Kalau saja tidak ada pandemi COVID-19, sepuluh pemuda berbakat dari Indonesia sudah bisa menerapkan ilmu pengetahuannya di bidang ekonomi digital di Tanah Air dengan gamblang dan praktis.
Pandemi telah membuyarkan rencana sepuluh pemuda yang masing-masing telah merintis perusahaan (start up) di Indonesia untuk belajar secara langsung di sejumlah perusahaan digital di China.
Kegiatan yang rencananya digelar pada awal 2020 itu merupakan bagian dari rangkaian peringatan 70 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-China.
Namun, hal itu bukan berarti kegiatan yang tentu sangat diharapkan oleh para pemuda itu untuk membuat program-program ekonomi digital di Indonesia menjadi terhenti.
Apalagi, pada 12 Juni lalu, Pehimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan China mencanangkan Tahun Kerja Sama Ekonomi Digital 2020. Dengan demikian, kerja sama di bidang ekonomi digital yang saling menguntungkan kedua belah pihak harus ditingkatkan lagi.
Selain itu, China saat ini sudah menjadi pemimpin di bidang jaringan teknologi telekomunikasi generasi kelima (5G) sehingga sangat mendukung perkembangan ekonomi digital.
Apalah arti sebuah ekonomi digital tanpa dukungan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memadai dan sesuai kebutuhan zaman.
Walaupun demikian, keunggulan China dalam mengembangkan teknologi berbasis 5G akan sia-sia belaka tanpa dukungan global.
Ingat, gara-gara 5G itu pulalah China berseteru dengan Kanada dan Amerika Serikat. Perseteruan China terkait jaringan 5G itu juga makin meluas hingga ke Eropa.
Perselisihan China dengan Kanada, AS, dan beberapa negara anggota Uni Eropa menjadikan hubungan dagang antarnegara terpuruk, bahkan terburuk, dalam beberapa tahun terakhir.
Untuk itu, satu-satunya cara bagi China adalah memperbaiki --kalau memang tidak bisa meningkatkan-- hubungan dengan ASEAN.
Terminologi "memperbaiki" lebih penting daripada "meningkatkan", apalagi kalau hanya sekadar basa-basi di meja diplomasi.
Kenapa memperbaiki hubungan lebih penting? Jawabnya, karena China masih punya masalah dengan beberapa negara anggota ASEAN terkait klaim tumpang tindih di wilayah perairan Laut China Selatan.
Tentu China sangat paham tentang pentingnya memperbaiki hubungan dengan ASEAN. Apalagi, China juga harus berupaya mengimbangi pengaruh Amerika Serikat nantinya di kawasan ASEAN saat AS berada di bawah pemerintahan Presiden terpilih Joe Biden.
Baca juga: Di bawah pemerintahan Biden, Fang berharap hubungan China-AS lebih baik
Mitra Terpenting
Perseteruan China dengan AS dan Uni Eropa yang tidak ada tanda-tanda segera berakhir setidaknya telah memberikan dampak positif bagi ASEAN.
Perlahan tapi pasti, pada semester pertama 2019, ASEAN telah menggeser AS dari peringkat kedua mitra dagang terbesar China dengan nilai 2 triliun yuan atau 13,5 persen dari total nilai perdagangan internasional China.
Lalu pada awal 2020, giliran Uni Eropa yang posisinya di peringkat pertama digeser oleh ASEAN karena pada Januari-Mei saja nilai perdagangan ASEAN-China sudah mencapai 1,7 triliun yuan.
Ada potensi lain yang dimiliki ASEAN dan tentu saja tidak akan disia-siakan oleh China, terutama dalam mengembangkan sayap teknologi 5G di kawasan itu.
"Ekonomi digital ASEAN akan meningkat dari 1,3 persen total PDB (produk domestik bruto) pada 2015 menjadi 8,5 persen PDB 2025," kata Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi belum lama ini.
Ia melihat China berada di garis depan pengembangan infrastruktur digital sehingga menjadi mitra penting ASEAN dalam meningkatkan pembangunan ekonomi digital di kawasan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin ekonomi digital di ASEAN?
Baca juga: China akhirnya mengucapkan selamat kepada Biden-Kamala
Klaim tersebut memang tidaklah berlebihan, mengingat di Indonesia ada empat perusahaan berskala "Unicorn", yakni Gojek, Bukalapak, Tokopedia, dan Traveloka.
Akan tetapi, empat perusahaan yang masing-masing memiliki valuasi di atas 1 miliar dolar AS itu domisilinya di Jakarta.
