Jakarta, 26/4 (ANTARA) - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Karya Justitia Indonesia (GKJI) Dr J Budi Hariyanto menyatakan, bantuan hukum kepada masyarakat harus bisa menjadi gerakan nasional.
"Artinya, dengan adanya lembaga bantuan hukum (LBH) yang banyak, maka masyarakat yang belum bisa mengakses bantuan bisa mendapatkannya jika berurusan dengan masalah hukum," katanya di Jakarta, Kamis.
Di sela-sela sarasehan nasional bertema "Pemberdayaan Perempuan, Kesehatan dan Kesejahteraaan Rakyat Untuk Pembangunan Indonesia Berkeadilan" di gedung "Jakarta Media Center", ia menjelaskan organisasi massa yang dipimpinnya itu juga punya kepedulian, yang diwujudkan dengan salah satu organisasi otonom berbentuk LBH.
Menjawab pertanyaan mengenai kontribusi negara dan pemerintah atas alokasi dana bantuan hukum kepada masyarakat, Budi Hariyanto menilai sebenarnya sudah ada alokasinya.
Hanya saja, kata doktor bidang hukum lulusan Universitas Padjajaran (Unpad) itu, kemungkinan alokasi anggarannya belum sesuai harapan.
Dengan kondisi semacam itu, kata dia, maka mau tidak mau, dalam masalah bantuan hukum kepada masyarakat tersebut disebutnya tidak bisa disandarkan sepenuhnya kepada pemerintah.
"Untuk itulah, dibutuhkan LBH-LBH lebih banyak, dan GKJI sedikit banyak berkontribusi untuk itu," katanya.
Ia memberi contoh, LBH GKJI telah beberapa kali melakukan pendampingan dan advokasi, seperti pada kasus antara dokter dan sebuah rumah sakit di Tangerang, hingga di pengadilan.
Diakuinya, para "lawyer" (penasihat hukum) di LBH, dengan sifatnya yang bekerja sukarela dan berifat pengabdian, ada kendala yang dihadapi.
Kadang-kadang, kata dia, penasihat hukum juga punya kesibukan, termasuk di antaranya juga mesti menafkahi keluarganya.
Namun, ia yakin dengan kian banyaknya LBH dari berbagai organisasi, lembaga, LSM dan lainnya, upaya menjadikan bantuan hukum masyarakat sebagai gerakan nasional bisa dilakukan.
Terkait dengan dana bantuan hukum itu, pengacara senior Adnan Buyung Nasution, saat masih menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), ketika berbicara pada "International Conference on Access to Justice and The Role of Bar Associations and Law Societies in Asia", di Kuala Lumpur, Malaysia akhir Oktober 2010 mengatakan, dana bantuan hukum di pengadilan kebanyakan dikorupsi petugas pengadilan dan pengacara.
Untuk mencegahnya, kata dia, dana itu sebaiknya diserahkan melalui LBH independen.
"Ada kongkalikong (kerja sama) antara pengadilan dan beberapa pengacara orang miskin. Jika dananya Rp100 ribu per kedatangan ke persidangan, realisasinya hanya 50 persen. Sisanya diambil petugas pengadilan," katanya.
Menurut dia, pola bantuan pemerintah dari dulu hingga saat ini tidak pernah berubah walaupun sudah seringkali dikritik bahwa banyak korupsi dalam penyaluran dana bantuan hukum bagi rakyat miskin.
Menteri Hukum dan HAM, kata pengacara senior itu, seperti kurang peduli terhadap peran dan pentingnya lembaga atau organisasi bantuan hukum dalam suatu negara demokrasi.
Buyung menyarankan, dana bantuan hukum dari pemerintah disalurkan langsung kepada lembaga atau organisasi bantuan hukum.
"Kini hampir setiap fakultas hukum ada pelayanan bantuan hukum. Mengapa pemerintah tidak mendirikan konsorsium bantuan hukum fakultas hukum di seluruh universitas kemudian menyalurkan dana bantuan hukum ke sana," katanya.
Sedangkan mantan Ketua Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen, ketika mengomentari terjadinya kriris keuangan yang pernah melanda LBH Jakarta menyatakan, seharusnya persoalan semacam itu tidak muncul jika DPR segera mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Bantuan Hukum yang mengatur negara wajib mendanai pembelaan hukum terhadap masyarakat.
Ia mengemukakan bahwa krisis keuangan tidak hanya melanda LBH Jakarta, tapi juga kantor LBH lainnya di daerah.
Menurut dia, RUU itu belum disahkan DPR, padahal jika sudah, dapat menjadi salah satu solusi bagaimana pendanaan kantor-kantor LBH untuk membela rakyat miskin yang kena masalah hukum.
Bila saja sudah ada UU Bantuan Hukum, kantor LBH di Indonesia tidak perlu mencari sumbangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2012