Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko mengatakan penggunaan vaksin termasuk vaksin COVID-19 jika sudah ada tetap dipantau setelah diberikan ke masyarakat untuk menjamin keamanan vaksin tersebut.
"Kalaupun sudah ada vaksin diimplementasikan, harus dipantau untuk jangka 5-10 tahun untuk melihat keamanannya. Banyak sekali vaksin yang akhirnya pada periode tersebut dicabut karena baru ketahuan bermasalah. Jadi kita semua harus terus bekerja dan mencoba berbagai formula," kata Handoko saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Bima Arya usulkan tiga hal sebelum pemberian vaksin COVID-19
Handoko menuturkan kegiatan pemantauan itu disebut surveilans pascapemasaran (post marketing surveillance) yang merupakan praktik pemantauan keamanan vaksin.
Handoko memberikan contoh bahwa vaksin malaria yang sempat diimplementasikan di Filipina beberapa tahun lalu, akhirnya dicabut karena pada aspek keamanan, ditemukan ada masalah yakni efek sampingan yang cukup signifikan.
Ia mengatakan surveilans pascapemasaran adalah kewajiban pengembang vaksin dan industri farmasi yang memproduksi. Tetapi, semua data harus dilaporkan secara berkala ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk dipantau.
Baca juga: WHO sebutkan vaksin dapat mengendalikan COVID-19 pada 2021
Oleh karena itu, bukan hanya pada saat riset dan pengembangan vaksin hingga melewati uji klinis, vaksin dipastikan manjur, aman dan berkualitas, tetapi juga, setelah vaksin mendapatkan izin edar dari BPOM dan digunakan masyarakat, tetap ada pemantauan untuk menjaga keamanan vaksin.
Handoko menuturkan hingga saat ini belum ada satupun vaksin COVID-19 di dunia yang dinyatakan berhasil dan mendapat otorisasi penggunaan darurat (emergency use authorization).
Oleh karena itu, pengembangan vaksin Merah Putih secara mandiri juga penting untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan investasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang riset, pengembangan dan produksi vaksin.
Baca juga: Asa mengakhiri pandemi dari vaksin-vaksin berbagai negara di dunia
Saat ini, ada enam institusi di Indonesia yang mengembangkan vaksin Merah Putih untuk mencegah COVID-19 yakni LIPI, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan masing-masing platform yang berbeda.
Handoko menuturkan pengembangan dengan berbagai platform tersebut penting karena semua belum tahu mana yang akan berhasil, baik dari sisi efikasi (manjur mendorong munculnya antibodi) dan aman (efek samping minimal).
"Karena sampai saat ini belum ada satupun yang dinyatakan berhasil dan mendapat EUA (emergency use authorization). Pokoknya mana yang siap dulu saja," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
"Kalaupun sudah ada vaksin diimplementasikan, harus dipantau untuk jangka 5-10 tahun untuk melihat keamanannya. Banyak sekali vaksin yang akhirnya pada periode tersebut dicabut karena baru ketahuan bermasalah. Jadi kita semua harus terus bekerja dan mencoba berbagai formula," kata Handoko saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Bima Arya usulkan tiga hal sebelum pemberian vaksin COVID-19
Handoko menuturkan kegiatan pemantauan itu disebut surveilans pascapemasaran (post marketing surveillance) yang merupakan praktik pemantauan keamanan vaksin.
Handoko memberikan contoh bahwa vaksin malaria yang sempat diimplementasikan di Filipina beberapa tahun lalu, akhirnya dicabut karena pada aspek keamanan, ditemukan ada masalah yakni efek sampingan yang cukup signifikan.
Ia mengatakan surveilans pascapemasaran adalah kewajiban pengembang vaksin dan industri farmasi yang memproduksi. Tetapi, semua data harus dilaporkan secara berkala ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk dipantau.
Baca juga: WHO sebutkan vaksin dapat mengendalikan COVID-19 pada 2021
Oleh karena itu, bukan hanya pada saat riset dan pengembangan vaksin hingga melewati uji klinis, vaksin dipastikan manjur, aman dan berkualitas, tetapi juga, setelah vaksin mendapatkan izin edar dari BPOM dan digunakan masyarakat, tetap ada pemantauan untuk menjaga keamanan vaksin.
Handoko menuturkan hingga saat ini belum ada satupun vaksin COVID-19 di dunia yang dinyatakan berhasil dan mendapat otorisasi penggunaan darurat (emergency use authorization).
Oleh karena itu, pengembangan vaksin Merah Putih secara mandiri juga penting untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan investasi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang riset, pengembangan dan produksi vaksin.
Baca juga: Asa mengakhiri pandemi dari vaksin-vaksin berbagai negara di dunia
Saat ini, ada enam institusi di Indonesia yang mengembangkan vaksin Merah Putih untuk mencegah COVID-19 yakni LIPI, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan masing-masing platform yang berbeda.
Handoko menuturkan pengembangan dengan berbagai platform tersebut penting karena semua belum tahu mana yang akan berhasil, baik dari sisi efikasi (manjur mendorong munculnya antibodi) dan aman (efek samping minimal).
"Karena sampai saat ini belum ada satupun yang dinyatakan berhasil dan mendapat EUA (emergency use authorization). Pokoknya mana yang siap dulu saja," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020