Padahal secara geografis, wilayah Indonesia sangat luas dan butuh pemerataan ekonomi agar tidak terpusat di Jakarta saja.
Bila dibandingkan dengan China, negara itu telah berhasil menjadikan Hangzhou sebagai pusat ekonomi digital. Tingkat pembangunan di Ibu Kota Provinsi Zhejiang itu kini boleh dibilang setara dengan Shanghai sebagai pusat keuangan, Guangzhou (pusat perdagangan), Shenzhen (pusat TIK), dan Beijing (pusat pemerintahan).
Sepatutnya, Indonesia perlu menjadikan Hangzhou sebagai model pembangunan pusat ekonomi digital di kota-kota lain di luar Jakarta dan sekitarnya.
Apalagi, Presiden Joko Widodo sendiri sudah pernah melihat langsung perkembangan Kota Hangzhou saat menghadiri KTT G20 pada 2016, dan saat itu Jokowi juga berkesempatan merasakan sensasi teknologi kereta cepat dalam perjalanan menuju Shanghai.
Hangzhou bukan satu-satunya pusat ekonomi digital di China. Masih ada lagi kota-kota lain, termasuk Fuzhou, Xiamen, bahkan Beijing dengan zona khususnya di Distrik Haidian.
Dengan makin banyaknya kawasan-kawasan ekonomi digital, maka manfaatnya sudah bisa dirasakan oleh masyarakat China. Para pelaku usaha di bidang ekonomi digital juga semakin bertambah.
Sayangnya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki program pembangunan kawasan ekonomi digital untuk masa mendatang. Padahal, talenta-talenta sudah tersebar di mana-mana. Hal itu tercermin dengan semakin banyaknya start-up di berbagai daerah, belum lagi banyaknya vlogger, Youtuber, dan lainnya yang juga mengais rezeki dari gawai digital mereka.
Belum lama ini China meluncurkan program Digital Maritime Silk Road. Program itu menjadi kunci perubahan ekonomi digital di kawasan.
Dalam program tersebut, Indonesia menawarkan konektivitas internet di kawasan perdesaan, peningkatan kapasitas jaringan internet, membangun sistem navigasi berbasis internet, mendorong kolaborasi pelaku e-dagang dan usaha tradisional, berbagai pengetahuan di bidang teknologi kecerdasan tiruan (AI), data besar (big data), dan riset tingkah laku konsumen ekonomi digital.
Namun, usulan tersebut juga harus didukung sektor pendidikan sehingga nantinya makin banyak pelajar Indonesia yang menimba pengalaman di China.
China sendiri menganggap Indonesia sebagai mitra terpentingnya di kawasan ASEAN sehingga kedua negara bersepakat menjalin hubungan kerja sama strategis dan komperehensif sejak 2013.
"Melalui kerja sama dengan China, Indonesia akan mampu memaksimalkan pertumbuhan ekonomi digital hingga 100 miliar dolar AS pada tahun 2025," kata Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun dengan optimistis.
Gayung pun bersambut. Travis Liu selaku CEO MagicWe Technologies yang bergerak di bidang pemasaran digital dan e-dagang kreatif melihat peluang besar di pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia.
Indonesia sebagai satu-satunya negara di kawasan ini yang tergabung dalam G20 memiliki pertumbuhan PDB yang stabil bahkan cenderung meningkat selama beberapa tahun ini terakhir.
Hal itu yang membuat dia dan para pengusaha dari China sangat tertarik berinvestasi di Indonesia.
Taiho, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi mekanik dan AI menawarkan kerja sama di bidang pembersihan dan penyortiran barang tambang.
Lalu ada juga The Passage yang ingin menjalin kerja sama di bidang penelitian teknologi di Indonesia, dan ada Lena yang ingin berinvestasi di Indonesia di bidang peralatan kecantikan.
Mihoteco yang bergerak di bidang lampu dan pengolahan limbah tertarik untuk membuka usaha di Indonesia dan berinvestasi di bidang pengolahan limbah plastik campuran menjadi plastik woven.
Para pengusaha tersebut awalnya merencanakan kunjungan ke Indonesia pada awal tahun 2020. Namun ditunda hingga situasi pandemi global agak mereda.
Jauh sebelum perusahaan-perusahaan tersebut menunjukkan minatnya, raksasa e-dagang Alibaba Group sudah berperan cukup signifikan dalam membina para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia sehingga kelak mereka bisa menerapkan pola pemasaran dan penjualan secara digital.
