Pegiat antikorupsi Sudirman Said menganggap rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengalokasikan anggaran pertahanan senilai Rp1.700 triliun untuk penguatan penguatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) harus transparan dan penuh kehati-hatian.

"Sangat wajar bila para pemerhati manajemen pertahanan memberi perhatian dan terus memantau kelanjutan dari rencana tersebut. Semua pasti sepakat bahwa tentara kita harus diperkuat, tetapi tetap harus melalui kajian dan prosedur pengadaan yang hati-hati," kata Sudirman dalam keterangannya, Selasa (1/6).

Mantan Direktur Utama PT Pindad itu menilai rencana Kementerian Pertahanan tersebut pasti akan mendapat perhatian publik karena nilainya luar biasa besar. Dia juga berpendapat rancangan proses pengadaannya tergolong tidak konvensional lantaran uang sebesar itu belanjanya direncanakan sampai 2024.

"Menarik untuk dikaji, bagaimana mungkin proses pengadaan berbasis rencana strategis 2020-2045 kok ditarik ke depan, seperti dipercepat harus selesai dalam empat tahun, menjadi 2024," ujarnya.

Sudirman menyatakan upaya memperkuat alutsista memang harus dilakukan terlebih setelah kejadian KRI Nanggala 402. Sebenarnya, imbuhnya, upaya penguatan alutsista terus-menerus dilakukan pada setiap periode pemerintahan. Namun, persoalan klasik yang sampai hari ini belum terpecahkan ialah keterbatasan anggaran dibandingkan kebutuhan yang ada. Untuk memenuhi kebutuhan minimal yang pokok saja (Minimum Essential Force/MEF), kata dia, Kementerian Pertahanan masih kesulitan.

"Tentu musibah KRI Nanggala 402 memberi dorongan semangat untuk me-review keadaan alutsista kita. Yang tidak boleh adalah berbelanja secara besar-besaran, dalam waktu sesingkat-singkatnya, apalagi bila dananya utang. Belanja besar dalam waktu singkat akan memberi peluang berkurangnya prudent practice dalam manajemen pengadaan," ucap Ketua Institut Harkat Negeri itu.

Sudirman meyampaikan anggaran sebesar itu harus mendapat pengawasan yang ekstra ketat. Pasalnya, pengadaan alutsista berbeda dengan jenis pengadaan lain. Alutsista tidak memiliki patokan harga pasar yang bisa diawasi publik.

"Harga senjata dan alat-alat untuk pertahanan tidak seperti harga beras atau gula untuk bansos. Beras dan gula ada patokan harga pasar yang bisa dilihat oleh publik. Sementara harga alutsista tidak ada patokan dan spesifikasinya tidak dipahami masyarakat luas," ucapnya.

"Kalau beras dan gula bansos yang harga dan kualitasnya dimengerti publik saja dikorupsi, bagaimana dengan alat-alat pertahanan. Apalagi sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada akses memeriksa pengadaan alutsista," imbuhnya.

Menurut Sudirman, setiap ada uang dan kekuasaan maka risiko terjadinya penyimpangan dan korupsi selalu terbuka. Karena itu, rencana pengadaan besar-besaran itu harus diawasi dengan ketat dan terkontrol.

Terkait kabar yang menyebutkan rencana anggaran Rp1.700 triliun itu bersumber dari utang, Sudirman berpendapat tidak ada salahnya dengan berutang. Hanya saja, landasannya harus dipertimbangkan secara matang-matang dan penggunaanya juga dilakukan secara hati-hati (prudent).

"Yang berbahaya adalah utang untuk memenuhi agenda politik saat ini dengan mengorbankan generasi mendatang, atau membebani pemerintah periode mendatang. Dengan demikian setiap langkah menambah utang harus melalu pertimbangan yang matang," ucapnya.

Ia menyarankan agar rencana pengadaan sebesar itu dikelola secara berkesinambungan dan tak mesti dikaitkan dengan periode pemerintahan seolah-olah harus selesai di 2024. Mengenai rumor rencana pengadaan itu dikait-kaitkan dengan kepentingan Pemilu di 2024 mengingat Menteri Pertahanan dijabat Prabowo Subianto, Sudirman enggan berspekulasi. Yang jelas, dia meminta semua pihak sungguh-sungguh dalam memperkuat pertahanan negara tetapi penggunaannya harus transparan.

"Sebaiknya jangan semua urusan dikaitkan dengan kalender Pemilu. Terlebih urusan pertahanan negara yang menjadi kepentingan semua pihak. Siapa pun yang memerintah, partai apapun yang berkuasa, wajib membangun pertahanan negara sebaik-baiknya," katanya.

Pewarta: Dedi

Editor : M Fikri Setiawan


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021