Amerika Serikat dan China menangani penyebaran pandemi virus corona yang menghancurkan dengan cara yang sangat berbeda, dan perbedaan itu membentuk ulang persaingan global antara dua ekonomi terkemuka dunia itu.
Sekitar 11 bulan setelah wabah virus corona muncul di Wuhan, angka PDB resmi China pekan ini tidak hanya menunjukkan bahwa ekonomi sedang tumbuh naik 4,9 persen untuk kuartal ketiga dari tahun sebelumnya, tetapi China juga cukup percaya diri bahwa virus itu telah berhasil ditaklukkan sehingga warga berbelanja, makan dan menghabiskan waktu dengan penuh semangat.
Jumlah kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan di China di bawah 5.000 dan kasus infeksi baru terbilang sedikit. Hal itu merupakan hasil dari penguncian (lockdown) yang ketat, pelaksanaan jutaan tes, dan pelacakan kontak yang ketat yang mengatur tahap untuk pemulihan ekonomi.
"Keberhasilan China dalam menahan penyebaran virus telah memungkinkan ekonominya pulih lebih cepat, dan dengan dukungan kebijakan yang relatif lebih sedikit, dibandingkan dengan ekonomi besar lainnya," kata mantan pejabat senior Departemen Keuangan Amerika Serikat Stephanie Segal,
Segal merupakan seorang peneliti senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di AS.
Di Amerika Serikat, 221.000 orang meninggal karena COVID-19 akibat tanggapan lamban pemerintah federal terhadap pandemi, pertempuran partisan atas penggunaan masker dan langkah penguncian.
Selain itu, banyak acara publik di AS yang tidak mengikuti pedoman kesehatan masyarakat. Negari Paman Sam itu berada di tengah gelombang baru wabah infeksi corona.
Tempat hiburan, restoran, dan tempat wisata ditutup atau hanya buka sebagian, jutaan orang kehilangan pekerjaan tanpa batas waktu, PDB AS diperkirakan menyusut pada kuartal ini dan Amerika Serikat menghadapi kesenjangan dalam hasil ekonomi yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun.
"Jelas sekali pemerintah AS melakukan kesalahan," kata Harry Broadman, mantan pejabat senior perdagangan AS dan direktur pelaksana Berkeley Research Group.
Sementara, lanjut Broadman, otoritas tunggal Partai Komunis China membantu Beijing menegakkan langkah pelacakan kontak dan penguncian.
Negara demokrasi lain, termasuk Selandia Baru dan Korea Selatan, memberantas virus corona dengan cara seperti yang dilakukan China.
"Perbedaan nyata antara Amerika Serikat dan China adalah Washington telah memperdebatkan masalah dana stimulus di Capitol Hill dan itu masih terlalu sedikit dan terlambat. Hal itu telah menciptakan semakin banyak ketidakpastian di kalangan bisnis," kata Broadman, yang pernah menjabat di bawah pemerintahan presiden dari Partai Republik dan Demokrat.
Menjelang pemilihan presiden AS pada 3 November, Presiden Donald Trump menyalahkan China atas penyebaran virus corona baru dan menegaskan pemerintahannya telah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menahan penyebaran virus itu.
Saat ditanya apakah dia akan melakukan langkah yang berbeda dalam menangani pandemi, Trump berkata, "Tidak, tidak banyak perbedaan."
Jawaban itu diberikan Trump dalam wawancara di balai kota yang disiarkan di Sinclair Broadcast Group pada Rabu.
Juru bicara Gedung Putih Brian Morgenstern pada Rabu mengatakan bahwa China tidak secara akurat melaporkan apa pun, "apalagi data mengenai infeksi virus corona dan pertumbuhan ekonominya."
Morgenstern mengatakan Trump sedang membangun kembali ekonomi yang kuat dan inklusif dengan waktu penyediaan obat-obatan dan vaksin baru yang disebut akan mencatat rekor.
Dewan Cadangan Federal AS pada Rabu merilis data yang menunjukkan adanya pemulihan sedikit hingga sedang dalam ekonomi AS, meskipun gambarannya sangat bervariasi dari satu sektor ke sektor lainnya.
Efek Riak
Para ahli menyatakan kekhawatiran jangka panjang tentang prospek ekonomi China, termasuk tingkat utang yang tinggi dari perusahaan-perusahaan milik negara.
"Ketergantungan pada pertumbuhan yang dipicu investasi, yang didorong oleh ekspansi kredit, membangun pengaruh dan risiko lebih jauh dalam sistem keuangan yang sudah lemah, dan selanjutnya akan menurunkan efisiensi dan tingkat pertumbuhan yang berkelanjutan," kata Mark Sobel, seorang mantan pejabat senior Departemen Keuangan AS.
Namun untuk saat ini, menurut para ahli, tanggapan yang berbeda terhadap wabah virus corona akan berdampak pada persaingan politik dan ekonomi yang sengit antara Beijing dan Washington dengan riak yang dirasakan di seluruh dunia.
"Ekonomi China pada 2021 akan menjadi 10 persen lebih besar dibandingkan pada 2019, dan setiap ekonomi negara besar lainnya akan menjadi lebih kecil," kata Nicholas Lardy, ekonom dari Peterson Institute for International Economics.