Kalau Alibaba bisa menjadikan Hangzhou sebagai pusat ekonomi digital di China, mungkin saja nanti ada perusahaan asal Indonesia yang menyulap kota-kota lain di luar Jakarta menjadi pusat ekonomi digital.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Pandemi telah membuyarkan rencana sepuluh pemuda yang masing-masing telah merintis perusahaan (start up) di Indonesia untuk belajar secara langsung di sejumlah perusahaan digital di China.
Kegiatan yang rencananya digelar pada awal 2020 itu merupakan bagian dari rangkaian peringatan 70 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-China.
Namun, hal itu bukan berarti kegiatan yang tentu sangat diharapkan oleh para pemuda itu untuk membuat program-program ekonomi digital di Indonesia menjadi terhenti.
Apalagi, pada 12 Juni lalu, Pehimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan China mencanangkan Tahun Kerja Sama Ekonomi Digital 2020. Dengan demikian, kerja sama di bidang ekonomi digital yang saling menguntungkan kedua belah pihak harus ditingkatkan lagi.
Selain itu, China saat ini sudah menjadi pemimpin di bidang jaringan teknologi telekomunikasi generasi kelima (5G) sehingga sangat mendukung perkembangan ekonomi digital.
Apalah arti sebuah ekonomi digital tanpa dukungan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memadai dan sesuai kebutuhan zaman.
Walaupun demikian, keunggulan China dalam mengembangkan teknologi berbasis 5G akan sia-sia belaka tanpa dukungan global.
Ingat, gara-gara 5G itu pulalah China berseteru dengan Kanada dan Amerika Serikat. Perseteruan China terkait jaringan 5G itu juga makin meluas hingga ke Eropa.
Perselisihan China dengan Kanada, AS, dan beberapa negara anggota Uni Eropa menjadikan hubungan dagang antarnegara terpuruk, bahkan terburuk, dalam beberapa tahun terakhir.
Untuk itu, satu-satunya cara bagi China adalah memperbaiki --kalau memang tidak bisa meningkatkan-- hubungan dengan ASEAN.
Terminologi "memperbaiki" lebih penting daripada "meningkatkan", apalagi kalau hanya sekadar basa-basi di meja diplomasi.
Kenapa memperbaiki hubungan lebih penting? Jawabnya, karena China masih punya masalah dengan beberapa negara anggota ASEAN terkait klaim tumpang tindih di wilayah perairan Laut China Selatan.
Tentu China sangat paham tentang pentingnya memperbaiki hubungan dengan ASEAN. Apalagi, China juga harus berupaya mengimbangi pengaruh Amerika Serikat nantinya di kawasan ASEAN saat AS berada di bawah pemerintahan Presiden terpilih Joe Biden.
Baca juga: Di bawah pemerintahan Biden, Fang berharap hubungan China-AS lebih baik
Mitra Terpenting
Perseteruan China dengan AS dan Uni Eropa yang tidak ada tanda-tanda segera berakhir setidaknya telah memberikan dampak positif bagi ASEAN.
Perlahan tapi pasti, pada semester pertama 2019, ASEAN telah menggeser AS dari peringkat kedua mitra dagang terbesar China dengan nilai 2 triliun yuan atau 13,5 persen dari total nilai perdagangan internasional China.
Lalu pada awal 2020, giliran Uni Eropa yang posisinya di peringkat pertama digeser oleh ASEAN karena pada Januari-Mei saja nilai perdagangan ASEAN-China sudah mencapai 1,7 triliun yuan.
Ada potensi lain yang dimiliki ASEAN dan tentu saja tidak akan disia-siakan oleh China, terutama dalam mengembangkan sayap teknologi 5G di kawasan itu.
"Ekonomi digital ASEAN akan meningkat dari 1,3 persen total PDB (produk domestik bruto) pada 2015 menjadi 8,5 persen PDB 2025," kata Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi belum lama ini.
Ia melihat China berada di garis depan pengembangan infrastruktur digital sehingga menjadi mitra penting ASEAN dalam meningkatkan pembangunan ekonomi digital di kawasan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin ekonomi digital di ASEAN?
Baca juga: China akhirnya mengucapkan selamat kepada Biden-Kamala
Klaim tersebut memang tidaklah berlebihan, mengingat di Indonesia ada empat perusahaan berskala "Unicorn", yakni Gojek, Bukalapak, Tokopedia, dan Traveloka.
Akan tetapi, empat perusahaan yang masing-masing memiliki valuasi di atas 1 miliar dolar AS itu domisilinya di Jakarta.
Padahal secara geografis, wilayah Indonesia sangat luas dan butuh pemerataan ekonomi agar tidak terpusat di Jakarta saja.
