutan.
Andi J
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2012
"Apalagi jika pertumbuhan penduduk bertambah, sementara lahan untuk pangan semakin berkurang, sehingga dibutuhkan langkah tepat untuk mengatasinya," katanya disela-sela simposium bertajuk "Mendukung
Kedaulatan Pangan dan Energi Yang Berkelanjutan" di IPB International Convention Center (IICC) Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa.
Dalam kegiatan yang diselenggarakan bersama Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB bekerja sama dengan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI), Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI), Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI), dan Himpunan Ilmu Gulma Indonesia (HIPI), ia menjelaskan perlunya solusi bersama, terkait ancaman dimaksud.
"Karenanya, dibutuhkan pembukaan sawah-sawah baru di luar pulau Jawa karena adanya konversi-konversi lahan produktif pertanian, sehingga mengurangi produksi yang ada," katanya.
Selain itu, kata dia, juga dibutuhkan teknologi yang bisa memproduksi dalam jumlah tinggi produksi komoditas pertanian, khususnya padi sebagai makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia.
Menurut dia, peningkatan populasi penduduk menyebabkan peningkatan permintaan bahan pangan energi dan lahan.
Ia merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, yang menyebutkan dengan laju pertumbuhan penduduk berkisar 1,49 persen, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai angka 237.641,326 jiwa, dan akan terus bertambah pada tahun berikutnya.
Di sisi lain, penyediaan pangan akhir-akhir ini lebih besar dengan semakin besarnya laju konversi lahan pertanian tanaman pangan, degradasi sumber daya lahan, tidak terjadi peningkatan produktivitas
(leveling off), dan adanya dampak perubahan iklim global.
Ia mengatakan, mesti diakui Indonesia belum dapat mewujudkan kedaulatan pangan secara berkelanjutan.
"Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, dan merupakan prasyarat dari sebuah ketahanan pangan," kata Sugiyanta, yang juga Sekretaris Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Teknologi baru
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja produksi pangan, kata dia, adalah peningkatan produktivitas dengan teknologi baru.
Kemudian, perakitan varietas baru, perbaikan sarana dan prasarana produksi pertanian, menekan laju konversi lahan pangan, serta mencetak sawah baru.
Ia mengemukakan, pada masa mendatang, persaingan juga mungkin terjadi antara sektor pangan dengan sektor lain yang juga makin kritis, yakni energi.
"Upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan harus bersinergi dengan upaya pengembangan bio-energi," kata Sugiyanta, yang juga ketua simposium tersebut.
Hal itu, katanya, mesti dilakukan agar kebijakan yang terkait pengembangan bio-energi tidak mengancam produksi pangan.
Untuk itulah, kata dia, guna mengakomodasi dan mengkomunikasikan masalah krusial tersebut, di berbagai kalangan, maka PERAGI, PERHORTI, PERIPI dan HIGI melakukan simposium dan seminar bersama
hingga Rabu (2/5).
Karena itu, menurut dia, lebih kurang 300 orang dari kalangan akademisi, praktisi, maupun pengambil kebijakan dari Aceh hingga Papua berdiskusi untuk merumuskan langkah-langkah penelitian, kebijakan, maupun teknologi terapan guna mendukung kedaulatan pangan dan energi, dengan peningkatan produksi pertanian yang berkelanjutan.
Andi J
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2012