Bogor, (Antaranews Bogor) - Guru Besar Fakultas Teknologi Pangan IPB Prof Sugiyono MAppSe mengatakan pemerintah harus gencar mendorong program diversifikasi pangan agar masyarakat tidak terlalu bergantung dengan beras sebagai makanan wajib sehari-hari.

Jika tidak terlalu bergantung pada beras, maka ketika produksi gabah menurun tidak membuat resah masyarakat, dan harganya tidak melambung, kata Prof Sugiyono, di Bogor, Senin.

"Selama beras tersedia tidak masalah mengkonsumsinya, tetapi ketika pasokannya berkurang jangan beras yang "dihakimi", kita harus biasakan ketika beras tidak ada, bisa mengonsumi pangan lain selain beras," katanya.

Ia mengatakan diversifikasi pangan bisa menjadi alternatif ketika produksi beras menurun akibat gagal panen atau permasalahan lainnya, sehingga masyarakat tidak fokus pada satu jenis makanan pokok saja.

Seperti halnya program "one day no rice" yang dilakukan Pemerintah Depok perlu diapresiasi karena mendorong mengurangi konsumsi beras saat produksi beras dalam negeri menurun.

"Tetapi kan tidak semua orang bisa menjalankan program ini, maka ketika beras itu tidak ada jangan hakimin beras," katanya.

Ia mengatakan, secara segi nutrisi, mengonsumsi nasi lebih bagus daripada terigu atau roti, karena ada beberapa orang yang alergi terhadap gluten yang ada di dalam roti, seperti di anak-anak Autis di luar negeri menghindari mengonsumsi roti.

"Ada sumber pangan pokok lainnya yang bisa dijadikan pengganti beras ketika produksinya sedikit, seperti jagung, sagu, ubi, dan kentang," katanya.

Ia mengatakan untuk mendapatkan sumber energi tidak harus disuplai dari beras, tetapi juga tidak masalah jika ada yang mengonsumsi nasi tiga kali dalam sehari selama masih tersedia. Kecuali bagi mereka yang diabetes atau ada faktor lain yang dominan sehingga perlu mengurangi konsumsi nasi.

Menurut dia kenaikan harga beras tidak seharusnya terjadi karena produksi beras nasional mencukupi. Pemerintah mengklaim mampu memproduksi beras per tahun 30 juta ton, sedangkan kebutuhan beras nasional 82,5 kg per kapita per tahun, jika mencakup 240 juta jiwa makan menjadi 22 juta ton.

Meski produksi beras mencukup, tetapi pemerintah tetap melakukan impor untuk menekan harga beras yang melambung saat ini, Prof Sugiyono mengindikasi ada yang tidak beres dengan tata niaga beras.

"Jika terjadi paceklik akibat gagal panen, produksi tidak akan mencukupi kebutuhan sehingga pemerintah melakukan impor beras. Tetapi, setelah diimpor mengapa harga beras masih tinggi," katanya.

Terkait harga beras saat ini, menurut Prof Sugiyono, belum mencapai harga keekonomian yang tidak merugikan petani dan juga tidak membebankan masyarakat. Harga beras saat ini mencapai Rp10.000 lebih per kilonya masih belum terlalu tinggi bila dibandingkan Jepang yang mencapai 400 yen.

Namun ia menyarankan pemerintah harus menetapkan harga dasar agar di sisi petani tidak dirugikan, dan dari sisi masyarakat sebagai konsumen juga tidak terlalu tinggi.

"Kami juga tidak setuju kalau harga beras rendah petani tidak diuntungkan, yang harus dilakukan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat," katanya.

Menyikapi tingginya harga beras saat ini, pemerintah melakukan operasi pasar untuk menekan harga, menurut Prof Sugiyono, hal tersebut sebagai reaksi sementara yang tidak berkelanjutan.

"Agar berkelanjutan produksi beras harus ditingkatkan dan distribusi juga harus dibenahi," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015