"Hal itu berarti peran China dalam ekonomi global akan terus berkembang, dan itu membuat upaya apa pun yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan AS untuk mencegah negara lain melakukan kesepakatan dengan Beijing, atau sebaliknya, "memisahkan" China dari ekonomi global menjadi lebih sulit," kata Lardy memprediksi.
Nilai ekspor China lebih kuat dari yang diperkirakan, dan hal itu didukung oleh permintaan barang medis dari luar negeri. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan volume perdagangan global akan turun 10,4 persen pada 2020, sementara keseluruhan pangsa pasar China dalam perdagangan global telah tumbuh.
Beijing juga mengalami sejumlah manfaat lain. "Kami melihat tanda-tanda keberhasilan China dalam nilai tukar dan kinerja pasar ekuitas pada saat banyak negara lain berada di bawah tekanan," kata Segal.
Monitor Fiskal IMF menunjukkan bahwa defisit fiskal China pada 2020 akan meningkat sebesar 5,6 poin persentase menjadi 11,9 persen dari PDB, yang merupakan peningkatan skala stimulus yang lebih kecil daripada stimulus besar-besaran yang diterapkan Beijing selama krisis keuangan 2008-2009.
Sebaliknya, Amerika Serikat akan melihat peningkatan 12 poin persentase dalam defisit fiskal 2020 sebagai bagian dari PDB, dan menjadi hampir 19 persen.
Sementara konsumsi China terus membaik, namun nilai penjualan ritel masih turun 7,2 persen selama tiga kuartal pertama, dengan pendapatan yang siap dibelanjakan penduduk perkotaan turun 0,3 persen dibandingkan periode yang sama.
Langkah penguncian yang ketat di awal tahun menyebabkan hilangnya gaji selama berbulan-bulan bagi banyak pekerja.
Di Beijing, para pejabat menyoroti peran kepemimpinan mereka.
"Pengendalian dan pencegahan epidemi China telah unggul di dunia, dan perusahaan China mendukung kembalinya lapangan pekerjaan dan produksi global melalui pemulihan bisnis mereka," kata Liu Aihua, juru bicara Biro Statistik Nasional China, pada konferensi pers di mana dia mengumumkan hasil PDB kuartal ketiga.
Sementara itu, Amerika Serikat masih kurang dalam pelaksanaan sistem pelacakan kontak, atau pengujian COVID-19 yang memadai. Langkah-langkah ini adalah hal-hal yang bisa dilakukan AS dengan lebih baik tanpa perlu menjadi negara partai tunggal yang otoriter, kata Lardy.
Sumber: Reuters.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Sekitar 11 bulan setelah wabah virus corona muncul di Wuhan, angka PDB resmi China pekan ini tidak hanya menunjukkan bahwa ekonomi sedang tumbuh naik 4,9 persen untuk kuartal ketiga dari tahun sebelumnya, tetapi China juga cukup percaya diri bahwa virus itu telah berhasil ditaklukkan sehingga warga berbelanja, makan dan menghabiskan waktu dengan penuh semangat.
Jumlah kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan di China di bawah 5.000 dan kasus infeksi baru terbilang sedikit. Hal itu merupakan hasil dari penguncian (lockdown) yang ketat, pelaksanaan jutaan tes, dan pelacakan kontak yang ketat yang mengatur tahap untuk pemulihan ekonomi.
"Keberhasilan China dalam menahan penyebaran virus telah memungkinkan ekonominya pulih lebih cepat, dan dengan dukungan kebijakan yang relatif lebih sedikit, dibandingkan dengan ekonomi besar lainnya," kata mantan pejabat senior Departemen Keuangan Amerika Serikat Stephanie Segal,
Segal merupakan seorang peneliti senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di AS.
Di Amerika Serikat, 221.000 orang meninggal karena COVID-19 akibat tanggapan lamban pemerintah federal terhadap pandemi, pertempuran partisan atas penggunaan masker dan langkah penguncian.
Selain itu, banyak acara publik di AS yang tidak mengikuti pedoman kesehatan masyarakat. Negari Paman Sam itu berada di tengah gelombang baru wabah infeksi corona.
Tempat hiburan, restoran, dan tempat wisata ditutup atau hanya buka sebagian, jutaan orang kehilangan pekerjaan tanpa batas waktu, PDB AS diperkirakan menyusut pada kuartal ini dan Amerika Serikat menghadapi kesenjangan dalam hasil ekonomi yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun.
"Jelas sekali pemerintah AS melakukan kesalahan," kata Harry Broadman, mantan pejabat senior perdagangan AS dan direktur pelaksana Berkeley Research Group.
Sementara, lanjut Broadman, otoritas tunggal Partai Komunis China membantu Beijing menegakkan langkah pelacakan kontak dan penguncian.
Negara demokrasi lain, termasuk Selandia Baru dan Korea Selatan, memberantas virus corona dengan cara seperti yang dilakukan China.