Bila dibandingkan dengan China, negara itu telah berhasil menjadikan Hangzhou sebagai pusat ekonomi digital. Tingkat pembangunan di Ibu Kota Provinsi Zhejiang itu kini boleh dibilang setara dengan Shanghai sebagai pusat keuangan, Guangzhou (pusat perdagangan), Shenzhen (pusat TIK), dan Beijing (pusat pemerintahan).
Sepatutnya, Indonesia perlu menjadikan Hangzhou sebagai model pembangunan pusat ekonomi digital di kota-kota lain di luar Jakarta dan sekitarnya.
Apalagi, Presiden Joko Widodo sendiri sudah pernah melihat langsung perkembangan Kota Hangzhou saat menghadiri KTT G20 pada 2016, dan saat itu Jokowi juga berkesempatan merasakan sensasi teknologi kereta cepat dalam perjalanan menuju Shanghai.
Hangzhou bukan satu-satunya pusat ekonomi digital di China. Masih ada lagi kota-kota lain, termasuk Fuzhou, Xiamen, bahkan Beijing dengan zona khususnya di Distrik Haidian.
Dengan makin banyaknya kawasan-kawasan ekonomi digital, maka manfaatnya sudah bisa dirasakan oleh masyarakat China. Para pelaku usaha di bidang ekonomi digital juga semakin bertambah.
Sayangnya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki program pembangunan kawasan ekonomi digital untuk masa mendatang. Padahal, talenta-talenta sudah tersebar di mana-mana. Hal itu tercermin dengan semakin banyaknya start-up di berbagai daerah, belum lagi banyaknya vlogger, Youtuber, dan lainnya yang juga mengais rezeki dari gawai digital mereka.
Belum lama ini China meluncurkan program Digital Maritime Silk Road. Program itu menjadi kunci perubahan ekonomi digital di kawasan.
Dalam program tersebut, Indonesia menawarkan konektivitas internet di kawasan perdesaan, peningkatan kapasitas jaringan internet, membangun sistem navigasi berbasis internet, mendorong kolaborasi pelaku e-dagang dan usaha tradisional, berbagai pengetahuan di bidang teknologi kecerdasan tiruan (AI), data besar (big data), dan riset tingkah laku konsumen ekonomi digital.
Namun, usulan tersebut juga harus didukung sektor pendidikan sehingga nantinya makin banyak pelajar Indonesia yang menimba pengalaman di China.
China sendiri menganggap Indonesia sebagai mitra terpentingnya di kawasan ASEAN sehingga kedua negara bersepakat menjalin hubungan kerja sama strategis dan komperehensif sejak 2013.
"Melalui kerja sama dengan China, Indonesia akan mampu memaksimalkan pertumbuhan ekonomi digital hingga 100 miliar dolar AS pada tahun 2025," kata Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun dengan optimistis.
Gayung pun bersambut. Travis Liu selaku CEO MagicWe Technologies yang bergerak di bidang pemasaran digital dan e-dagang kreatif melihat peluang besar di pasar Asia Tenggara, terutama Indonesia.
Indonesia sebagai satu-satunya negara di kawasan ini yang tergabung dalam G20 memiliki pertumbuhan PDB yang stabil bahkan cenderung meningkat selama beberapa tahun ini terakhir.
Hal itu yang membuat dia dan para pengusaha dari China sangat tertarik berinvestasi di Indonesia.
Taiho, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi mekanik dan AI menawarkan kerja sama di bidang pembersihan dan penyortiran barang tambang.
Lalu ada juga The Passage yang ingin menjalin kerja sama di bidang penelitian teknologi di Indonesia, dan ada Lena yang ingin berinvestasi di Indonesia di bidang peralatan kecantikan.
Mihoteco yang bergerak di bidang lampu dan pengolahan limbah tertarik untuk membuka usaha di Indonesia dan berinvestasi di bidang pengolahan limbah plastik campuran menjadi plastik woven.
Para pengusaha tersebut awalnya merencanakan kunjungan ke Indonesia pada awal tahun 2020. Namun ditunda hingga situasi pandemi global agak mereda.
Jauh sebelum perusahaan-perusahaan tersebut menunjukkan minatnya, raksasa e-dagang Alibaba Group sudah berperan cukup signifikan dalam membina para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia sehingga kelak mereka bisa menerapkan pola pemasaran dan penjualan secara digital.
Kalau Alibaba bisa menjadikan Hangzhou sebagai pusat ekonomi digital di China, mungkin saja nanti ada perusahaan asal Indonesia yang menyulap kota-kota lain di luar Jakarta menjadi pusat ekonomi digital.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020