"Perbedaan nyata antara Amerika Serikat dan China adalah Washington telah memperdebatkan masalah dana stimulus di Capitol Hill dan itu masih terlalu sedikit dan terlambat. Hal itu telah menciptakan semakin banyak ketidakpastian di kalangan bisnis," kata Broadman, yang pernah menjabat di bawah pemerintahan presiden dari Partai Republik dan Demokrat.
Menjelang pemilihan presiden AS pada 3 November, Presiden Donald Trump menyalahkan China atas penyebaran virus corona baru dan menegaskan pemerintahannya telah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menahan penyebaran virus itu.
Saat ditanya apakah dia akan melakukan langkah yang berbeda dalam menangani pandemi, Trump berkata, "Tidak, tidak banyak perbedaan."
Jawaban itu diberikan Trump dalam wawancara di balai kota yang disiarkan di Sinclair Broadcast Group pada Rabu.
Juru bicara Gedung Putih Brian Morgenstern pada Rabu mengatakan bahwa China tidak secara akurat melaporkan apa pun, "apalagi data mengenai infeksi virus corona dan pertumbuhan ekonominya."
Morgenstern mengatakan Trump sedang membangun kembali ekonomi yang kuat dan inklusif dengan waktu penyediaan obat-obatan dan vaksin baru yang disebut akan mencatat rekor.
Dewan Cadangan Federal AS pada Rabu merilis data yang menunjukkan adanya pemulihan sedikit hingga sedang dalam ekonomi AS, meskipun gambarannya sangat bervariasi dari satu sektor ke sektor lainnya.
Efek Riak
Para ahli menyatakan kekhawatiran jangka panjang tentang prospek ekonomi China, termasuk tingkat utang yang tinggi dari perusahaan-perusahaan milik negara.
"Ketergantungan pada pertumbuhan yang dipicu investasi, yang didorong oleh ekspansi kredit, membangun pengaruh dan risiko lebih jauh dalam sistem keuangan yang sudah lemah, dan selanjutnya akan menurunkan efisiensi dan tingkat pertumbuhan yang berkelanjutan," kata Mark Sobel, seorang mantan pejabat senior Departemen Keuangan AS.
Namun untuk saat ini, menurut para ahli, tanggapan yang berbeda terhadap wabah virus corona akan berdampak pada persaingan politik dan ekonomi yang sengit antara Beijing dan Washington dengan riak yang dirasakan di seluruh dunia.
"Ekonomi China pada 2021 akan menjadi 10 persen lebih besar dibandingkan pada 2019, dan setiap ekonomi negara besar lainnya akan menjadi lebih kecil," kata Nicholas Lardy, ekonom dari Peterson Institute for International Economics.
"Hal itu berarti peran China dalam ekonomi global akan terus berkembang, dan itu membuat upaya apa pun yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan AS untuk mencegah negara lain melakukan kesepakatan dengan Beijing, atau sebaliknya, "memisahkan" China dari ekonomi global menjadi lebih sulit," kata Lardy memprediksi.
Nilai ekspor China lebih kuat dari yang diperkirakan, dan hal itu didukung oleh permintaan barang medis dari luar negeri. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan volume perdagangan global akan turun 10,4 persen pada 2020, sementara keseluruhan pangsa pasar China dalam perdagangan global telah tumbuh.
Beijing juga mengalami sejumlah manfaat lain. "Kami melihat tanda-tanda keberhasilan China dalam nilai tukar dan kinerja pasar ekuitas pada saat banyak negara lain berada di bawah tekanan," kata Segal.
Monitor Fiskal IMF menunjukkan bahwa defisit fiskal China pada 2020 akan meningkat sebesar 5,6 poin persentase menjadi 11,9 persen dari PDB, yang merupakan peningkatan skala stimulus yang lebih kecil daripada stimulus besar-besaran yang diterapkan Beijing selama krisis keuangan 2008-2009.
Sebaliknya, Amerika Serikat akan melihat peningkatan 12 poin persentase dalam defisit fiskal 2020 sebagai bagian dari PDB, dan menjadi hampir 19 persen.
Sementara konsumsi China terus membaik, namun nilai penjualan ritel masih turun 7,2 persen selama tiga kuartal pertama, dengan pendapatan yang siap dibelanjakan penduduk perkotaan turun 0,3 persen dibandingkan periode yang sama.
Langkah penguncian yang ketat di awal tahun menyebabkan hilangnya gaji selama berbulan-bulan bagi banyak pekerja.
Di Beijing, para pejabat menyoroti peran kepemimpinan mereka.
"Pengendalian dan pencegahan epidemi China telah unggul di dunia, dan perusahaan China mendukung kembalinya lapangan pekerjaan dan produksi global melalui pemulihan bisnis mereka," kata Liu Aihua, juru bicara Biro Statistik Nasional China, pada konferensi pers di mana dia mengumumkan hasil PDB kuartal ketiga.
Sementara itu, Amerika Serikat masih kurang dalam pelaksanaan sistem pelacakan kontak, atau pengujian COVID-19 yang memadai. Langkah-langkah ini adalah hal-hal yang bisa dilakukan AS dengan lebih baik tanpa perlu menjadi negara partai tunggal yang otoriter, kata Lardy.
Sumber: Reuters.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020